Friday, January 31, 2020

Makna Doktor Helvy Tiana Rosa

Foto bersama Dr. Helvy Tiana Rosa, Boim Lebon, dan Billy Antoro di Gedung Bung Hatta Pascasarjana UNJ

Pada sebuah kamis di minggu terakhir Januari 2020, ujian terbuka diadakan di Universitas Negeri Jakarta. Di lantai 5 Gedung Bung Hatta tersebut, pendiri Forum Lingkar Pena, Helvy Tiana Rosa mempertahankan disertasinya berjudul "Proses Kreatif Menulis Cerpen Perempuan Pekerja Rumah Tangga".

Di bawah arahan promotor Prof. Dr. Ilza Mayuni dan kopromotor Prof. Dr. Emzir, Helvy menyabet gelar doktor dari UNJ yang ke-4032 dengan predikat sangat memuaskan.

Untuk menuntaskan disertasinya, Helvy banyak berdiskusi dengan aktivis FLP Hong Kong seperti: Syifa Aulia, Susie Utomo, Bayu Insani, Jaladara, dan Ida Raihan.

Banyak orang yang senang dengan ujian terbuka salah seorang dari "500 tokoh muslim berpengaruh di dunia" yang dirilis oleh Royal Islamic Strategic Studies, Amman, Yordania, tersebut. Memasuki gedung Bung Hatta, kita disambut oleh berbagai karangan bunga, mulai dari politisi seperti H. Mustafa Kamal, senator Fahira Idris, aktris Oki Setiana Dewi dan suami Ory Vitrio, aktor Masaji Wijayanto, hingga berbagai organisasi mulai dari Forum Lingkar Pena, Majalah Sastra Horison, Komunitas Bisa Menulis, dan lain sebagainya.

Tak ketinggalan, Asmarani Rosalba aka Asma Nadia, yang juga pendiri FLP selain Helvy dan Maimon Herawati, juga mengucapkan "selamat dan sukses." Tak hanya itu, Asma yang merupakan adik dari Helvy bahkan mengabadikan prosesi sakral ujian disertasi tersebut dalam bentuk live di Instagramnya yang diikuti 866ribu orang. 

Selain itu, juga hadir orangtua dan keluarga besar Helvy Tiana Rosa, sastrawan Taufiq Ismail, sutradara Jastis Arimba, aktor Fauzi Baadillah, aktris Aquino Umar, mantan GM Ummigroup Ahmad Mabruri, pustakawan Nur Indrawati Pary, dan para aktivis FLP seperti Intan Savitri, Rahmadiyanti Rusdi, Billy Antoro, Susie Utomo, Bayu Insani, Syifa Aulia, Winda Ariyanita, dan lain sebagainya.

Singkat kata, banyak orang yang bergembira, senang, dan bersyukur dengan prosesi ujian terbuka tersebut. Di media sosial juga ramai orang mengucapkan selamat, sambil mengaitkan bahwa "satu-persatu mantan ketua FLP telah doktor, setelah Setiawati Intan Savitri, M. Irfan Hidayatullah, dan Helvy Tiana Rosa."

Ketiga mantan ketua umum FLP tersebut selain berprofesi sebagai penulis juga sebagai pengajar di perguruan tinggi. Intan Savitri misalnya, adalah pengajar psikologi di Universitas Mercubuana. Irfan Hidayatullah mengajar sastra di Universitas Padjadjaran. Sementara Helvy Tiana Rosa adalah dosen sastra Indonesia di UNJ.

Selain tiga nama di atas, aktivis FLP yang telah doktor adalah Ganjar Widhiyoga dari University of Durham, Inggris (2017) yang pasca-doktor menulis sebuah artikel jurnal internasional berjudul "The Construction of the Umma: From Global Consciousness to an Aspirational Global Society", terbit di The Muslim World (Hartford Seminary, 2019). Selain itu, juga ada Ekky Imanjaya yang tamat doktor dari kajian film, University of East Anglia, Inggris, dan Sofie Dewayani (FLP Amerika) yang tamat S3 dari University of Illinois at Urbana, Amerika Serikat. Juga, ada Hadi Susanto, tamatan S3 dari University of Twente, Belanda, yang kini aktif sebagai professor di University of Essex, Inggris. Selain beberapa nama tersebut, bisa jadi ada nama lain yang tidak sempat disebut dalam tulisan ini.

Perjuangan

Jika peribahasa "man jadda wajada" yang berarti "siapa bersungguh-sungguh dapatlah ia" sudah sangat mainstream, mungkin kita bisa pakai peribahasa Arab lainnya yang artinya sama, yaitu "man sara aladdarbi washala", artinya "siapa yang berjalan di jalannya akan sampai pada tujuannya." Arti umumnya: siapa yang serius di jalannya, cepat atau lambat akan dapatlah apa yang dia tuju. Kuncinya: sungguh-sungguh.

Setelah ujian promosi bunda dari Abdurahman Faiz dan Nadya Paramitha tersebut, saya bertanya kepada Widanardi Satryatomo aka Mas Tomi, suami Mbak Helvy.

"Mas Tomi, berapa tahun Mbak Helvy selesaikan doktor?"

"Sepuluh tahun, mas," jawabnya.

Sepuluh tahun doktor termasuk lumayan. Bukan lumayan lagi sih, tapi luar biasa. Saat ini biasanya maksimal seseorang bisa menuntaskan doktornya pada tahun ketujuh. Pada tahun ketujuh, Helvy telah menyelesaikan penelitiannya, dan ketika lewat batas waktu, ia dapat semacam dispensasi untuk meneruskan disertasinya sampai selesai.

Seorang guru saya juga pernah melewati fase yang sama. Sepuluh tahun sudah ia menjadi mahasiswa, dan ketika itu ia memutuskan untuk lanjut S3 lagi di luar negeri. Tapi, setelah dikonsultasikan dengan kampusnya, ternyata masih ada kesempatan untuk dapat menyelesaikan program doktornya itu. Akhirnya, setelah dikebut penulisan disertasinya, selesai juga.

Maknanya, apa?

Tidak lain dan tidak bukan, hanya satu: perjuangan.

Tapi, tiap mahasiswa S3 punya cerita yang beda-beda. Seorang senior saya di UI punya perjuangan yang lumayan. Di tengah kuliah, ia sakit dan harus bolak-balik ke rumah sakit, di Indonesia dan Malaysia. Ia tidak bisa berlama-lama depan komputer. Pernah matanya kayak besar sebelah, dan sakit. Dia pun mengompres matanya agar bisa kembali normal. Bahkan, pernah juga dia masukkan kepalanya ke dalam kulkas.

"Apa kau bikin itu?" tanya tetangga kamarnya.

"Sakit sekali mata saya, kak," jawab dia.

Tidak hanya itu, ia juga kena sakit syaraf kejepit. Kalau menengok kiri-kanan nggak boleh sekalian dengan badan. Harus pelan-pelan, bahkan harus ditopang oleh sebuah alat di lehernya.

Pada tahun terakhir, dia sudah nggak kuat. Tapi, semangatnya masih teramat kuat. Dia tidak ingin sekedar lulus karena semacam belas kasihan karena sakitnya. Dia ingin lulus dengan seutuhnya, dengan hasil dari perjuangannya. Walhasil, senior saya itu pun tamat doktor dengan kebaruan (novelty) tiga kategori sikap petani dalam "berbagi dan tidak berbagi" di salah satu daerah di Sumatera.

Wah, berat betul ya kuliah doktor itu. Bisa iya bisa tidak sih. Kembali lagi pada "takdir" masing-masing orang. Ada kawan saya lainnya yang tamat doktornya hanya 2.5 tahun dalam ilmu biologi. Mungkin di semester awalnya sudah jelas apa yang mau diteliti. Atau, program doktornya memang bisa cepat.

Penceramah kondang Ustad Abdul Somad kuliahnya juga cepat. Baru kita dengar ia lanjut S3, tak lama kita dengar lagi ia sudah doktor dari Universitas Islam Omdurman, Sudan. Dan, baru-baru ini kabarnya juga dapat gelar professor pelawat dari Universitas Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) yang suratnya diberikan oleh Rektor Dr. Haji Norarfan bin Haji Zainal. Professor pelawat mungkin sama dengan "professor tamu" atau visiting professor, yaitu sebuah gelar professor untuk jangka waktu tertentu.

Kembali pada perjuangan doktor. Tiap orang punya cerita yang berbeda-beda. Para politisi yang bergelar doktor juga banyak. Kadang kita heran di tengah kesibukannya para politisi bisa menuntaskan doktornya. Mungkin butuh kecerdasan tingkat tinggi untuk itu.

Makna Doktor Helvy

Lantas, apa makna gelar doktor bagi Helvy Tiana Rosa? Makna bagi pribadinya adalah: tuntas. Tuntas dalam menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Dalam suatu kesempatan ngobrol di Bali, Mbak Helvy pernah bercerita bahwa dalam kuliah doktor ini ia betul-betul bertanggungjawab dengan dirinya sendiri. Artinya, kapan dia mau selesai itu berada dalam keinginannya. Dia tidak ingin diintervensi orang lain.

Saya merasa ada semacam tekad personal yang kuat dalam dirinya. Jika mau cepat-cepatan doktor, mungkin sudah lama ia doktor. Tapi, ia ingin menjalaninya dengan proses, karena esensi dari belajar adalah proses, bukan sekedar tujuan. Dapat doktor itu bagus, tapi lebih penting dari itu adalah apa makna dari gelar tersebut, dan apa yang dapat dilakukan setelah mendapatkan gelar tertinggi tersebut.

Di tengah masa studinya, Helvy membuat film. Ketika Mas Gagah Pergi (2016), Duka Sedalam Cinta (2017), 212 The Power of Love (2018), dan Hayya: The Power of Love 2 (2019) adalah film yang dibuatnya pada beberapa tahun jelang ujian terbuka. Dia harus pergi kemana-mana untuk menuntaskan idealisme hadirnya film keluarga yang islami bagi penonton Indonesia.

Para aktornya juga tidak semua yang terkenal. Saya lihat Helvy senang untuk mengorbitkan orang baru agar menjadi idola atau tepatnya lagi: teladan. Beberapa aktor muda yang melejit dari tangan seleksi Helvy memperlihatkan karakter sebagai pribadi muslim yang taat, gaul, fresh, berprestasi, dan dapat diteladani. Setelah mencetak banyak penulis di FLP, terlihat bahwa Helvy berambisi untuk mencetak para aktor muslim yang tidak hanya muslim di panggung, tapi juga muslim dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi FLP, gelar doktor Helvy adalah inspirasi bagi para kader agar mencari ilmu ke jenjang paling tinggi dan menuntaskan apa yang telah mereka mulai. Perkara menuntaskan itu rada susah, karena tidak semua orang terlatih untuk berpikir tuntas. Ada yang senang memulai tapi mengulur-ulur untuk tuntas. Salah satu karakter tokoh utama dalam film Indonesia yang tidak begitu disenangi oleh beberapa penonton adalah, karena "senang memberi harapan" dan terlalu sering "mengulur-ulur", tidak ada kepastian.

Bagi perempuan, ini adalah teladan yang baik. Bahwa menjadi perempuan tidak hanya sekedar produktif dalam ranah internal tapi di ranah eksternal juga dapat mereka lakukan. Melanjutkan S3 adalah bagian dari perjuangan di ranah eksternal tersebut. Perempuan dapat menggali semangat Helvy bagaimana ceritanya sampai bisa bertahan untuk kuliah sementara ia juga pasti banyak urusan lainnya.

Makna yang cukup penting dalam momen bahagia kemarin adalah soal kontribusi pada ranah akademik. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang dosen setelah ujian promosi bahwa sebagai dosen Helvy Tiana Rosa harus banyak meneliti dan menerbitkan artikel jurnal internasional agar memiliki dampak para rekan sejawat dalam bidang yang sama. Meneliti adalah suatu perkara, menulis perkara lainnya, dan menerbitkan artikel di jurnal internasional juga perkara yang tidak mudah; minimal butuh satu tahun dari pengiriman, review rekan sejawat, hingga terbit.

Jika sekedar menulis artikel atau esai, sudah tentu Mbak Helvy dapat menuntaskannya dengan mudah, dan enak dibaca. Akan tetapi, menulis artikel jurnal itu jalan yang tidak mudah. Takdirnya sebagai dosen mengharuskannya untuk bisa menerbitkan artikel jurnal, sebagai bagian dari tiga tugas mahaberat para dosen, tridharma perguruan tinggi: melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

Secara pribadi, saya berharap Mbak Helvy dapat meneruskan perjuangannya pasca-doktor dengan menulis artikel jurnal, nasional dan internasional. Artikel-artikel tersebut pastinya sangat berguna bagi perkembangan kajian sastra. Memang kadang menulis akademik itu rada membosankan, karena tidak bebas kita berekspresi. Akan tetapi, pakem artikel akademik memang sudah begitu. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah bagaimana menulis artikel yang nilai akademiknya terjaga tapi nggak ngebosenin.

Kita percaya bahwa Mbak Helvy dapat menuntaskan perjuangannya pasca-doktor ini dengan menulis artikel jurnal internasional yang berdampak secara akademik. Akhirnya, kita pun bolehlah berharap setidaknya dalam lima tahun ke depan Mbak Helvy bisa dikukuhkan sebagai guru besar sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta yang pastinya berdampak positif tidak hanya pada institusi UNJ tapi juga bagi publik Indonesia.

Insya Allah, Prof. Dr. Helvy Tiana Rosa. *

Yanuardi Syukur, Koordinator Divisi Litbang BPP FLP dan Tim Penulis "Jejak Forum Lingkar Pena dalam Gerakan Literasi Indonesia", Sekjen DPP Forum Dosen Indonesia

Thursday, January 23, 2020

Buku, Diplomasi, dan Travelling

Saya mulai rasa pentingnya "diplomasi buku" sejak pulang dari pertukaran tokoh muda muslim Australia-Indonesia tahun 2015. Waktu itu saya berangkat dengan rekomendasi dari beberapa lembaga salah satunya dari FLP yang saat itu diketuai oleh psikolog Sinta Yudisia.

Sepulang dari Australia, saya membuat buku kumpulan tulisan. Prosesnya dua tahun sejak ide itu digulirkan sampai terbit. Penulisnya 77 orang dari kedua negara. Selain dari saya, kata pengantarnya ditulis oleh Dubes Australia saat itu, H.E. Paul Grigson. Rowan Gould dan istrinya, Brynna Rafferty-Brown turut menjadi editor terutama untuk teks berbahasa Inggris dan apapun terkait Australia.

Buku berjudul "Hidup Damai di Negeri Multikultur" itu pada akhirnya diterbitkan Gramedia, tahun 2017. Peluncurannya diadakan di Executive Residence, Kedubes Australia. Setelah itu, saya juga buat bedah buku tersebut di dua kampus, Universitas Paramadina dan UIN Alauddin, Makassar.

Buku yang dikerjakan selama 2 tahun ini adalah bentuk buku diplomasi untuk kedua negara. Dari sisi Australia, buku yang berisi pengalaman muslim Indonesia berkunjung ke tiga kota Australia (Sydney, Melbourne, Canberra--ada juga yang dapat kota lainnya) punya arti lebih: bahwa pertemuan dan dialog sangat penting untuk diplomasi antarmasyarakat.

Memang, program Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) itu dibiayai oleh Pemerintah Australia, akan tetapi hal ini juga menjadi diplomasi tokoh muda muslim Indonesia kepada bangsa luar, bahwa Islam di Indonesia tidaklah terwakili lewat bom yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang Indonesia.

Adapun buku "Hidup Damai" itu akhirnya betul-betul menjadi buku diplomasi. Kita jadi tahu bagaimana pemikiran orang Australia dan Indonesia setelah melakukan pertemuan, kunjungan ke negara tetangga. Pertemuan punya posisi yang sangat penting untuk melenturkan ketegangan baik itu antarnegara, antarkomunitas, atau mungkin antarindividu.

Walhasil, buku itu pun mengantarkan saya untuk bertemu dengan banyak orang. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk menyebarkan pesan bahwa menciptakan hidup yang damai itu harus kita lakukan. Dan itu tugas kita semua sebagai anak bangsa dari bangsa apapun itu.

Awalnya, saya termasuk orang yang tidak percaya diri dengan bahasa Inggris. Saya merasa tidak bisa. Tapi saya mencoba buka hati. Saya ke kampung Inggris, di Pare. Dua minggu belajar. Memang singat, tapi saya dapat "makna"-nya, dapat percaya dirinya.

Suatu ketika, di depan Global English, kursusan saya, saya dan teman-teman diminta untuk speaking 5 menit tanpa henti. Apa aja terserah. Saya coba bicara semuanya. Nggak nyambung pastinya, tapi kita jadi belajar. Bahwa ternyata, bisa juga keluar. Bunyi juga.

Dengan TOEFL prediction yang mulai 390 (rendah banget, kan?) saya test lagi, dapat 410, dan seterusnya paling tinggi 470. Itu masih prediksi. Belum yang beneran. TOEFL yang prediksi itulah saya pakai untuk pemberkasan AIMEP, dan alhamdulillah lulus.

Pelajaran pentingnya dalam hal bahasa adalah: jangan rendahkan diri sendiri. Kadang namanya pemberkasan itu untung-untungan. Orang yang TOEFL-nya 500 atau mungkin 600 bisa jadi gagal dalam seleksi, karena pertimbangan tertentu. Saya ingat, waktu seleksi LPDP, ada yang cerita. Katanya, ada kandidat LPDP yang gagal, padahal dia sudah dapat "surat penerimaan" dari salah satu kampus di Eropa.

Berarti, ada banyak hal tidak terduga dalam seleksi. Maka, jangan rendahkan diri sendiri. Jangan merasa minder. Jangan jatuh mental. Kalaupun gagal, itu biasa. Semua orang pernah gagal, bukan? Saya teringat seorang kolega saya, pengajar di UI. Tiap tahun dia keluar negeri.

Saya tanya, "Mas, tiap tahun bisa keluar negeri, gimana caranya?"

Jawab dia, "Ada banyak hal yang orang nggak tahu. Saya itu tiap tahun kirim berkas sekitar 30 kali, dan dari 30 itu ada beberapa yang lolos, dan lebih banyak yang gagal."

Oh, gitu. Saya pun dapat hikmah. Bahwa, kalau kita lihat orang sering keluar negeri itu pasti ada kerja keras di baliknya. Daftar berkali-kali pasti ada yang gagal, tapi selalu saja ada kesempatan untuk berhasil. Nah, kita ini berburu satu titik yang namanya kesempatan.

Keberhasilan pada akhirnya ada pertemuan antara kesempatan, usaha, dan takdir. Jika kita kirim berkas untuk program apapun itu, maka kita telah membuka kesempatan. Tapi, usahakan sebaik-baiknya: all out. Dan, biarkan takdir berbicara.

Seorang kawan saya gagal ikut program ke Jerman. Tapi, dia dapat program ke Australia. Belakangan dia mengabarkan ke saya, bahwa dia gagal ke Amerika. Waktu bertemu setelah sebuah diskusi dengan professor Amerika, saya ceritakan bagaimana cara apply program Amerika. Dia gagal, tapi dia dapat pelajaran dari situ.

Seorang kawan saya lainnya, beberapa waktu lalu ikut program Amerika di Bangkok. Saya rekomendasikan dari Depok. Di sana, dia bertemu banyak kawan dari berbagai negara. Beberapa kawan lainnya yang saya rekomendasikan, ada yang gagal, dan ada yang berhasil. Itu biasa. Gagal dan berhasil itu sesuatu yang harus kita jalani sebagai manusia.

Kembali lagi ke buku dan diplomasi. Beberapa waktu lalu saya ikut program ke Amerika. Bahasa Inggrisnya mas Yanuardi udah bagus sih, makanya dipilih. Apa? Udah bagus? Ah, bercanda. Pas-pasan gini dibilang bagus. Tapi, saya dapat program itu.

Bukan karena bahasa Inggrisnya bagus, tapi karena saya mengejar kesempatan, dengan usaha, dan membiarkan takdir berbicara. Ketika itu, seorang kawan dari Washington, D.C. mengabarkan adanya program ke Amerika. Saya japri, dan dia sangat senang. Tapi, kenal bukan berarti diterima. Saya berusaha. Berkas saya buat yang serius.

Pada suatu siang akhirnya saya ditelepon dari Kedubes Amerika. Diterima.

Programnya hanya 2 minggu, tapi lumayan untuk pembelajaran. Berkunjung ke ibukota Amerika, Washington, DC, dan dua kota penting lainnya: Pittsburgh dan New York. Saya cermati betul apa yang saya lihat. Saya foto, dan saya catat. Bagi saya, pengalaman yang jarang-jarang ini penting. Maka, saya harus menuliskannya.

Saya belajar bagaimana bertemu dengan pejabat negara. Bagaimana cara berbicara. Kapan harus berbicara. Bagaimana mengakhiri pembicaraan. Dan seterusnya. Saya belajar tentang itu.

Tapi, semua itu terkait dengan dunia tulis-menulis. Sekiranya saya tidak menulis, mungkin tidak ada yang tahu bahwa saya punya sesuatu. Ketika menulis, saya juga berusaha menjadi yang berbeda. Ketika orang-orang konsen di fiksi, saya pernah minder. Tapi, saya menemukan diri saya, bahwa saya lebih cocok di nonfiksi. Maka, saya kembangkan itu.

Jadi, teman-temanku; tentukan saja kita mau jadi ahli pada jenis tulisan apa. Kemudian, jadilah yang terbaik.

Setidaknya, walau saya belum banyak melakukan travelling ke luar negeri, saya belajar dari pengalaman gratis ke Australia; berdiskusi dan terhubung dengan berbagai kolega dari swasta dan pemerintah. Bisa ke Bangkok, dan menulis beberapa syair di Sao Phraya river. Bisa ke Kuala Lumpur, jadi pembicara. Dan, bisa ke Amerika, melihat negara tersebut dari dekat.

Dengan menulis juga saya jadi punya pengalaman diundang radio dan televisi. Mulai dari radio di kampung hingga di kota. Mulai dari televisi di daerah hingga di Jakarta. Ditelepon jam 11 malam untuk tampil di televisi jam 7 pagi itu tidak mudah. Tapi, saya pelajari bagaimana cara belajar, cara menghadapi sesuatu, dan bagaimana menuntaskan masalah.

Tanpa bermaksud gagah-gagahan, tulisan ini adalah sharing sedikit pengalaman hidup. Bahwa, menjadi penulis itu sama dengan menjadi diplomat; kita bertemu dengan banyak orang, berbicara dengan banyak orang, dan berupaya memberikan pengaruh pada sesuatu.

Jangan hanya membayangkan menulis itu untuk dapat duit, agar bukunya dipajang di rak best-seller toko buku, atau agar mendapatkan likes yang banyak di media sosial. Jangan seperti itu. Cobalah untuk melangkah lebih jauh dengan orientasi bahwa buku ini harus beri dampak kepada bangsa dan negara, sekecil apapun itu. Ya, dampak. Pengaruh. Syukur-syukur jika bisa berkontribusi untuk terjadinya perubahan.


Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...