Belajar dari Tekad Anak Indonesia
di Australia
Oleh Yanuardi Syukur
Indonesia
kaya dengan nilai-nilai positif yang sangat membantu anak bangsanya untuk
menggapai cita-cita. Pepatah seperti “gantungkanlah cita-citamu setinggi
langit”, atau “siapa bersungguh-sungguh, dia dapat,” dan lain sebagainya,
menjadi semacam “mantera” yang sangat ajaib dan mengubah orang biasa menjadi
luar biasa, orang pinggiran (periphery)
menjadi orang pusat (center).
Dari
sekian banyak anak bangsa yang belajar di luar negeri, salah satu di antaranya
adalah dokter Rosaria Indah yang saat ini tengah bergelut menuntaskan
pendidikan doktoralnya dalam bidang pendidikan profesi kesehatan di University
of Sydney, Australia. Rosaria adalah tipikal “anak daerah” (Aceh) yang punya
semangat tinggi untuk belajar dan tidak tanggung-tanggung, ia menuntaskan
pendidikan sarjana dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), kemudian master
dari Maastricht University (Belanda), dan sedang program doktor di University
of Sydney (Australia). Pengalaman belajar di tiga kampus tersebut tentu saja
tidak mudah, tapi bagi seorang Rosaria—yang biasa disapa Ocha—ia bisa
menuntaskan itu dengan semangat yang tinggi dan dibarengi dengan doa.
Rawat Motivasi
Belajar
Hal
pertama yang dapat kita petik dari buku karya Rosaria ini adalah soal motivasi
belajar. Jika melihat ke belakang, para tokoh bangsa kita punya memiliki
semangat belajar dan pergerakan yang tinggi. Bung Karno misalnya, ia belajar di
THS (sekarang ITB), dan menjadi insinyur dari kampus tersebut. Bung Hatta
menyelesaikan doktorandus dari Belanda dan terlibat dalam perdebatan wacana
kebangsaan di berbagai surat kabar. Kedua tokoh besar ini—yang satu belajar di
dalam negeri dan satu lagi di luar negeri—sama-sama memiliki semangat belajar
yang tinggi, semangat berjuang yang luar biasa, serta semangat untuk menyatukan
bangsa Indonesia yang sangat diversitas ini.
Apa
yang membuat Bung Karno dan Hatta bersemangat belajar? Besar kemungkinan adalah
kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa. Melihat ketimpangan
yang melanda masyarakat Indonesia, keduanya kemudian turun tangan dan ambil
bagian dalam upaya untuk membawa bangsa ini merdeka, berdaulat, dan sejahtera.
Semangat keduanya tentu saja sangat penting untuk diketahui, dipahami, dan
dihayati oleh pemuda Indonesia, bahwa ketika mereka mendapatkan kesempatan
belajar—di dalam atau luar negeri—sesungguhnya mereka mengemban amanat rakyat
untuk belajar sebaik-baiknya, serta pada saatnya nanti memberikan
sebanyak-banyaknya untuk kebangkitan bangsa.
Dalam
buku ini, dokter Ocha telah berupaya untuk itu, menunjukkan bahwa: man jadda wajada! Siapa
bersungguh-sungguh, dia dapat. Siapa belajar bahasa Inggris secara serius, dia
besar kemungkinan bisa kuliah di negeri berbahasa Inggris. Perjuangan dokter
Ocha sejak memutuskan untuk lanjut kuliah di Belanda dan Australia menjadi
sangat inspiratif bagi para pemuda Indonesia, bahwa mereka semua memiliki
kesempatan untuk mendapatkan beasiswa kuliah di dalam maupun luar negeri.
Seberapa besar peluang yang hadir sangatlah dipengaruhi oleh seberapa besar
usaha yang dikeluarkan.
Membudayakan
Menulis
Dalam
buku ini, dokter Ocha telah memberikan teladan dalam hal menulis. Pengalaman
berkuliah di luar negeri tentu saja tidak gampang, dan pastinya ada banyak hal
yang tidak ditemukan di Indonesia, dan itu menarik untuk dibagi kepada sesama.
Seseorang yang belajar di Australia misalnya, dapat menuliskan bagaimana
pengalamannya ketika baru tiba di benua kangguru tersebut, bagaimana berdialog
dengan orang Australia—yang memiliki bahasa Inggris yang khas—dan juga
bagaimana menjalani kehidupan perkuliahan baik saat sendiri atau bersama
keluarga. Menyekolahkan anak di negara tersebut juga sangat menarik untuk
dibagi, seperti juga pengalaman mengumpulkan receh-receh dollar Australia saat
bekerja di sana.
Apa
yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh dokter Ocha kemudian ia tuliskan
dalam buku ini. Secara umum, dalam buku ini ia menulis soal perjalanannya
sebagai pembelajar, pengejar beasiswa, pemimpin, tips-tips menjalani kuliah
PhD, serta berbagai isu yang ia minati ketika kuliah. Saya banyak teman yang
kuliah di berbagai negara akan tetapi tidak semua bisa—dan berhasil—menuliskan
ide-idenya dalam bait-bait halaman. Entah apa kesulitan yang dihadapi oleh pelajar
lainnya sampai terasa sulit menuliskan pengalamannya sendiri, akan tetapi jika
seseorang berkonsentrasi untuk menulis pengalamannya yang dikaitkan dengan
isu-isu kontemporer, rasanya akan lebih mudah ia tuntaskan tulisannya tersebut.
Ada
banyak buku yang beredar di toko dan rak-rak buku terkait pengalaman belajar.
Ada yang menulis pengalaman kuliah, pengalaman ikut short course, pengalaman travelling,
atau sekedar kajian pustaka tentang negara tertentu kendati mereka tidak pernah
berkunjung ke negara tersebut. Publikasi pengalaman ini tentu saja sangat
penting untuk memperkaya khazanah budaya literasi kita yang jika dibandingkan
dengan negara-negara besar lainnya kita masih rendah. Maka, jika para pelajar
membiasakan menulis—entah itu pengalaman atau ide-ide dan hasil
risetnya—pastinya akan bermanfaat untuk akselerasi budaya literasi kita,
apalagi saat ini kita tidak kekurangan bahan dengan hadirnya google yang setia
membantu data apa yang kita butuhkan.
Namun,
walaupun banyak buku pengalaman belajar telah ditulis, buku karya dokter
Rosaria Indah ini menarik paling tidak dalam beberapa hal. Pertama, sebagai motivasi buat anak bangsa bahwa mereka bisa
menggapai cita-cita setinggi mungkin. Ocha yang orang Aceh—jauh dari pusat kota
Jakarta—saja bisa melanjutkan pendidikan tinggi dan terus berprestasi, kenapa
anak bangsa lainnya tidak bisa? Kedua,
“pengalaman adalah guru terbaik” masih relevan dalam konteks berbagai cerita
nyata yang telah dialami untuk menjadi teladan, hikmah, bahkan pengingat (reminder) bagi orang lain. Apa yang
ditulis dalam buku ini merupakan kisah nyata, cerita real yang dialami oleh
seorang dokter yang berjuang bersama suami dan anaknya untuk bisa struggle for life di negeri orang. Hal
ini tentu saja sangat menginspirasi secara umum untuk mereka yang sedang
berjuang untuk kuliah di luar negeri, khususnya bagi mereka yang akan kuliah di
Australia.
Kembali Menguatkan
Cita-Cita
Cita-cita
ibarat roda; kadang di atas kadang di bawah. Kadang cita-cita itu kuat tapi
sering juga dia lemah. Cita-cita bisa kuat manakala kita mendapatkan penguat
dari dalam diri atau supporting dari
lingkungan sekitar. Bagi mereka yang sedang down,
membaca buku ini mereka bisa mendapatkan suntikan semangat bahwa dunia belum
berakhir, dan selama nafas masih ada yang namanya kesempatan itu selalu ada.
Bahkan, jika satu kesempatan tertutup mereka masih punya kesempatan lainnya.
Sedangkan bagi mereka yang sedang bersemangat menggapai cita-cita, membaca buku
ini dapat menjadi penguat semangat mereka untuk berbagi cerita kepada publik.
Ilmu dan pengalaman yang mereka punya mungkin terasa biasa-biasa saja—apalagi
jika membandingkan diri dengan yang lebih hebat—tapi jika dituliskan pasti ada
saja orang yang merasa, “wah, pengalaman ini penting sekali untuk saya”, atau
“buku ini sangat berguna buat saya dalam menggapai cita-cita.”
Apa
yang telah ditulis oleh dokter Rosaria Indah dalam buku ini diharapkan dapat
kita ambil berbagai hikmah di dalamnya. Kita berharap dokter Ocha dapat terus
berbagai ilmu dan pengalamannya untuk masyarakat Indonesia secara khusus,
dengan terus meningkatkan kapasitasnya sebagai seorang dokter, pendidik, dan
juga inspirator bagi masyarakat Indonesia. Ada banyak dokter yang telah berbagi
dan jadi inspirasi bagi kita, namun jumlah itu masih sedikit dibanding
banyaknya masyarakat kita yang membutuhkan teladan dan inspirasi. Selamat untuk
dokter Rosaria Indah atas terbitnya buku ini. Mari kita ambil yang terbaik dari
cerita-cerita ringan dokter Ocha, dan kita sebarkan inspirasi tersebut untuk
kebangkitan bangsa Indonesia.
Jakarta, 18 Agustus 2017
No comments:
Post a Comment