Saturday, June 29, 2019

IIP: Sekolah Keluarga, Sekolah Peradaban

Penyerahan sertifikat kelulusan program matrikulasi peserta IIP Depok Batch VII di Perpustakaan Depok

Pada pagi sabtu (29/6/2019) ini saya merasa beruntung dapat menemani istri saya menghadiri salah satu kegiatan Institut Ibu Professional (IIP) Depok. Bertempat di Perpustakaan Depok dalam area kantor Walikota Depok, kegiatan dimulai dengan penyematan medali kepada mereka yang telah lulus program matrikulasi. Seperti kampus, lembaga informal ini dikelola secara profesional.

IIP menurut informasi dari istri saya mulai dikembangkan oleh Ibu Septi dan suaminya. Mereka melihat salah satu problem rumah tangga saat ini adalah minimnya pengetahuan dan pengalaman bagaimana menjadi orang tua.

Masa? Ya iya sih. Ketika seorang tamat kuliah biasanya langsung mencari kerja, atau melanjutkan studi pascasarjana. Ketika dilamar oleh seorang pria, nyaris tak ada pengetahuan memadai dari si calon ibu tentang bagaimana kehidupan rumah tangga, alias bagaimana menjadi istri yang baik, menjadi ibu yang baik.

Begitu juga dengan laki-laki. Setelah bekerja, nyaris tidak ada mereka dapatkan ilmu parenting tentang bagaimana mereka menjadi kepala rumah tangga yang baik, menjadi suami sekaligus ayah yang baik buat anak-anaknya. Selama ini, ada kesan bahwa "urusan rumah tangga nanti akan bisa dengan sendirinya, tak perlu dipelajari."

Saya yang baru 10 tahun lebih menikah juga menyadari bahwa ilmu rumah tangga itu penting sekali. Saya misalnya baru tahu berbagai hal tentang anak-anak dan dunia istri dari istri saya. Misalnya, di awal-awal menikah saya suka sekali pulang malam. Suatu ketika, istri saya belum makan malam karena menunggu saya, tapi ibu saya bilang "makan aja duluan, daripada nunggu terlalu lama." Saya nggak tahu apakah istri saya waktu itu makan duluan atau nggak.

Tentu saja, kadang saya rasa nggak enak sama diri sendiri. Dalam hati saya bertanya, "masak sih saya harus pulang larut malam, dan di saat yang sama istri saya harus menunggu lama untuk makan bersama saya." Saya kadang bilang, "makan duluan aja, nanti saya nyusul." Tapi, itu sebenarnya kurang bagus. Terlalu nafsi-nafsi gitu. Tidak bagus untuk dipertahankan "gaya hidup" seperti itu. Jika bisa makan bareng, itu lebih bagus pastinya.

Tentu saja selama sepuluh tahun itu ada banyak pelajaran yang saya dapatkan. Sebagai pribadi saya merasa bahwa apa yang saya pelajari di bangku kuliah tidaklah cukup sebagai bekal menjadi ayah yang baik atau suami yang baik. Semua itu butuh pembelajaran lanjutan. Artinya begini: ketika seorang laki-laki telah menikah, dia baru menapaki tahap pertama. Selanjutnya, ada banyak tapak yang harus dia jalani, dan itu menuntut keriusan, manajemen, komunikasi, serta yang cukup penting adalah kedekatan kita dengan Allah.

Sebagai manusia kita butuh petunjuk dari Allah. Kita sadar bahwa kita adalah makhluk, yang puluhan tahun lalu tidak ada, tapi kemudian ada. Dalam fase ada ini (di dunia) kita harus terus belajar dari segala yang ada. Jangan merasa puas, dan jangan berkeras hati untuk merasa sudah cukup belajar. Jika kita pintar, yakinlah bahwa kepintaran itu tidak berlaku untuk semua sisi kehidupan. Ada sisi lain dimana kepintaran kita hanya bisa terpendam, dan kepintaran orang lainlah yang akan dipakai.

Kembali ke IIP. Sekolah informal ini memang agak ketat. Mereka yang tidak ikut tugas seperti yang disyaratkan, bisa jadi tidak lulus. Kalau tidak lulus, maka mereka tidak akan dapat penugasan atau ilmu dan pelatihan di jenjang berikutnya. Persis seperti sekolah, tapi sekolah yang menuntut kesadaran orang tua untuk taat pada aturan yang berlaku.

IIP sejauh ini anggotanya ibu-ibu yang di antara mereka saling memanggil "mak." Soal kenapa panggilannya "mak", mungkin itu panggilan yang Indonesia banget yang artinya dekat kepada "emak, mama" ketimbang misalnya "ibu", "ummi", "umma", "bunda", "mami", atau "mimi." Secara pribadi, saya merekomendasikan kepada teman-teman ibu-ibu muda agar mengikuti juga IIP di daerah mereka. Ada banyak kebaikan yang dapat diperoleh dari situ, selain silaturahmi, dapat teman baru, juga dapat berbagai ilmu dan pengalaman yang tidak ada di tempat lain.

Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah kalimat yang berbunyi, "perempuan adalah tiang peradaban." Jika baik perempuan, maka baik juga peradabannya. Jika buruk perempuan, buruk juga peradabannya. Tapi, kalimat tersebut sesungguhnya bisa kita perluas dengan ungkapan, "keluarga adalah tiang peradaban." Jika baik keluarga, maka baik pula peradabannya. Jika buruk keluarga, maka buruk pula peradabannya. Bisa setuju bisa tidak dengan kalimat ini, tapi semua orang pasti menyadari bahwa keluarga sangat berperan penting tidak hanya dalam tumbuh-kembang anak tapi juga dalam membentuk peradaban suatu masyarakat. *

PS. Terima kasih buat Dr. Hj. Sinardi yang telah membetulkan nama IIP yang saya posting di FB yang awalnya "Ibu-Ibu Profesional" menjadi "Institut Ibu Profesional." 

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...