Pulau Miangas dengan bandaranya |
Setelah itu kami bercerita. Mulai dari bagaimana kesannya ketika kami berkunjung ke kampungnya, menginap di rumahnya, susahnya mencari signal, hingga aturan adat yang perlu diketahui ketika memasuki kawasan tersebut. Walau bukan lokasi yang sangat pedalaman, tapi jarak yang lumayan jauh dari kota, yang dikelilingi kebun sawit sepanjang mata memandang, mengandung "kengerian" tersendiri--apalagi ketika terang berangsur tenggelam di petala langit.
Saya jadi teringat masa ketika dikirim kantor ke sana. Mewakili pemerintah, saya menyampaikan kepada bapak ibu agar tetap mengikuti program pemerintah--belajar keaksaraan, ABCD. Juga berhitung. "Kalau kita bisa baca dan tulis nanti jadi mudah kalau berdagang," kata saya.
Contoh, seorang yang punya produk jualan. Jika sekedar diserahkan ke "penampung", maka yang hitung nanti hanya mereka, dan orang dari pedalaman hanya bisa terima apa adanya. Ada kemungkinan "dikerjain" oleh orang lain, karena tidak bisa baca dan menghitung. Nah, ketika mereka bisa menghitung, mereka jadi tahu satu kilo itu harganya sekian, maka mereka pulang ke rumah dengan membawa uang hasil sekian.
Di Jambi, sebagai "wakil pemerintah", saya sempat sambutan; ajakan agar bapak ibu saudara-saudara untuk terus datang ke sekolah kita untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Setelah itu, ada yang mengusulkan agar "orang pemerintah harus sering bantu kita di sini...seperti baju sekolah." Yang lainnya mengusulkan agar ada bantuan papan agar sekolah mereka yang masih sederhana itu bisa lebih baik.
Di lain waktu, saya juga pernah berkunjung ke pulau. Di sana juga banyak orang yang tidak bisa baca-tulis. Mereka sudah berkumpul. Saya lihat semangat yang menyala dari mereka untuk belajar. Semangat itu harus ditangkap oleh pemerintah--pusat dan daerah--untuk memperbanyak program pengentasan buta aksara.
Sejak zaman Bung Karno, program pengentasan buta aksara sudah dilakukan. Angkanya semakin turun. Akan tetapi, memang harus diakui di beberapa daerah, mereka yang usia 15 tahun ke atas juga banyak yang tidak bisa baca-tulis. Ini menjadi tanggungjawab kita semua, sebenarnya. Bukan hanya pemerintah. Tapi juga masyarakat sipil.
Dana CSR misalnya, sangat baik jika dialokasikan juga untuk pengentasan buta aksara. Kita yang di kota sudah banyak beruntung, bisa baca-tulis, bisa ngopi di tempat-tempat terkenal, mal, atau live IG, tapi di pedalaman banyak saudara kita yang tidak bisa baca-tulis. Padahal, baca-tulis itu penting sekali bagi mereka, agar setidaknya menjadi petugas di kelurahan, kecamatan, dan seterusnya.
Sudah saatnya, jika ada dana perusahaan itu dialokasikan juga ke ranah sana; pengentasan buta aksara. Para tokoh pendidikan, tokoh pemuda, para aktivis, sudah saatnya juga memikirkan pengentasan buta aksara di pedalaman, di pesisir, dan di mana saja di tanah Indonesia yang kita sering bilang: "tanahku yang tercinta."
Silaturahmi sore ini dari seorang kawan yang pegiat literasi di pedalaman tersebut kembali mengingatkan saya pentingnya gerakan untuk mengentaskan buta aksara yang masih cukup banyak terutama di masyarakat pedalaman dan pesisir. Sudah saatnya, program kita juga merambah ke desa-desa terpencil di pedalaman dan ke pulau-pulau terdepan dari archipelago kita.*
Depok, 5 Juli 2020: 17.39PM
YANUARDI SYUKUR, Presiden Dewan Pengurus Pusat Rumah Produktif Indonesia
No comments:
Post a Comment