Saturday, December 28, 2019

Agama, Pendidikan, dan Apresiasi


Apresiasi 

Beberapa waktu yang lalu, aksi
walk out dilakukan oleh pianis terkenal Ananda Sukarlan ketika Gubernur DKI Anies Baswedan berpidato, telah mengundang pro dan kontra. Para pendukung Ananda berdalih bahwa itu merupakan sikap yang berani terhadap seseorang yang menang tapi lewat cara-cara politisasi agama dan rasis, sementara kelompok yang kontra berpendapat bahwa sikap lulusan Kolese Kanisius tersebut tidak menghormati tamu yang diundang secara resmi oleh almamaternya sendiri.

Sebagai orang Indonesia, kita perlu merenungkan dan berefleksi, apakah langkah walk out tersebut sudah sesuai dengan karakter kita atau bukan. Terlepas dari perbedaan yang ada, seharusnya kita tetap membudayakan sikap saling menghormati, saling mengangkat, saling membantu; bukan saling menjatuhkan dan saling menghinakan.

Agama Menghormati Tamu

Kita meyakini bahwa semua agama mengajarkan sikap penghormatan terhadap tamu. Siapapun yang bertamu harus dihargai, apalagi tamu tersebut diundang secara resmi oleh almamater kita. Secara sederhana, dalam kasus Ananda ini kita melihat bahwa pihak Kolese Kanisius tentu saja telah mempertimbangkan dengan mata mengapa mengundang Anies Baswedan yang seorang gubernur.

Kendati pun gubernur yang hadir itu adalah orang yang berbeda paham dan pilihan dengan kita itu tidak berarti bahwa kita tidak menghormatinya. Apalagi ini berada dalam konteks institusi pendidikan yang telah hampir satu abad menunjukkan dedikasinya untuk menciptakan orang Indonesia yang berbudi pekerti.

Ananda Sukarlan dan Anies Baswedan dalam hal ini sama-sama tamu yang diundang oleh Kanisius. Indikasi sebagai tamu terlihat dari posisi kursi. Jika Ananda hadir sebagai alumni yang biasa-biasa saja maka mungkin ia tidak akan diberikan kursi VIP. Akan tetapi, karena kiprahnya yang mengharumkan nama bangsa di berbagai kancah internasional dalam bidang kemanusiaan dan musik, maka Ananda diberikan kursi terhormat. Pun demikian dengan Anies, yang kalau bukan gubernur tentu saja belum tentu akan diundang.

Pada poin ini, sebagai orang yang beragama dan tahu etika, maka penghargaan terhadap tamu haruslah diutamakan dan diperhatikan.

Pendidikan Mengajarkan Nilai

Amanat pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didiknya cerdas secara intelektual, akan tetapi punya kecerdasan secara spiritual dan emosional. Hal ini akan tercermin dalam bagaimana seseorang bersikap. Orang yang memiliki pendidikan tinggi seharusnya berkorelasi dengan ketinggian budi. Tanpa ketinggian budi seseorang akan menjadi arogan, egois, dan hanya mau menang sendiri.

Di Indonesia ini kita diajarkan untuk memilika nilai, etika, adab, sopan-santun atau tata krama. Hal ini terlihat begitu jelas dalam syair lagu Indonesia Raya karangan Wage Rudolf Supratman (1903-1938) yang mendahulukan “jiwa” ketimbang “badan”: “…bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya.” Artinya, jika kita meyakini bahwa pemilihan syair Indonesia Raya itu bukan sesuatu yang asal-asalan, maka kepedulian pada jiwa/moralitas/akhlak/adab haruslah tidak terlupakan sebagai jati diri orang Indonesia.

Orang Indonesia dalam konteks ini adalah orang yang memiliki budi luhur, etika, penghormatan kepada orang lain, dan memiliki daya saing. Maka kita butuh sekali dengan pribadi-pribadi yang berdaya saing tinggi namun tidak melupakan karakter dan etika kita sebagai orang Indonesia yang memiliki penghormatan terhadap tamu.

Hidupkan Budaya Apresiasi

Mau tidak mau saat ini kita hidup di dunia yang multikultur. Kita hidup di tengah berbagai macam manusia yang punya orientasi hidup berbeda, pilihan berbeda, bahkan juga gaya hidup yang berbeda. Sebagai perkembangan dari teknologi, informasi, dan mobilitas masyarakat modern, saat ini kita tidak bisa lagi mau hidup sendiri, menang sendiri, atau hebat sendirian. Singkatnya, kita hidup di tengah sekian banyak orang yang berbeda dengan kita, di dunia maya maupun dunia nyata.

Maka, mengapresiasi terhadap pilihan, karya, gaya hidup orang lain adalah penting perannya. Komentar Gubernur Anies yang mengapresiasi sikap Ananda yang walk out tersebut adalah bagian dari sikap bijaksana seorang pemimpin kepada orang lain. Seorang pemimpin yang baik tentu saja tidak cukup hanya bisa mengelola dirinya, akan tetapi dia harus bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya secara bijaksana.

Saat ini nilai-nilai apresiasi tampaknya sudah mulai lentur. Di media sosial misalnya, ketika ada yang berbeda, tak lama kemudian langsung diserang dengan sekian banyak cacian, makian, dan sumpah serapah yang gampang-gampang saja dilontarkan kepada orang lain. Mungkin, itu disebabkan kemudahan dalam berpendapat, tapi tidak disaring mana yang layak keluar dan mana yang sebaiknya ditahan.

Saat ini, rasanya kita memang harus menumbuhkan kembali budaya apresiasi terhadap orang lain. Kalaupun ada yang berbeda, jangan hinakan, sebaliknya angkat derajatnya. Jika ada yang bersalah maka taatlah pada sistem dan menahan diri adalah sikap terbaik. Kepada tamu, sejauh apapun perbedaan kita dengannya, tentu saja kita harus memberikan apresiasi dengan mendengarkannya, berdialog dengannya, dan berkolaborasi. Bukankah tujuan kita beraktivitas sama-sama untuk mengangkat harkat dan derajat bangsa Indonesia? *   

Tulisan ini telah lama saya tulis namun baru diposting di website ini. 
Foto ilustrasi: masterpendidikan.com

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...