![]() |
Pertemuan santai membahas pendekatan geospasial dalam pemetaan terorisme |
Pada sebuah sore (4/6/2019)di sebuah grup "Antropologi Terorisme", kami bersepakat untuk kopi darat di Pacific Place Mal, Jakarta, bersama Al Chaidar dan Dr Bambang Marhaendra, seorang pakar geospasial. Analisis terorisme sangat penting untuk dilihat dari perpektif geospasial, begitu kata Mas Bambang, sapaannya.
Mas Bambang menamatkan pendidikan S3-nya di UI, kemudian bekerja di Paris, dan menetap di Jakarta. Saat ini ia menjadi konsultan geospasial dan berkantor di Pacific Place, sebuah kompleks perkantoran mahal di ibukota Jakarta.
Pendekatan geospasial dalam pemetaan terorisme dalam bayangan Mas Bambang adalah pemetaan berdasarkan geografi dan spasial. Misalnya, di Jawa Tengah, pelaku terorisme dapat dipetakan di kantong-kantong mana saja, berikut dengan informasinya yang lengkap. Jadi, satu kali klik, kita sudah dapat informasi yang utuh tentang mereka yang pernah terlibat dengan terorisme, atau eks terorisme.
Untuk menguatkan kajian ini, maka setelah pertemuan di mal tersebut, kami merapat di Grand Indonesia, sebuah mal yang lebih ramai di Bundaran Hotel Indonesia. Di situ, kami bertemu dua kolega lainnya untuk membahas berbagai kajian terkait terorisme, termasuk bagaimana melawan ekstremisme kekerasan.
Maka, disepakatilah sebuah wadah bernama Indonesian Center for Countering Violent Extremism (ICCVE) dengan Chairman Dr Herdi Sahrasad (tidak sempat hadir), ketuanya Al Chaidar, dan sekjennya saya. Hadir dalam lembaga ini juga beberapa kolega seperti Pak Yadi, Pak Sheito, dan AKBP Dedy Tabrani yang sementara menulis disertasi soal terorisme. Kehadiran ICCVE memang belum formal, akan tetapi dalam proses formalisasi dan aktualisasi berbagai kegiatan untuk melawan ekstremisme kekerasan.
Saya kira jika ICCVE sudah berjalan, maka berbagai kajian tentang terorisme dapat dibuat yang lebih bagus, integral, dan sekaligus memberikan masukan kepada pemerintah bagaimana mereduksi ekstremisme kekerasan di masyarakat. Al Chaidar selama ini termasuk kritis terhadap konsep deradikalisasi yang dibuat BNPT, yang menurutnya tidak tepat, karena yang lebih tepat adalah humanisasi.
Dalam perspektif Al Chaidar, humanisasi yaitu "pemanusiaan" adalah konsep yang lebih tepat agar mengembalikan pelaku terorisme (atau mereka yang terpapar terorisme) agar kembali pada fitrahnya sebagai manusia (human) yang cinta damai, anti-kekerasan, dan hidup harmoni di tengah-tengah komunitas. Tentu saja, perdebatan soal deradikalisasi atau humanisasi dapat dibuat dalam versi yang lebih akademik dengan tujuan agar kita mendapatkan versi terbaik dan solusi terbaik mengatasi ekstremisme kekerasan.
Dalam hal pendekatan spasial, saya kira akan sangat berguna dalam melihat fakta di lapangan berikut dinamika yang terjadi dalam terorisme. Saat ini, kita tahu bahwa dunia berkembang sangat cepat, dan manusia juga bertemu bahkan berpisah sangat cepat. Data yang tertinggal pastinya akan berimplikasi pada pengambilan kebijakan yang tidak tepat sasaran. Apalagi, ada kecenderungan buruk di birokrasi kita yang senang membuat keputusan tanpa berdasarkan riset yang matang.
Saat ini, pengambilan keputusan sepatutnya berdasarkan pada kajian-kajian lapangan yang mantab yang menggabungkan perspektif etik dan emik. Pendekatan antropologi sebenarnya sudah ideal untuk meng-capture apa yang terjadi di lapangan. Cuma, yang kita agak bertanya-tanya, kenapa ya saat ini jarang betul antropolog yang mau meneliti secara serius soal terorisme ini? Artinya, jika mereka mau bergelut dalam isu tersebut, tentu saja mereka dapat memberikan grounded perspective (yang kelak bisa menjadi grounded theory), perspektif yang berasal dari bawah; dari apa yang terjadi di lapangan. *
No comments:
Post a Comment