Monday, June 24, 2019

Catatan Australia-Indonesia Interfaith Dialogue (1)

Suasana menjelang pembukaan acara Australia-Indonesia Interfaith Dialogue

Paris van Java, 13 Maret 2019. Saya beruntung untuk kesekian kalinya dapat kesempatan untuk hadir dalam berbagai forum bergengsi, salah satunya adalah terkait interfaith dialogue yang digelar oleh Kedubes Australia bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri RI.

Saya diundang oleh Kedubes Australia dengan posisi sebagai peninjau atau observer. Nama acaranya adalah "The First Indonesia-Australia Interfaith Dialogue". Lokasinya di De Paviljoen Hotel, Bandung. PIC kegiatan ini adalah salah seorang diplomat muda Australia, Mr. Boyd Whalan, yang telah saya kenal setahunan lalu dan bertemu dalam beberapa event Kedubes Australia.

Kegiatan ini bisa disebut sebagai bagian dari upaya untuk merawat harmoni dan kerjasama antara Indonesia dengan Australia.

Acara dibuka oleh perwakilan Indonesia, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Cecep Herawan, dan perwakilan Australia, Dubes Australia H.E. Gary Francis Quinlan AO. Kemudian dilanjutkan dengan 3 diskusi panel (plenary session) dengan topik antara lain (1) democracy, religion, and pluralism, (2) freedom of expression: spreading peaceful messages and combating misuse of media, dan (3) adressing the problems: strengthening cooperation and advocating policy towards inclusive society.

Pada plenary session I "Democracy, Religion, and Pluralism" pembicaranya adalah Dr Pradana Boy, Dr Ahmad Munjid, dan Rev. Samuel Green. Pradana Boy memulai materinya dengan menjelaskan soal Islam Indonesia yang plural yang tidak semua orang luar (bisa luar Islam, atau luar negeri) memahaminya.

Diversitas Islam Indonesia terkait sekali dengan masyarakat Indonesia yang plural dengan berbagai afiliasi keagamaan. Saat ini Indonesia menjadi "demokrasi baru" atau a new democracy yang menunjukkan bahwa antara Islam dan demokrasi itu kompatibel alias tidak bertentangan.

Tapi, tren itu, kata Pradana, juga tidak bisa dilepaskan dari tumbuhnya populisme yang tidak demokratis, bahkan dapat berpotensi menjadi musuh demokrasi (enemy of democracy). Saat ini kita perlu me-maintain kehidupan beragama yang memiliki kecenderungan konservatif tersebut, lanjut beliau.
Panel sesi pertama
Di Muhammadiyah misalnya, contoh Pradana, terjadi tumbuhnya konservatisme versus modernisme. Kendati fakta konservatisme itu ada, tapi kata Pradana lagi, ini merupakan contoh dari diversitas Islam di Indonesia. Memang, suka atau tidak suka, begitulah perkembangan dinamika keislaman di Indonesia.

Menurut saya, konservatisme sesungguhnya bukanlah "kerikil dalam sepatu" demokrasi." Sebaliknya, konservatisme dapat menjadi pelengkap diversitas pemikiran dan afiliasi kehidupan berbangsa sekaligus untuk wadah koreksi bagi, sebutlah modernisme atau moderatisme--jika bisa kita buat oposisi biner seperti itu. Berasal dari bahasa latin conservare yang berarti "memelihara, menjaga, melestarikan", sesungguhnya kalangan konservatif hanya ingin memelihara nilai yang mereka anggap penting untuk tetap hadir dalam denyut nadi kehidupan bermasyarakat.

Materi Rev. Samuel Green

Materi sesi I 
Selanjutnya, materi dari Rev. Samuel Green membahas soal keberagamaan di Australia. "Konstitusi Australia mengakui Tuhan," kata beliau. Saat ini (setidaknya per Maret 2019) di Australia, ada sekitar 40 persen no religion alias tidak beragama (atheis) dan agama paling banyak urutannya adalah Katholik, Hindu, dan Islam.

Pluralisme di Australia memiliki isu yang paling penting, yaitu soal relasi antara no religion dengan religion; hubungan antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Para imigran yang datang ke Australia telah membuat Australia menjadi multicultural country sekaligus pluralistic society.

Sedangkan peningkatan kalangan no religion (sekular/atheis) terkait dengan massive moral change atau perubahan moral secara massif dalam dunia Barat yang mulai menemukan new morality atau new secular morality atau sejenis "moralitas jenis baru" yang tidak berkaitan dengan agama. 

Terus, untuk me-maintain pluralisme, bagaimana caranya? Kata beliau, kita perlu kosa kata baru, yaitu worldview. Pandangan dunia. Maksudnya, pandangan dunia yang dapat dipakai oleh semua orang dari semua jenis pemikiran, keagamaan, dan afiliasi organisasi. Kalau di Indonesia, kira-kira seperti Pancasila yang jadi common platform buat semua warga. 

Dalam sesi ini dibuka tanya-jawab. Ahmad Munjid ketika ditanya soal dukungan anak muda terhadap demokrasi, ia menjawab bahwa anak muda perlu mendukung demokrasi. Kata Munjid, saat ini kita di era "too much information" alias banjir informasi yang membuat manusia dijejali banyak info di berbagai media berkirim pesan seperti Whatsapp, atau media sosial. Selain itu, kata suami dari aktivis interfaith dialogue, Wiwin Rohmawati, "toleransi harus menjadi bagian penting bagi masyarakat kita." Kata toleransi paling sering disalahpahami.

Soal Munas NU yang menyerukan penggantian kata "kafir" menjadi "non muslim", kata Munjid yang lulusan PhD dari Temple University tersebut, adalah bagian dari toleransi berbangsa, bukan dalam konteks keagamaan. Di sini, NU fokus pada kehidupan toleransi beragama (muamalah) sebagai sesama warga bangsa, tidak terkait dengan teologi.*

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...