Ilustrasi Tempo Institute |
TIDAK
ADA MANUSIA yang terlahir langsung bisa menulis. Semua berproses, semua
belajar. Semua penulis baik yang telah tiada atau yang masih ada pasti pernah
mengalami semua proses kepenulisan. Mereka memulai dengan minat, kemudian
mencoba-coba. Gagal. Mereka coba lagi, lagi dan lagi. Akhirnya, pada titik
tertentu dari proses itu, mereka melahirkan sesuatu yang menurut orang lain
sangatlah inspiratif dan luar biasa.
Mencari Inspirasi
Ada
yang bilang, inspirasi tidak perlu dicari. Ada betulnya. Tapi tidak sepenuhnya
betul. Bagi orang tertentu, inspirasi bisa datang sendiri. Tak perlu dicari-cari.
Akan tetapi bagi orang lain, inspirasi haruslah dicari. Mereka mencari dengan
cara baca buku, diskusi, baca status atau tweet orang di Facebook atau Twitter,
dan seterusnya. Tidak ada yang salah dari mereka yang mencari inspirasi atau
mereka yang menunggu inspirasi.
Sebagai
penulis pemula, saya mencari inspirasi dengan beberapa cara. Pertama, jalan-jalan. Saya termasuk
lelaki yang suka jalan-jalan. Sejak kecil, saya yang dibesarkan di pinggir
pantai terbiasa berjalan dari rumah ke sebuah tanjung untuk mencari ikan, atau
kepiting. Tak jarang, saat jalan-jalan di pantai itu kaki saya terkena duri babi, sebuah binatang laut berduri
yang kalau kena kaki harus—maaf, dikencingi—agar bisa sembuh. Pengalaman di
pantai itu selanjutnya berpengaruh pada saya ketika harus merantau di usia 11
tahun ke Jakarta dan mengenal seluk-beluk ibukota yang segala hal ada.
Suatu
ketika saya lihat buku bekas yang murah. Saya beli, dan hasilnya adalah saya
membuat buku baru dengan topik dengan mengambil intisari penting dari buku itu
kemudian saya mengolah dengan data-data tambahan. Itu karena jalan-jalan. Tak
jarang juga saya menulis sebuah artikel di koran setelah mendapatkan inspirasi
dari jalan-jalan ke kota lain, atau sekedar di tempat-tempat tertentu yang
sepi. Sepi kadang menakutkan, tapi kadang juga memberanikan.
Kedua, waktu di Jakarta saya hobi
baca-baca di Gramedia Blok M. Paling tidak satu bulan sekali saya ke toko buku
tersebut untuk membaca 30 Kisah Teladan
karya KH. Abdurrahman Arroisi atau Asterix. Sesekali saya juga baca buku-buku
politik yang sedang hangat diperbincangkan orang. Ketika membaca saya
semaksimal mungkin selain menghibur diri juga berupaya menangkap apa inspirasi
atau hikmah yang dapat diambil—paling tidak untuk diriku sendiri. Kisah-kisah
teladan sangat berpengaruh bagi kepribadian saya di masa-masa remaja dan
rasanya sampai sekarang.
Ketika
kuliah di Makassar, saya juga menjadwalkan diri ke toko buku. Gramedia Mal Ratu
Indah adalah salah satu tujuan saya untuk baca buku disamping beberapa toko
buku tua lainnya yang menjual buku-buku dengan harga murah. Saat baru dapat
beasiswa saya biasanya ke tokoh buku murah untuk beli buku seharga Rp.2.000
sampai Rp.20.000. Di atas harga itu biasanya saya memilih untuk berpikir dua
kali, atau saya coba baca dan rekam apa intisari dari buku ‘mahal’ tersebut.
Kalau lagi kosong, saya juga membiasakan diri ke Perpustakaan Unhas. Saya suka
berlama-lama di lantai buku referensi yang jarang disinggahi mahasiswa yang
membuat buku-buku itu berdebu, bahkan beberapa di antaranya jadi santapan
rayap.
Memulai Menulis
Apa
cara terbaik untuk jadi penulis? Setelah membaca, cara selanjutnya adalah
menulis. Semua penulis menjadikan menulis adalah bagian dari kehidupan mereka.
Memulai menulis memang susah-susah gampang. Kadang saat lagi semangat tiba-tiba
mood menulis jadi hilang karena terganggu sesuatu hal. Gangguan dalam menulis
memang banyak, akan tetapi semua itu harus kita tepis dengan berkomitmen pada
tulisan.
Secara
pribadi, saya menguatkan komitmen saya dalam menulis untuk berdakwah. Saya
meyakini bahwa menulis adalah bagian dari sarana dakwah yang efektif di dunia
modern. Saat ini seiring dengan bertambahnya minat baca masyarakat, semakin
bertambah pula kebutuhan bacaan yang baik dan menginspirasi. Walaupun kadang
saya rasa buku-buku saya ‘tidak begitu baik’, akan tetapi saya selalu merasa
bahwa dakwah lewat tulisan ini harus terus ditekuni, lepas dari apakah buku itu
laku atau tidak lalu, best seller atau
tidak, dapat penghargaan atau tidak, dan seterusnya.
Soal
pengakuan manusia, hemat saya adalah konsekuensi logis dari usaha. Kita tidak
perlu berharap pengakuan dari orang lain bahwa kita penulis hebat. Cukup kita
berusaha menulis dengan sebaik-baiknya, dan diikuti dengan semangat untuk terus
belajar dan menjauhi sifat tinggi hati, itu sudah cukup untuk berproses jadi
penulis. Semua penulis di saat yang sama adalah pembelajar. Maka mereka juga
harus tetap membuka hati dan pikiran untuk menampung masukan-masukan dari
berbagai pihak. Rasa puas dalam belajar sebaiknya diminimalisir, agar jiwa kita
senantiasa tertanam sifat fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dakwah lewat menulis adalah kebaikan, maka baik sekali jika kita meniatkan
setiap tulisan kita untuk meraih keridhaan Allah.
Jika
semangat sudah ada, maka segeralah menulis. Jangan tunda lama-lama. Jika
telepon genggam yang kita pakai bisa untuk menulis note, maka menulis di situ
juga bisa. Atau, menulis di laptop juga bisa. Dulu waktu belum punya laptop,
saya terbiasa menulis tiap kali online di warnet. Tulisan-tulisan itu kemudian
saya posting ke beberapa milis dan teman di jejaring Friendster. Ada yang
memberikan tanggapan ada juga yang tidak. Tapi saya selalu merasa senang
manakala sebuah tulisan selasai dan dapat dibagi ke orang lain.
Memperkaya Tulisan
Tulisan
yang sudah jadi haruslah diperkaya dengan berbagai sumber. Para motivator
kepenulisan biasa menasihati, “tulis dengan hati, edit dengan kepala.”
Maksudnya, tulislah segala sesuatu secara mengalir dari hati. Jangan pedulikan
dulu apakah diksinya bagus atau tidak dan datanya sudah valid atau belum. Tulis
saja sampai selesai! Jika sudah selesai, baru tulisan itu diedit lagi atau diperkaya
dengan berbagai bahan.
Jika
menulis artikel di koran, sebaliknya jangan cuma pendapat pribadi. Sertakan
juga pendapat para ahli, hasil penelitian dari berbagai jurnal, atau
kutipan-kutipan dari buku. Sumber dari media massa juga bisa, akan tetapi
sebaiknya pilihlah media massa (cetak atau online) yang terpercaya. Adapun
sumber-sumber dari blog, sebaiknya diminimalisir, kecuali yang ditulis oleh
penulis yang benar-benar ahli di bidangnya dan blog tersebut memang otoriatatif
miliknya. Hemat saya, untuk memperkaya tulisan opini, tiap orang baik sekali
untuk mengutamakan jurnal ilmiah yang paling mutakhir, buku teks, atau media
massa. Jadi, urutannya mulai dari yang berat-berat dulu, selanjutnya yang
ringan.
Jika
bisa berbahasa asing, tentu kualitas tulisannya akan lebih baik. Memang tidak
ada jaminan bahwa tulisan orang asing (atau yang berbahasa asing) lebih baik
akan tetapi biasanya tulisan di jurnal internasional (sebagai contoh) telah
melewati berbagai seleksi ilmiah yang sangat ketat. Olehnya itu maka kemampuan
berbahasa asing juga pergi bagi tiap penulis yang sangat berguna untuk
mempelajari pemikiran penulis di negara lain, atau untuk mengikuti berbagai
event internasional. Umumnya di Indonesia, pembelajaran menulis kita dimulai
dari organisasi lokal, kemudian nasional, regional dan internasional. Misalnya
di FLP, kita ikut perekrutan anggota yang di situ diajarkan segala sesuatu
tentang FLP dan cara menulis. Kemudian kita ikut berbagai event nasional
seperti pelatihan menulis untuk jenjang andal yang dibawakan oleh beberapa
penulis masyhur. Atau, kegiatan regional seperti Majelis Sastra Asia Tenggara
(Mastera) yang pesertanya dari beberapa negara serumpun Melayu. Selanjutnya,
event-event internasional juga banyak diadakan, baik di Jakarta, Bali, atau
Makassar. Program menulis di International Writing Program di University of Iowa
Amerika adalah berkelas untuk diikuti. Tentu saja, ini membutuhkan kemampuan
bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Mengakhiri Tulisan
Kapan
sebuah tulisan dianggap selesai? Dalam hal ini tiap orang bisa berbeda. Ada
orang cepat menganggap tulisannya selesai dan tuntas, serta siap untuk dikirim.
On the other hand, ada juga yang
selalu merasa belum puas, dan cenderung bersifat perfeksionis. Saya punya
kenalan, ia pernah menulis sebuah artikel ke koran nasional dan langsung
diterima. Padahal ketika itu ia belumlah bisa dianggap ‘penulis lokal’ di
daerah. Kenapa bisa diterima? Ternyata karena apa yang ditulisnya sangat pas
dengan kebutuhan redaksi, jadi diterima. Saat itu, ia menulis tidak dalam waktu
lama, kemudian ia memutuskan untuk kirim ke redaksi. Tapi ada juga yang
berhari-hari menulis artikel—dihapus atas-bawah—tapi tidak juga dimuat ketika
tulisan terkirim. Dalam hal ini, kita perlu menyadari bersama, bahwa tiap tulisan punya takdirnya masing-masing.
Paling
tidak, sebelum mengakhiri tulisan, kita perlu mempertimbangkan beberapa hal
ini. Pertama, baca kembali judulnya.
Apakah judul tulisan sudah bagus, mudah dipahami, relevan dengan isi atau
tidak. Soal bagaimana membuat judul yang baik kita bisa belajar dari banyak
penulis. Emha Ainun Nadjib sangat terkenal dengan judul yang menarik. Juga
Mohamad Sobary, esais yang ‘rada mirip’ dengan Emha: kerap menampilkan budaya
Jawa dalam tulisan-tulisannya. Judul-judul Goenawan Mohamad juga bagus; kadang
singkat-singkat tapi ia diakui sebagai esai hebat. Selebihnya, para penulis
fiksi biasanya punya kosakata yang unik yang baik untuk kita pelajari ketika
menulis non-fiksi. Untuk itu, maka tetap membaca fiksi adalah penting selain
membaca tulisan-tulisan dari penulis non-fiksi seperti Adian Husaini, Anis
Matta, Yudi Latief, Radar Panca Dahana, atau Yusran Darmawan.
Kedua, baca kembali lead-nya. Lead
atau kepala tulisan adalah tulisan pada paragraf pertama. Kita bisa memulai
dengan berbagai macam lead seperti lead sejarah, kutipan, atau ayat suci.
Menulis dengan lead sejarah berarti kita memulai paragraf pertama dengan cerita
sejarah tentang obyek yang hendak ditulis. Lead kutipan bisa diambil dari
kutipan seorang tokoh, ahli, atau individu tertentu yang relevan sebagai preambule sebuah tulisan. Lead dari
kitab suci juga bisa. Akan tetapi, saya sarankan agar ketika memulai dengan
kutipan ayat kitab suci disertakan juga tafsir singkat dari mufassirin tentang ayat tersebut. Bisa
mengutip dari kitab Ibnu Abbas, Ibnu Katsir, Jalalain, Sayyid Qutb, atau
mufassirin Indonesia seperti Prof. Dr. Mahmud Yunus, Prof. Dr. Hamka, Ahmad
Hassan, atau Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Dalam menulis lead, kita juga bisa
belajar dari model academic writing
bahasa Inggris yang memulai dengan kontradiksi; setelah menjelaskan pendapat
pertama (sebutlah itu tesis), selanjutnya pendapat yang berbeda dengannya
(sebutlah itu antithesis). Dengan demikian, pembaca mendapatkan pencerahan
bahwa ada dua pendapat terkait subyek yang hendak dibahas.
Membaca
konten adalah hal ketiga yang sangat
penting. Sebuah tulisan tidak ada gunanya juga tidak ada kontennya. Agar lebih
mudah, konten sebuah tulisan berisi tiga ide utama. Misalnya, ketika membahas pentingnya
melanjutkan pendidikan pascasarjana, kita memberikan tiga alasan. Contohnya:
alasan pertama, karena persaingan masa depan adalah persaingan pengetahuan;
kedua, kebutuhan relasi yang menunjang karir di masa depan; dan ketiga agar
melatih cara berpikir yang rasional dan realistis. Ketiga hal ini merupakan
inti dari pemikiran kita terkait lanjut studi S2 atau S3. Inti dari ketiga hal
itu harus dikuatkan dengan berbagai data penunjang yang membuat kenapa tiga hal
itu penting untuk diperhatikan.
Keempat, menutup tulisan. Tulisan yang
telah jadi haruslah ditutup dengan sesuatu yang menarik. Ada yang menutup
tulisan dengan kutipan, ada juga yang menutup dengan pertanyaan retoris (yang
tidak perlu dijawab), atau ada juga yang menutup tulisannya dengan cerita. Pada
dasarnya, menutup tulisan dengan memulai bisa saling mengisi satu sama lain.
Untuk tulisan artikel yang hanya 3 atau 4 halaman, kita harus benar-benar bisa
menampilkan tulisan yang koheren atau tersambung satu sama lainnya.
Menghadapi
Penolakan
Bagi
seorang pejuang, cinta ditolak itu biasa, apalagi tulisan yang ditolak. Cinta
saja—yang notabene sangat asasi dalam hidup—mereka bisa hadapi dengan tegar,
apalagi sekedar tulisan beberapa lembar yang tidak mendapatkan respon atau
singkatnya ditolak. Saya teringat ketika pertama kali mengirimkan naskah ke
sebuah penerbit di Jakarta. Waktu itu saya kirim 4 naskah buku. Setelah sebulan
menunggu, naskah itu ditolak (saya lupa apakah ada suratnya atau tidak). Tapi,
walau ditolak, saya tidak putus asa. Penolakan itu membuat saya terus
bersemangat untuk menulis.
Belakangan
hari, beberapa naskah saya dengan mudah diterima oleh penerbit. Ada yang saya
kerjakan selama dua bulan, ada yang satu bulan, bahkan ada yang selesai dua
minggu, satu minggu, bahkan kurang dari satu minggu. Untuk naskah-naskah yang
saya minati, dan datanya mudah didapat, saya biasanya tepat waktu. Misalnya,
saya bilang, “naskah ini insya Allah selesai dalam dua minggu.” Biasanya, kalau
bilang begitu berarti saya bisa menyelesaikan kurang dari 14 hari. Jadi, sehari
atau dua hari sebelumnya saya yakin naskahnya kelar.
Tapi,
walau sering diterbitkan, tidak semua naskah bernasib sama. Setiap naskah punya
takdir yang berbeda-beda. Saya meyakini itu. Pernah ada naskah yang saya rasa
isinya biasa saja, akan tetapi diterbitkan. Tapi ada juga yang saya rasa sudah
oke, tapi nyatanya tidak diterbitkan. Bahkan, sampai sekarang naskah saya
pernah mengalami nasib sudah diterima oleh penerbit (tentu saja senang) akan
tetapi pada akhirnya batal terbit dengan berbagai alasan. Maka, kalau naskah
kita diterima oleh penerbit, baiknya jangan terlalu gembira dulu, karena masih
ada proses selanjutnya. Kecuali kalau naskahnya sudah ada surat perjanjian, ada
kavernya, atau sudah ada di toko buku, barulah ‘lebih enak’ kita tulis di
status Facebook, “Alhamdulillah, naskah saya terbit, dst..”, atau kirim pesan
di Whatsapp, “Akhirnya, naskah saya diterima sama penerbit.” Itu belum tentu
terbit. Jangan senang dulu. Kecuali, naskahnya sudah jadi buku dan dipajang di
toko buku.
Akhirnya,
tiap orang punya sisi lebih dan sisi kurang. Ada yang pintar di judul tapi
lemah di isi. Tugas kita adalah bagaimana mencari titik terkuat kita—apakah di
judul, lead, isi, atau penutup—dan terus belajar. Ya, terus belajar adalah
baik. Karena tiap pelajar punya masa depan yang berbeda-beda, seperti juga tiap
penulis naskah punya nasib yang berbeda-beda pula.
Maros, 20 April 2016
No comments:
Post a Comment