Apresiasi |
Beberapa waktu yang lalu, aksi walk out dilakukan oleh pianis terkenal Ananda Sukarlan ketika Gubernur DKI Anies Baswedan berpidato, telah mengundang pro dan kontra. Para pendukung Ananda berdalih bahwa itu merupakan sikap yang berani terhadap seseorang yang menang tapi lewat cara-cara politisasi agama dan rasis, sementara kelompok yang kontra berpendapat bahwa sikap lulusan Kolese Kanisius tersebut tidak menghormati tamu yang diundang secara resmi oleh almamaternya sendiri.
Sebagai orang Indonesia, kita perlu
merenungkan dan berefleksi, apakah langkah walk out tersebut sudah sesuai
dengan karakter kita atau bukan. Terlepas dari perbedaan yang ada, seharusnya
kita tetap membudayakan sikap saling menghormati, saling mengangkat, saling
membantu; bukan saling menjatuhkan dan saling menghinakan.
Agama
Menghormati Tamu
Kita
meyakini bahwa semua agama mengajarkan sikap penghormatan terhadap tamu.
Siapapun yang bertamu harus dihargai, apalagi tamu tersebut diundang secara
resmi oleh almamater kita. Secara sederhana, dalam kasus Ananda ini kita
melihat bahwa pihak Kolese Kanisius tentu saja telah mempertimbangkan dengan
mata mengapa mengundang Anies Baswedan yang seorang gubernur.
Kendati
pun gubernur yang hadir itu adalah orang yang berbeda paham dan pilihan dengan
kita itu tidak berarti bahwa kita tidak menghormatinya. Apalagi ini berada
dalam konteks institusi pendidikan yang telah hampir satu abad menunjukkan
dedikasinya untuk menciptakan orang Indonesia yang berbudi pekerti.
Ananda
Sukarlan dan Anies Baswedan dalam hal ini sama-sama tamu yang diundang oleh
Kanisius. Indikasi sebagai tamu terlihat dari posisi kursi. Jika Ananda hadir
sebagai alumni yang biasa-biasa saja maka mungkin ia tidak akan diberikan kursi
VIP. Akan tetapi, karena kiprahnya yang mengharumkan nama bangsa di berbagai
kancah internasional dalam bidang kemanusiaan dan musik, maka Ananda diberikan
kursi terhormat. Pun demikian dengan Anies, yang kalau bukan gubernur tentu
saja belum tentu akan diundang.
Pada
poin ini, sebagai orang yang beragama dan tahu etika, maka penghargaan terhadap
tamu haruslah diutamakan dan diperhatikan.
Pendidikan
Mengajarkan Nilai
Amanat pendidikan tidak hanya menjadikan
peserta didiknya cerdas secara intelektual, akan tetapi punya kecerdasan secara
spiritual dan emosional. Hal ini akan tercermin dalam bagaimana seseorang
bersikap. Orang yang memiliki pendidikan tinggi seharusnya berkorelasi dengan
ketinggian budi. Tanpa ketinggian budi seseorang akan menjadi arogan, egois,
dan hanya mau menang sendiri.
Di Indonesia ini kita diajarkan untuk
memilika nilai, etika, adab, sopan-santun atau tata krama. Hal ini terlihat
begitu jelas dalam syair lagu Indonesia Raya karangan Wage Rudolf Supratman (1903-1938)
yang mendahulukan “jiwa” ketimbang “badan”: “…bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya untuk Indonesia raya.” Artinya, jika kita meyakini bahwa pemilihan
syair Indonesia Raya itu bukan sesuatu yang asal-asalan, maka kepedulian pada
jiwa/moralitas/akhlak/adab haruslah tidak terlupakan sebagai jati diri orang
Indonesia.
Orang Indonesia dalam konteks ini adalah
orang yang memiliki budi luhur, etika, penghormatan kepada orang lain, dan
memiliki daya saing. Maka kita butuh sekali dengan pribadi-pribadi yang berdaya
saing tinggi namun tidak melupakan karakter dan etika kita sebagai orang
Indonesia yang memiliki penghormatan terhadap tamu.
Hidupkan Budaya
Apresiasi
Mau
tidak mau saat ini kita hidup di dunia yang multikultur. Kita hidup di tengah
berbagai macam manusia yang punya orientasi hidup berbeda, pilihan berbeda,
bahkan juga gaya hidup yang berbeda. Sebagai perkembangan dari teknologi,
informasi, dan mobilitas masyarakat modern, saat ini kita tidak bisa lagi mau
hidup sendiri, menang sendiri, atau hebat sendirian. Singkatnya, kita hidup di
tengah sekian banyak orang yang berbeda dengan kita, di dunia maya maupun dunia
nyata.
Maka,
mengapresiasi terhadap pilihan, karya, gaya hidup orang lain adalah penting
perannya. Komentar Gubernur Anies yang mengapresiasi sikap Ananda yang walk out tersebut adalah bagian dari
sikap bijaksana seorang pemimpin kepada orang lain. Seorang pemimpin yang baik
tentu saja tidak cukup hanya bisa mengelola dirinya, akan tetapi dia harus bisa
menempatkan sesuatu pada tempatnya secara bijaksana.
Saat
ini nilai-nilai apresiasi tampaknya sudah mulai lentur. Di media sosial
misalnya, ketika ada yang berbeda, tak lama kemudian langsung diserang dengan
sekian banyak cacian, makian, dan sumpah serapah yang gampang-gampang saja
dilontarkan kepada orang lain. Mungkin, itu disebabkan kemudahan dalam
berpendapat, tapi tidak disaring mana yang layak keluar dan mana yang sebaiknya
ditahan.
Saat
ini, rasanya kita memang harus menumbuhkan kembali budaya apresiasi terhadap
orang lain. Kalaupun ada yang berbeda, jangan hinakan, sebaliknya angkat
derajatnya. Jika ada yang bersalah maka taatlah pada sistem dan menahan diri
adalah sikap terbaik. Kepada tamu, sejauh apapun perbedaan kita dengannya,
tentu saja kita harus memberikan apresiasi dengan mendengarkannya, berdialog
dengannya, dan berkolaborasi. Bukankah tujuan kita beraktivitas sama-sama untuk
mengangkat harkat dan derajat bangsa Indonesia? *
Tulisan ini telah lama saya tulis namun baru diposting di website ini.
Foto ilustrasi: masterpendidikan.com
Foto ilustrasi: masterpendidikan.com
No comments:
Post a Comment