Foto bersama Professor Vedi Hadiz, beberapa dosen FISIP UI, dan kolega peserta pelatihan di gedung MBRC FISIP UI |
Diskusi terkait perkembangan ilmu sosial di Indonesia selalu tak melewatkan seorang Vedi Hadiz. Namanya berkibar di berbagai jurnal, buku, dan disitasi oleh sekian banyak orang. Kendati lulus PhD dari Murdock University, kampus urutan 591 dunia, beliau mampu menunjukkan bahwa yang namanya kualitas itu bisa lahir dari lulusan kampus yang rankingnya tidak di urutan atas. Kini, beliau mengajar di Melbourne University yang sebelumnya di Monash University, dua kampus yang sama-sama berada di kota sibuk Melbourne.
Seorang lulusan PhD ANU misalnya, yang masuk dalam 24 ranking dunia (2019), sejatinya adalah berada dalam iklim kampus terbaik yang idealnya adalah menjadi terbaik pula dalam bidang yang ia geluti. Akan tetapi, jika setamat PhD ia tidak produktif dalam riset dan publikasi, maka tetap akan tertinggal dengan lulusan kampus lainnya yang mungkin tidak begitu terkenal. Pun demikian dengan lulusan kampus terbaik di dunia, sebutlah dari Harvard, Oxford, Cambridge, dan lain sebagainya. Kesarjanaan seseorang, kira-kira konklusinya, sangat bergantung pada sejauh mana seseorang itu secara kontinyu melakukan berbagai riset dan temuan-temuan yang berguna perkembangan ilmu secara teoritis dan/atau perkembangan masyarakat dunia secara praktis.
Pada titik ini, alam seakan bercerita kepada kita bahwa takdir berada di kampus terbaik dunia itu satu hal, tapi menjadi pribadi yang produktif dengan karya-karya yang bagus itu hal lainnya. Jika di bawa ke ranah Indonesia, hal itu bisa diterjemahkan sebagai: orang bisa saja menjadi lulusan terbaik dari UI atau UGM, akan tetapi jika berhenti penelitian dan publikasi, maka dia akan tertinggal dengan lulusan lain dari kampus yang secara level kampus di bawah kampusnya.
Dalam proses belajar menulis jurnal, saya beruntung sekali dipilih oleh MBRC FISIP untuk menjadi peserta sebuah pelatihan menulis jurnal internasional bersama Professor Hadiz pada 23 April 2019. Menjadi 1 dari 10 peserta kloter pertama Writing Clinic adalah sebuah kemewahan. Bayangkan, dari sekian banyak mahasiswa doktor, kita yang dipilih. Besar kemungkinan karena sebelumnya, saya memang mengikuti pelatihan jurnal di MBRC sekaligus juga sebagai mahasiswa S3 yang mendapatkan hibah PITTA UI yang dibimbing oleh dosen kami, Professor Achmad Fedyani Saifuddin (alm). Salah satu tujuan dari hibah PITTA adalah agar mahasiswa dapat menulis dan menerbitkan artikelnya di jurnal internasional bereputasi dan terindeks scopus.
Seorang lulusan PhD ANU misalnya, yang masuk dalam 24 ranking dunia (2019), sejatinya adalah berada dalam iklim kampus terbaik yang idealnya adalah menjadi terbaik pula dalam bidang yang ia geluti. Akan tetapi, jika setamat PhD ia tidak produktif dalam riset dan publikasi, maka tetap akan tertinggal dengan lulusan kampus lainnya yang mungkin tidak begitu terkenal. Pun demikian dengan lulusan kampus terbaik di dunia, sebutlah dari Harvard, Oxford, Cambridge, dan lain sebagainya. Kesarjanaan seseorang, kira-kira konklusinya, sangat bergantung pada sejauh mana seseorang itu secara kontinyu melakukan berbagai riset dan temuan-temuan yang berguna perkembangan ilmu secara teoritis dan/atau perkembangan masyarakat dunia secara praktis.
Pada titik ini, alam seakan bercerita kepada kita bahwa takdir berada di kampus terbaik dunia itu satu hal, tapi menjadi pribadi yang produktif dengan karya-karya yang bagus itu hal lainnya. Jika di bawa ke ranah Indonesia, hal itu bisa diterjemahkan sebagai: orang bisa saja menjadi lulusan terbaik dari UI atau UGM, akan tetapi jika berhenti penelitian dan publikasi, maka dia akan tertinggal dengan lulusan lain dari kampus yang secara level kampus di bawah kampusnya.
Dalam proses belajar menulis jurnal, saya beruntung sekali dipilih oleh MBRC FISIP untuk menjadi peserta sebuah pelatihan menulis jurnal internasional bersama Professor Hadiz pada 23 April 2019. Menjadi 1 dari 10 peserta kloter pertama Writing Clinic adalah sebuah kemewahan. Bayangkan, dari sekian banyak mahasiswa doktor, kita yang dipilih. Besar kemungkinan karena sebelumnya, saya memang mengikuti pelatihan jurnal di MBRC sekaligus juga sebagai mahasiswa S3 yang mendapatkan hibah PITTA UI yang dibimbing oleh dosen kami, Professor Achmad Fedyani Saifuddin (alm). Salah satu tujuan dari hibah PITTA adalah agar mahasiswa dapat menulis dan menerbitkan artikelnya di jurnal internasional bereputasi dan terindeks scopus.
Banner selamat datang MBRC |
Professor Vedi Hadiz membaca 9 draft artikel jurnal internasional, punya saya salah satunya. |
Dr Ida Ruwaida mewakili Kepala MBRC memberikan souvenir kepada Professor Vedi Hadiz |
dipresentasikan di APRISH di Jakarta dan ICPSI di Bali. Paparannya ringan-ringan saja, akan tetapi dalam dan berat. Kita diminta berpikir, buat apa kita menulis jurnal. Kemudian, apa saja yang harus kita persiapkan dalam menulis dan menerbitkan jurnal tersebut.
Untuk bisa menulis jurnal yang baik, kita harus pelajari jurnal-jurnal yang telah terbit di jurnal yang hendak kita tuju. Pelajari apa saja tulisan yang pernah ada, dan sebaiknya juga kita mengutip hasil riset yang pernah diterbitkan oleh jurnal tersebut. Artinya, jika kita mengutip dari jurnal tersebut itu berarti bahwa kita mengikuti perkembangan pemikiran yang ada di jurnal itu, dan itu menjadi nilai tambah tulisan kita di mata editor dan juga mitra bestari (reviewer).
Professor Hadiz meminta kita agar menulis sesuatu yang unik yang tidak ada dalam tulisan lainnya. Apa yang disebut sebagai novelty atau kebaruan sangat penting di sini. Untuk mendapatkan kebaruan, kita perlu memiliki pengetahuan komparatif atau comparative knowledge yang semacam sintesis dari sekian banyak hasil riset dalam tema sejenis.
Misalnya, kita mau menulis soal aktivisme Islam. Maka kita harus pelajari semua jurnal yang pernah menulis soal aktivisme Islam baik itu tema yang mereka tulis, metodologi, temuan, dan yang cukup penting adalah apa gap yang ada dalam tulisan-tulisan tersebut. Maksudnya, carilah apa yang tidak mereka tulis dikaitkan dengan konteks hari ini. Untuk itu kita harus tahu dan berani mengeritik tulisan-tulisan yang ada sebelumnya. Kelebihan dan kekurangan mereka baik secara metodologis, temuan, dan apapun itu, harus kita temukan.
Tidak mudah memang, karena ini adalah pekerjaan scholar yang umumnya ya pekerjaannya anak-anak PhD. Frustasi bisa saja terjadi kepada mereka yang stress, karena tidak menemukan apa novelty dari risetnya. Tapi, dengan diskusi bersama berbagai kolega, lambat laun kita akan menemukan novelty yang merupakan perkembangan dari hasil kajian-kajian sebelumnya lewat state of the art atau "pernyataan tentang perkembangan terkini dalam kajian tersebut."
Tentu saja sebagai "alumni" pelatihan singkat ini saya tidak lantas mengklaim bahwa saya sudah menyerap semua ilmu dari beliau. Akan tetapi, saya menangkap semangat dari materi beliau, yaitu semangat agar kita serius menjadi scholar.
Pelatihan menulis jurnal seperti ini sangat penting bagi mereka yg bergelut di dunia akademik, tak terkecuali bagi mahasiswa pascasarjana, dan tak menutupkemungkinan mahasiswa sarjana. Salah satu poin penting yang disampaikan Professor Hadiz adalah, menulis jurnal internasional itu berarti kita menulis sesuatu yg unik, menarik, dan berguna bagi kolega akademik (bukan publik) dalam keilmuan yg sama di luar negeri.*
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Kepala MBRC FISIP UI Dr Evi Fitriani, Dr Ida Ruwaida, dan Dr Suraya Afiff atas arahan-arahannya bagi kami dalam pembelajaran yang sangat baik ini. Juga, apresiasi full buat Mas Wahyudi Akmaliyah, seorang penulis dan peneliti produktif dari LIPI yang tak jemu-jemu sharing kepada saya soal penulisan jurnal.
No comments:
Post a Comment