Setelah menunaikan ibadah salat jumat di Masjid Kampus UI, saya bertemu seorang kawan yang angkatannya empat tahun sebelum saya. Setelah berbasa-basi, saya bertanya "udah sampai dimana?" Beliau menjawab, "belum sampai dimana-mana" sambil hendak pamitan bertemu kawannya yang lain.
Saya dengar kabar, kawan kita yang tadi sepertinya memang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan S3-nya karena banyak faktor. Tapi sebagai kawan, saya tetap berharap beliau dapat melanjutkan hingga tuntas.
Tadi di sela-sala menunggu pengumuman kelulusan Dr Sri Alem Br Sembiring, bertempat di Auditorium Komunikasi FISIP UI (27/12/2019), saya ngobrol juga dengan seorang staf akademik di jurusan kami. Dia bercerita, bahwa ada juga mahasiswa yang sudah ujian pra-promosi tapi tidak lulus.
Penasaran, saya bertanya kepada beberapa kawan perihal "apa sebab kawan kita yang senior itu tidak lulus?" Seorang kawan menjawab, "kayaknya memang waktu ujian hasil sudah tidak memuaskan, tapi kemudian tetap dipaksakan untuk lanjut." (Secara pribadi, saya masih berharap beliau bisa lanjut hingga lulus).
Sejenak saya berefleksi dalam diri. Bahwa ternyata, orang kalau sudah masuk di UI belum tentu bisa keluar dari UI dengan "selamat." Masuk UI itu susah, susahnya lagi keluarnya. Begitu kata orang, dan saya mengamini saja.
Sri Alem saat menyampaikan paparannya. Ia sempat sakit beberapa waktu. Tapi tamat 7 tahun dengan predikat Sangat Memuaskan, IPK 3,94 |
Beberapa tahun lalu saya pernah bertanya kepada seorang yang sedang kuliah di UGM. Kenapa belum selesai? Ia malah marah-marah, dan bertanya balik, "kenapa sih tanya-tanya?" Padahal, niat kita hanya bertanya, ya sekedar untuk mengetahui apa saja kendala yang dihadapi seorang mahasiswa S3, apalagi waktu itu kita juga ingin melanjutkan S3.
Seorang dosen saya di Unhas menamatkan pendidikan S3-nya 7 tahun. Padahal, beliau dikenal salah seorang dosen pinter, bahkan beberapa tulisannya juga dirujuk oleh banyak orang. Rupanya, berapa lama orang tamat kuliah itu tidak bergantung pada pintar atau tidak pintar, tapi karena banyak hal: bisa karena belum dapat novelty atau kebaruan, bisa karena tidak ada waktu (sibuk kerja), bisa juga karena tidak ada waktu bertemu pembimbing, dan banyak lagi.
Awalnya, saya sering melihat orang S3 dengan kacamata, intinya S3 itu 4 tahun bisa kelar. Tapi setelah dilewati tidak juga. Saya sendiri sekarang baru di tahun ketiga, dan sudah setahun ini saya masih berkutat pada ragangan atau outline.
Menurut pembimbing saya, ragangan yang sukses (sekitar 4 halaman saja), itu sudah 50 persen keberhasilan disertasi. Soal menulis itu gampang, katanya. Yang susah ini mencari novelty, kebaruan, yang akan berkontribusi pada bidang studi kita. Intinya sih, apa yang kita teliti itu hasilnya akan berdampak pada ilmu pengetahuan di bidang kita.
Mungkin di situlah bedanya studi S3 dan studi S2 atau S1. Mencari novelty yang harus betul-betul khas, berbeda, dan berkontribusi untuk bidang ilmu kita. Kalau hanya mengutip, itu gampang, tapi bagaimana mempertahankan ide kita yang bersumber dari hasil riset, itulah yang tidak gampang.
Seorang kawan lainnya tadi diminta oleh Mas Irwan Hidayana (Ketua Program Pascasarjana Antropologi UI) untuk semester depan ujian hasil penelitian. Ia hanya tersenyum. Saat makan, saya ngobrol dengannya. Dia bercerita bahwa suaminya dapat tugas kerja di Taipei, dan anak-anaknya ingin sekolah di sana. Mau tak mau ia harus cuti demi anak-anaknya yang ingin sekolah di sana. "Berbahasa Mandarin, sekolahnya, dan itu juga kan nggak gampang," katanya.
Konsekuensinya, kuliah dia agak tertunda. Ditambah lagi dengan info bahwa ia kena sakit autoimun yang memaksanya untuk harus realistis dalam mengerjakan disertai. Tidak bisa terlalu cepat. Ia harus mempertimbangkan betul kapan kerja dan kapan istirahat.
"Jadi, kalau saya bisa tamat S3, alhamdulillah, tapi kalau tidak juga saya sudah bersyukur bisa S2 yang itu nanti jadi inspirasi buat anak-anak saya," ceritanya ke saya.
"Tapi, saya yakin mbak bisa menyelesaikan itu," kata saya menyakinkannya.
Ia merasa senang karena ada yang memberikan sugesti positif baginya. Yah, sesama pejuang S3 kita memang harus saling support.
Oya, sebelum ujian promosi Sri Alem, seorang kawan sempat bertanya ke saya, "kapan ujian promosi?" Saya jawab, "masih berusaha nih." Masih berusaha itu berarti, saya harus membuat ragangan alias outline sebaik mungkin, kemudian menyusun isi disertasi itu, kemudian ujian hasil penelitian. Setelah itu saya harus terbitkan artikel di jurnal internasional, dan ujian tertutup serta terbuka.
Yah, masih lumayan. Saya sendiri menyadari bahwa beasiswa LPDP saya berakhir pertengahan tahun depan. Berarti, saya dapat kesempatan 1 semester lagi dari LPDP. Jika kelak saya harus lanjut dengan biaya sendiri, itu saya harus usahakan sebaik mungkin bagaimana caranya membayar uang kuliah, uang sehari-hari, dan tunjangan yang dari LPDP--yang tidak saya dapatkan lagi.
Artinya, apa yang tidak saya dapatkan lagi dari LPDP harus saya usahakan dari sumber-sumber lainnya. Apalagi anak-anak saya juga sudah bersekolah dengan biaya yang tidak murah. Tapi saya selalu yakin dan percaya bahwa rezeki tiap orang sudah ada dari Allah, dan kita sebagai kepala keluarga tinggal berusaha semaksimal mungkin untuk menjemput rezeki itu sambil berpikir dan berusaha menyelesaikan disertasi.
Ringkasan Disertasi Sri Alem. Judulnya bagus, diambil dari filosofi orang Karo. Judul tersebut diperoleh setelah ujian pra-promosi. |
Soal waktu selesai memang tiap orang beda-beda. Ada yang kuliah 2 tahun, kemudian ujian dan cumlaude seperti Ustad Abdul Somad, di Sudan. Di Indonesia juga ada yang kuliah 2.5 tahun dan doktor. Ada juga yang 3 tahun, 4 tahun, bahkan 7 tahun. Bahkan ada juga yang kuliah S3-nya itu 10 tahun karena harus berhenti kuliah kemudian test UI lagi sebagai mahasiswa baru.
Waktu ikut pelatihan singkat menulis statement of intent bagi yang berminat kuliah di Amerika di Kedubes Amerika yang diadakan oleh EducationUSA, saya teringat ucapan seseorang. Dia bilang begini, "Kuliah di Amerika itu lama, tapi worth it-lah hasilnya." Saya lihat, memang sih yang S3 di Amerika itu pada lama, tapi hasilnya luar biasa. Beberapa orang Indonesia memang ada yang tidak tamat S3 di sana, tapi itu kasuistik. Mereka yang tamat dari sana, memang bagus.
Tapi, saya lihat, S3 itu sebenarnya halte saja dari perjalanan karier intelektual kita. Kita bisa tamat dari mana saja, tapi yang penting dari itu adalah apa kontribusi yang bisa kita berikan untuk ilmu pengetahuan, dan masyarakat. Itu paling utama.
Foto bersama Prof Yunita, Dr Mia Siscawati, dan kawan-kawan Pascasarjana Antropologi UI. Setelah foto ini, saya konsultasi disertasi dengan Prof Yunita bersama Burhan Gala dan Nina |
Sebagai antropolog, kita harus meneliti sesuai penelitian antropologi. Tidak mudah, dan butuh kecerdasan tertentu. Penelitian etnografi yang sangat khas dalam antropologi itu juga harus mendalam. Tidak bisa hanya mengandalkan riset pustaka. Harus ada immersion dengan subyek penelitian. Kita harus bisa menggali apa yang ada dari lapangan, kemudian mengaitkannya dalam perdebatan teoritis dalam bidang kita.
Selain itu, kesulitan lainnya bagi seorang mahasiswa S3--setidaknya mulai angkatan saya, 2016--adalah harus publikasi jurnal terindeks Scopus minimal Q3. Soal publikasi ini juga nggak gampang. Biasanya dari kita kirim (submitted) sampai terbit (published) itu minimal satu tahun yang diselingi dengan sekian banyak revisi.
Katanya, kewajiban publikasi Scopus itu tidak wajib published, tapi bisa juga berstatus diterima (accepted) untuk diterbitkan (published). Tapi, itu baru qola wa qila, "katanya." Terlepas dari itu semua, saya pribadi tetap berusaha untuk bisa tamat kuliah dengan baik dan sehat.
Kenapa harus baik? Karena saya dosen, saya harus bisa menghasilkan riset yang baik. Kenapa harus sehat? Karena buat apa saya tamat doktor tapi saya malah sakit-sakitan setelah itu? Dari salah satu sudut di Perpustakaan UI, saya berdoa semoga kawan-kawan yang sedang S3 dimana pun itu dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik, dan khususon buat saya dapat menuntaskan tugas ini dengan baik dan sehat. *
No comments:
Post a Comment