Sunday, June 30, 2019

Deklarasi Potomac untuk Kebebasan Beragama

Diskusi Panel "Ministerial to Advance Religious Freedom" di U.S. Department of State, Washington, D.C, 24 Juli 2018. Source: blogs.state.gov
Pada 24-26 Juli 2018 Pemerintahan Trump mengadakan simposium diplomatik utama tentang kebebasan beragama (religious freedom) di Potomac, Maryland, Amerika Serikat. Hadir dalam Ministerial to Advance Religious Freedom tersebut perwakilan dari 80 negara, termasuk negara-negara yang masuk dalam list buruk dalam kebebasan beragama (bad religious freedom records). Pertemuan tersebut walhasil melahirkan sebuah dokumen bernama Deklarasi Potomac (the Potomac Declaration). Menindaklanjuti pertemuan itu, maka pada pertengahan 16-18 Juli 2019 ini juga akan berlangsung konferensi tingkat tinggi menteri luar negeri yang berlangsung di Washington, D.C.

Menurut rilis yang dikeluarkan oleh Office of the Spokesperson U.S. Department of State (25/06/2019), bahwa pada 16-18 Juli, Menteri Luar Negeri AS Michael R. Pompeo akan mengadakan "Pertemuan Tingkat Menteri Kedua untuk Meningkatkan Kebebasan Beragama" di Departemen Luar Negeri AS di Washington, DC. Memajukan kebebasan beragama internasional untuk semua tetap menjadi salah satu tantangan utama abad ke-21 dan merupakan prioritas kebijakan luar negeri utama dari pemerintahan Trump.

Pertemuan tersebut akan menyatukan sejumlah organisasi masyarakat sipil, pemimpin agama, dan pejabat tingkat tinggi yang belum pernah ada sebelumnya untuk lebih memahami tantangan dan menyusun strategi untuk menghadapi intoleransi, diskriminasi, dan pelecehan. Pertemuan itu akan menyediakan landasan bagi para penyintas penganiayaan agama dari seluruh dunia untuk menceritakan kisah keberanian dan ketekunan mereka.

Pertemuan juga akan menegaskan kembali komitmen internasional untuk mempromosikan kebebasan beragama bagi semua dan fokus pada hasil konkret yang menghasilkan perubahan positif yang tahan lama dan positif. Sejumlah besar pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah senior, perwakilan organisasi internasional, pemimpin agama, dan aktivis masyarakat sipil akan berkumpul untuk membahas tantangan, mengidentifikasi cara konkret untuk memerangi penganiayaan dan diskriminasi agama, dan memastikan penghormatan yang lebih besar terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Pertemuan tahun ini berupaya melakukan percakapan lebih lanjut dari acara tahun lalu dan konferensi regional baru-baru ini. Diperkirakan hadir sekitar 1000 perwakilan masyarakat sipil dan komunitas agama, yang mewakili setiap sudut dunia.

Sebelumnya, pada tanggal 15 Juli, Duta Besar untuk Kebebasan Beragama Internasional Sam Brownback akan menjadi tuan rumah tur pribadi Museum Peringatan Holocaust A.S. untuk orang yang selamat dari penganiayaan agama. Duta Besar Brownback kemudian akan menyampaikan sambutan dan berpartisipasi dalam upacara penerangan lilin di museum Hall of Remembrance.

Pada hari pertama (16 Juli 2019) dengan fokus "expanding the conversation on religious freedom", para peserta yang terdiri dari pejabat senior pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pemimpin agama akan membahas peluang untuk kolaborasi yang lebih besar untuk mempromosikan kebebasan beragama secara global. Melalui serangkaian sesi pleno, para peserta akan membahas hal-hal penting yang diperlukan dan tren yang muncul dalam memajukan kebebasan beragama, serta bagaimana kebebasan beragama, pembangunan internasional, dan bantuan kemanusiaan dapat bekerja bersama untuk memajukan kepentingan bersama.

Pada hari kedua (17 Juli 2019) dengan fokus "deep dive", para peserta akan terlibat dalam diskusi mendalam dan sesi peralel dengan para ahli dalam topik tertentu, aktor masyarakat sipil, pemimpin agama, akademisi, dan pejabat pemerintah tingkat ahli. Sesi-sesi ini akan diselenggarakan di tiga tempat berbeda di dalam dan di sekitar Gedung Harry S. Truman untuk memungkinkan diskusi yang lebih terfokus dan lebih banyak sesi panel tersebut. Para peserta akan membahas topik-topik seperti praktik terbaik untuk advokasi kebebasan beragama; keterbatasan dalam membentuk, mendaftarkan dan mengakui komunitas keagamaan; tantangan yang dihadapi minoritas agama; memerangi munculnya anti-Semitisme dan perilaku anti-Islam; dan melawan kekerasan ekstremisme; kebebasan beragama dan keamanan nasional; kebebasan beragama dan pembangunan ekonomi; perlindungan warisan budaya untuk situs-situs keagamaan; minoritas agama dan krisis kemanusiaan; bantuan pembangunan internasional dan kebebasan beragama; dan memobilisasi pemimpin agama di sekitar tujuan perdamaian dan pembangunan.

Sedangkan hari ketiga (18 Juli 2019) dengan fokus "government action" akan diisi dengan perwakilan senior pemerintah dan organisasi internasional yang berpartisipasi dalam sesi pleno yang membahas tentang mengidentifikasi tantangan global terhadap kebebasan beragama; mengembangkan respons inovatif terhadap penganiayaan berdasarkan agama; dan berbagi komitmen baru untuk melindungi kebebasan beragama untuk semua. Undangan akan diperluas ke pemerintah yang memiliki pemikiran serupa yang memiliki catatan yang menunjukkan kemajuan kebebasan beragama dan berkomitmen untuk mempromosikan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau pemerintah yang telah mengambil langkah signifikan dan bermakna untuk melakukannya.

Korban selamat atau kerabat dekat mereka yang menderita penganiayaan karena agama atau kepercayaan mereka akan berbagi kisah mereka pada hari ketiga tersebut. Delegasi pemerintah juga akan didorong untuk mengumumkan tindakan dan komitmen baru yang akan mereka ambil untuk melindungi dan mempromosikan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Kemudian, perwakilan pemerintah dan organisasi internasional akan mengembangkan pendekatan kolaboratif dan membuat komitmen baru untuk mempromosikan kebebasan beragama. Malam itu, peserta dan tamu undangan akan berkumpul di Museum Nasional Sejarah dan Budaya Afrika-Amerika untuk mengenali langkah global yang dilakukan untuk memajukan kebebasan beragama internasional.

Selain itu, Departemen Luar Negeri akan memberikan Penghargaan Kebebasan Beragama Internasional yang pertama kalinya kepada individu yang telah menunjukkan komitmen yang berkelanjutan dan tanpa henti untuk mempromosikan kebebasan beragama bagi semua orang.

Apa itu Deklarasi Potomac?

Deklarasi Potomac adalah sebuah deklarasi yang  berfungsi sebagai dasar untuk perjanjian hukum dan tindakan internasional untuk mempromosikan kebebasan beragama. Deklarasi Potomac dibuat sebanyak 2 lembar, dan Rencana Aksi Potomac (Potomac Plan of Action) sebanyak 5 lembar. Deklarasinya berisi poin-poin inti dalam agenda kebebasan beragama, sedangkan rencana aksinya meliputi beberapa agenda spesifik yang dapat dilakukan oleh berbagai negara di dunia. Termasuk dalam hal ini adalah menghapus undang-undang “penistaan agama” dan menghapus tuduhan “ekstremisme” sebagai dalih untuk menekan kebebasan beragama.
Para delegasi "Ministerial to Advance Religious Freedom". Source: state.gov

Berikut adalah isi dari deklarasi tersebut yang saya coba terjemahkan ke bahasa Indonesia dengan tetap menyertai naskah asli dari laman U.S Department of State, agar dapat di-review kembali siapa tahu ada yang salah dalam terjemahan tersebut. Pada beberapa bagian, saya coba parafrase dan tambahkan kata yang pas untuk dipahami oleh publik Indonesia. Juga, pada beberapa kalimat saya masukkan terjemahan bahasa Inggris-nya sebagai sebuah konsep yang menarik untuk didalami lebih lanjut.

Deklarasi Potomac

Pembukaan (Preamble):

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan dalam Pasal 18 bahwa “setiap orang memiliki hak untuk kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaannya, dan kebebasan, baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau pribadi, untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktik, ibadat, dan ketaatan. ”Kebebasan untuk menjalankan keyakinan seseorang adalah hak asasi yang diberikan Tuhan (a God-given human right) yang menjadi milik semua orang. Kebebasan untuk mencari yang ilahi dan bertindak demikian (sesuai dengan keyakinannya) — termasuk hak individu untuk bertindak secara konsisten dengan hati nuraninya — adalah jantung dari pengalaman manusia. Pemerintah tidak bisa mengambil hak tersebut. Sebaliknya, setiap negara memiliki tanggung jawab serius untuk mempertahankan dan melindungi kebebasan beragama.

(The
Universal Declaration of Human Rights proclaims in Article 18 that everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.” The freedom to live out one’s faith is a God-given human right that belongs to everyone.  The freedom to seethe divine and act accordingly—including the right of an individual to act consistently with his or her conscience—is at the heart of the human experience.  Governments cannot justly take it away.  Rather, every nation shares the solemn responsibility to defend and protect religious freedom)

Hari ini, kita jauh dari ideal sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 70 tahun yang lalu - bahwa “semua orang memiliki hak untuk kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama.” Hak ini sedang diserang di seluruh dunia. Hampir 80 persen populasi global dilaporkan mengalami keterbatasan parah dalam hak ini. Penganiayaan (persecussion), penindasan (respression), dan diskriminasi (discrimination) berdasarkan agama, kepercayaan, atau ketidakpercayaan adalah kenyataan sehari-hari bagi banyak orang. Sudah saatnya untuk mengatasi tantangan ini secara langsung.

(Today, we are far from the ideal declared in the Universal Declaration of Human Rights 70 years ago – that “everyone has the right to freedom of thought, conscience, and religion.” This right is under attack all around the world.  Almost 80 percent of the global population reportedly experience severe limitations on this right.  Persecution, repression, and discrimination on the basis of religion, belief, or non-belief are a daily reality for too many.  It is time to address these challenges directly)

Mempertahankan kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah tanggung jawab kolektif (collective responsibility) komunitas global. Kebebasan beragama sangat penting untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di dalam bangsa-bangsa dan di antara bangsa-bangsa. Di mana kebebasan beragama dilindungi, kebebasan lainnya - seperti kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai - juga berkembang. Perlindungan untuk kebebasan beragama berkontribusi langsung pada kebebasan politik (political freedom), perkembangan ekonomi (economic development), dan supremasi hukum (the rule of law). Ketika (kebebasan itu) tidak ada, kami menemukan adanya konflik, ketidakstabilan, dan terorisme.

(Defending the freedom of religion or belief is the collective responsibility of the global community.  Religious freedom is essential for achieving peace and stability within nations and among nations.  Where religious freedom is protected, other freedoms – like freedom of expression, association, and peaceful assembly also flourish.  Protections for the free exercise of religion contribute directly to political freedom, economic development, and the rule of law. Where it is absent, we find conflict, instability, and terrorism)

Dunia kita juga merupakan tempat yang lebih baik, ketika kebebasan beragama tumbuh subur. Keyakinan dan ekspresi agama individu dan komunal sangat penting untuk pertumbuhan masyarakat sepanjang sejarah manusia. Orang-orang beriman memainkan peran yang tak ternilai dalam komunitas kami. Iman dan hati nurani memotivasi orang untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, dan keadilan; untuk membantu orang miskin; untuk merawat yang sakit; untuk melayani orang yang kesepian; untuk terlibat dalam debat publik; dan untuk melayani negara mereka.

(Our world is a better place, too, when religious freedom thrives.  Individual and communal religious belief and expression have been essential to the flourishing of societies throughout human history.  People of faith play an invaluable role in our communities.  Faith and conscience motivates people to promote peace, tolerance, and justice; to help the poor; to care for the sick; to minister to the lonely; to engage in public debates; and to serve their countries)

Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang berjangkauan luas, universal, dan mendalam yang harus dipertahankan oleh semua orang dan bangsa yang baik di seluruh dunia.

(Religious freedom is a far-reaching, universal, and profound human right that all peoples and nations of good will must defend around the globe)

Dengan mengingat hal ini, Ketua Menteri untuk Memajukan Kebebasan Beragama menyatakan:

(With this in mind, the Chairman of the Ministerial to Advance Religious Freedom declares) 

1. Setiap orang di mana pun memiliki hak untuk kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Setiap orang memiliki hak untuk memiliki keyakinan atau keyakinan apa pun, atau tidak sama sekali, dan menikmati kebebasan untuk mengubah keyakinan.

(Every person everywhere has the right to freedom of thought, conscience, and religion. Every person has the right to hold any faith or belief, or none at all, and enjoys the freedom to change faith)

2. Kebebasan beragama bersifat universal dan tidak dapat dicabut, dan negara harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia ini.

(R
eligious freedom is universal and inalienable, and states must respect and protect this human right)

3. Hati nurani seseorang tidak dapat diganggu gugat. Hak atas kebebasan hati nurani, sebagaimana diatur dalam instrumen HAM internasional, terletak dalam jantung kebebasan beragama.

(A p
ersons conscience is inviolable.  The right to freedom of conscience, as set out in international human rights instruments, lies at the heart of religious freedom)

4. Orang-orang (berkedudukan) setara berdasarkan kemanusiaan mereka bersama. Seharusnya tidak ada diskriminasi karena agama atau kepercayaan seseorang. Setiap orang berhak atas perlindungan yang sama di bawah hukum tanpa memandang afiliasi agama atau kekurangannya. Kewarganegaraan atau pelaksanaan. Hak asasi manusia dan kebebasan mendasar tidak boleh bergantung pada identifikasi atau warisan agama.

(P
ersons are equal based on their shared humanity. There should be no discrimination on account of a persons religion or belief.  Everyone is entitled to equal protection under the law regardless of religious affiliation or lack thereof. Citizenship or the exercise of human rights and fundamental freedoms should not depend on religious identification or heritage)

5. Pemaksaan yang bertujuan memaksa seseorang untuk mengadopsi agama tertentu adalah tidak konsisten dan merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama. Ancaman kekuatan fisik atau sanksi hukuman untuk memaksa orang percaya atau tidak percaya untuk mengadopsi keyakinan yang berbeda, untuk menarik kembali keyakinan mereka, atau untuk mengungkapkan iman mereka sepenuhnya bertentangan dengan kebebasan beragama.

(Coercion aimed at forcing a person to adopt a certain religion is inconsistent with and a violation of the right to religious freedom.  The threat of physical force or penal sanctions to compel believers or non-believers to adopt different beliefs, to recant their faith, or to reveal their faith is entirely at odds with freedom of religion)

6. Kebebasan beragama berlaku untuk semua individu sebagai pemegang hak tersebut. Orang-orang beriman dapat menjalankan hak ini sendirian atau dalam komunitas dengan orang lain, dan di depan umum atau pribadi. Sementara agama tidak memiliki hak asasi manusia sendiri, komunitas agama dan institusi mereka mendapat manfaat melalui hak asasi manusia yang dinikmati oleh anggota mereka.

(Religious freedom applies to all individuals as right-holders.  Believers can exercise this right alone or in community with others, and in public or privateWhile religions do not have human rights themselves, religious communities and their institutions benefit through the human rights enjoyed by their individual members)

7. Orang-orang yang termasuk dalam komunitas agama (faith communities) dan orang-orang yang tidak beriman (non-believers) memiliki hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam wacana publik dari masyarakat mereka masing-masing. Pembentukan negara atas agama resmi (an official religion) atau kepercayaan tradisional (traditional faith) tidak boleh mengganggu kebebasan beragama atau menumbuhkan diskriminasi terhadap penganut agama lain atau yang tidak beriman.

(P
ersons who belong to faith communities and non-believers alike have the right to participate freely in the public discourse of their respective societies.  A state’s establishment of an official religion or traditional faith should not impair religious freedom or foster discrimination towards adherents of other religions or non-believers)

8. Kenikmatan (atau kesenangan/kebahagiaan) aktif dalam kebebasan beragama atau berkeyakinan meliputi banyak manifestasi dan berbagai praktik. Ini dapat mencakup ibadah, ketaatan, doa, latihan, mengajar, dan kegiatan lainnya.

(The active enjoyment of freedom of religion or belief encompasses many manifestations and a broad range of practices.  These can include worship, observance, prayer, practice, teaching, and other activities)

9. Orang tua dan wali sah memiliki kebebasan untuk memastikan pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

(Parents and legal guardians have the liberty to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions)

10. Agama memainkan peran penting dalam sejarah umum umat manusia dan dalam masyarakat saat ini. Situs dan benda warisan budaya yang penting untuk praktik keagamaan di masa lalu, sekarang, dan masa depan harus dilestarikan dan diperlakukan dengan hormat.

(Religion plays an important role in humanitys common history and in societies today. The cultural heritage sites and objects important for past, present, and future religious practices should be preserved and treated with respect)

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...