Friday, September 18, 2020

Bahagia di Tengah Pandemi

Semua kita perlu mencari cara-cara bahagia di tengah pandemi yang belum menunjukkan kapan selesainya. Mendengarkan lagu lawas adalah cara saya untuk itu. 

Saya generasi 1980-an, tapi 'terdampak' juga dengan lagu-lagu 1970-an. Di Tobelo, sebuah kampung kecil di utara Pulau Halmahera, tempat saya dibesarkan, lagu-lagu itu sering sekali saya dengarkan, baik itu siang dan sore, terutama malam ketika kapan berlabuh di pelabuhan. 

Sepulang sekolah dasar, saya biasa turun ke pantai; mencari ikan, kepiting, dan berlama-lama mandi. Kadang juga saya mengembara agak jauh di tanjung untuk mencari anak kuda laut. Sesekali kena duri babi yang rasanya cukup sakit. Tapi, bagi anak pantai, itu biasa. Kita tahu caranya. 

Di masa pandemi ini, ketika saya harus menetap di 'penyangga ibukota', Depok, saya mau tak mau juga harus 'tahu cara' bahagia di masa seperti sekarang. Virus corona yang menyerang membabi-buta--tak kenal tua dan muda--sering membuat kita khawatir. Itu normal. Asal jangan khawatir yang berlebihan. Makin khawatir makin turun imunitas kita. Begitu yang saya dengar. 

Maka, saya coba menghibur diri, salah satunya dengan mendengarkan lagu lawas. Mulai dari 'di sini di batas kota ini' yang belakangan secara merdu disenandungkan penyanyi muda dari tanah Minang Vanny Vabiola sampai lagu-lagu Iwan Fals dari 'ujung aspal pondok gede' sampai 'bento'. Khusus 'pondok gede' itu saya kebetulan dulu pernah tinggal cukup lama di sana--waktu liburan sekolah. 

Di masa pandemi seperti sekarang kita semua harus mencari bagaimana cara-cara personal agar tetap bahagia. Ada yang menemukannya pada musik, ada pada menyanyi, ada pada menulis artikel, ada pada video call-an dengan kawan-kawan, bahkan mungkin ada juga pada membaca ayat-ayat suci. 

Khusus ayat suci saya pribadi berupaya untuk membacanya di pagi atau sore/malam. Ada namanya adzkar sabah dan masa', yakni dzikir-zikir pagi dan sore. Bukan apa-apa, itu cara agar hidup kita ini dapat perlindungan dari-Nya--karena kita nggak tahu persis tabiat dunia yang makin hari makin tidak stabil dalam berbagai aspeknya. 

Kembali pada kebahagiaan. Semua kita pasti ada caranya. Tapi, lepas dari cara-cara personal kita agar tetap bahagia, tidak khawatir berlebihan, tentu saja kita juga harus tetap ikhtiar dengan mengikuti protokol kesehatan. Ya, pakai masker, jaga jarak, dan rajin bersihkan tangan pakai air mengalir. Selamat mencari bahagia, teman-teman. *

Depok, 18 Sept 2020

Manusia, Uang, dan Kejahatan

Berbagai kejahatan yang terjadi di dunia modern selalu tidak lepas dari uang. Mulai dari jambret hingga perampokan yang disertai dengan tindakan sadis terjadi karena masalah uang. Uang menjadi suatu objek yang mendamaikan sekaligus memisahkan manusia. Kawan bisa jadi lawan dalam waktu cepat, sebabnya karena uang. 

Lantas, bagaimana kita melihat tiga objek di atas? Manusia dengan segala intensi, minat, tujuan, dan kapasitas untuk melakukan apa saja; uang yang menjadi alat tukar sekaligus barang berharga, dan kejahatan yang sering terjadi sebagai akibat dari perebutan atas uang sebagai sumber daya aktivitas manusia. 

Memahami Manusia

Pemahaman kita yang pertama-tama haruslah pada sosok manusia. Siapa itu manusia? Banyak ahli berbicara soal manusia, mulai dari makhluk sosial dan makhluk politik sampai pada khalifah dan "bayangan Tuhan di muka bumi." Semua definisi manusia yang sangat beragam dan kaya tersebut menyiratkan satu hal, bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. 

Kompleksitas makhluk manusia karena memiliki kehendak untuk berubah. Kehendak berubah itu inheren dalam alam jiwa dan pikiran manusia. Apa yang kita kenal sebagai inovasi kebudayaan misalnya itu terjadi karena kehendak manusia untuk berubah, untuk mencari apa saja atribut semesta yang dapat mereka lakukan untuk bertahan hidup. 

Misal, jika dulu hidup manusia hanya cukup dengan menanam sawah, berkebun, atau jadi nelayan, kini manusia harus membekali dirinya untuk kehidupan yang lebih kompleks dengan berbagai keterampilan seperti pemanfaatan teknologi, bahasa asing, bahkan jejaring. Semakin kompleks kehidupan manusia makin butuh inovasi dan adaptasi agar bisa bertahan di tengah roda zaman yang semakin cepat berputar. 

Maka, manusia tidak cukup hanya dilihat dari bagaimana dia di masa kecil, remaja, atau dewasa. Atau, dilihat dari siapa temannya, apa afiliasinya, dan bagaimana virtual appearence-nya di media sosial. Karena, manusia adalah makhluk yang berkehendak untuk berubah, maka segala faktor konteks yang meliputi dirinya--orientasi hidup, ekonomi, kejiwaan, jejaring perkawanan, serta life story--yang berkelindan darinya perlu diketahui, karena itulah yang membentuk kehendaknya untuk bertindak. 

Olehnya itu, maka tindakan manusia tidak pernah bisa dibaca secara linier saja dari tampilan website, konten yang dibagikan di media sosial, atau komentar-komentar yang terlontar. Karena itu hanya atribut luar ('panggung depan') saja dari kisah seorang manusia. Di balik itu, ada atribut dalam ('panggung belakang') yang tak kalah signifikan dan berkontribusi banyak pada bagaimana pikiran, sikap, dan tindakan seorang manusia. 

Mendefinisikan Uang

Uang sesungguhnya tidak hanya dimaknai sebagai 'objek intim dalam kehidupan sehari-hari', tapi juga bagian dari klaim atas sumber daya yang terpaut di dalamnya identitas sosial. Seorang tajir yang berkonflik dengan yang kurang tajir dan mengatakan 'ambil uang itu!' memperlihatkan bagaimana klaim atas sumber daya menjadi lebih unggul, di atas, ketimbang yang tak berpunya. 

Atau, misalnya ketika seorang tajir merasa diperlakukan tidak selayaknya, dia berkata 'kalau mau kayak gitu, lihat-lihat dulu dong!' Seakan-akan ada 'hukum' bahwa pemiliki sumber daya uang  harus ditempatkan pada posisi yang tinggi dan khusus. Kata 'lihat-lihat dulu' menunjukkan bahwa manusia merasa berdaya dengan uang. Sebaliknya, ketika klaim sumber daya uang itu hilang, maka hilang pula perkataan tersebut. 

Sebagai alat tukar, alat pembayaran, dan penyimpan nilai, uang menjaga dan membatasi jarak-jarak sosial. Di bank misalnya, orang yang bertransaksi gede akan diberi tempat khusus, tidak nganti panjang, ketimbang yang transaksi reguler. Ada jarak. Semakin tinggi klaim sumber daya uang makin berjarak interaksi satu dan lainnya. Itulah kenapa agama hadir tidak untuk memutus jarak itu tapi memosisikan peran fleksibel bahwa pemilik sumber daya uang dapat menikmati uangnya ('kayak tetap boleh') akan tetapi harus mengeluarkan zakat dan sedekah dalam jumlah yang ditetapkan. Bukan untuk memutus jarak tapi untuk membuat posisi baru di antara minat manusia akan uang dengan tanggungjawab sosial manusia atas uang tersebut. 

Ketiadaan uang dapat menjadi masalah pada masyarakat urban. Kebutuhan hidup yang makin tinggi, serta minimnya aset seperti tanah, harta peninggalan orang tua, atau pandemi yang merusak sumber-sumber pendapatan dapat membuat manusia hanyut di tengah ketidakpastian. Kondisi tidak pasti ('antara') inilah yang sering menyebabkan terjadinya kejahatan atas nama uang. 

Kejahatan atas nama Uang

Penjahat atas nama uang sejatinya adalah orang baik tapi ketika berada dalam posisi 'antara', kejiwaannya terganggu yang kemudian membuatnya bertindak jahat. Awalnya, niatnya baik untuk bekerja, tapi ketika pekerjaan itu diputus, ketika bermasalah dengan atasan, atau bahkan ketika kebutuhan hidup (termasuk gaya hidup) semakin meningkat, maka suara-suara jahat bisa saja hadir. 

Agama mengatakan bahwa manusia itu diberi dua jalan: dosa atau pahala. Jalan dosa berdampak pada kemalangan sementara jalan pahala berdampak pada keberuntungan--jika tidak dalam waktu dekat (di dunia) maka di hari nanti (di akhirat). Pilihan untuk menjadi baik akhirnya terkikis perlahan ketika manusia berada dalam posisi antara tersebut. Bingung ingin cari kerja tapi utang menumpuk di mana-mana. Belum lagi tagihan dan debt collector terus kejar-kejar. Masalah relasi yang tidak sehat dengan orang lain juga berdampak pada kegamangan jenis itu. 

Dalam kondisi tersebut, manusia yang hanya bersandar bahwa rasionalitasnya saja cenderung untuk cepat putus asa. Satu tambah satu memang tambah dua, itu hukum reguler alam, akan tetapi ada hukum non-reguler yang bisa pintas yang datang dari agama. Itulah kenapa misalnya, orang yang bersedekah (di waktu luang dan sempit) ada saja rezeki--mungkin tidak banyak, tapi selalu ada. 

Di sini, saya melihat bahwa manusia modern dalam relasinya dengan uang harus tetap berhati-hati dengan 'petaka uang' yang dapat menjauhkan manusia dari sifat kemanusiaannya. Sebaliknya, agama dengan ajaran mulianya sesungguhnya menawarkan orientasi hidup yang panjang bahwa uang itu sarana, dan bukan tujuan yang harus diperjuangkan mati-matian. Memiliki uang itu baik, tapi tahu bagaimana memanfaatkan uang itu jauh lebih baik. *

Depok, 18 Sept 2020

Antropologi Kejahatan: Eksplorasi Singkat

Kejahatan merupakan kekuatan buruk yang tampak dalam eksistensi manusia. Dia sering dianggap sebagai sesuatu yang "seharusnya tidak ada, tapi tetap ada", olehnya itu harus dilawan, ditahan, atau bahkan dihancurkan. 

Secara intrinsik, manusia adalah makhluk yang baik. Abraham Maslow menyebut bahwa manusia tidak memiliki instink pada kejahatan, sedangkan Carl Rogers menyebut bahwa kejahatan itu tidak eksis dalam sifat alami manusia. Tapi, kenapa kejahatan terjadi dalam komunitas manusia? 

Antropologi Kejahatan

Kajian antropologi kejahatan (anthropology of evil) tidak banyak ketimbang ranah antropologi lainnya. Di Indonesia, khususnya tidak banyak ahli yang mengkajinya. Bisa jadi karena tidak ada pioneer, atau kalaupun ada hanya terbatas pada tulisan-tulisan ringan yang tercecer di berbagai artikel. Namun, upaya untuk menyatukannya menjadi satu kajian yang solid masih tidak terlihat.  

David Parkin, Profesor Emeritus di Universitas Oxford dan Anggota Kehormatan di Sekolah Studi Oriental dan Afrika, adalah sosok yang konsen dalam kajian antropologi kejahatan. Riset lapangannya selama beberapa tahun di Luo (Kenya Barat), Giriama  (Kenya Timur), dan penutur bahasa Swahili di Zanzibar dan Mombasa tentang Islam, politik budaya, penyembuhan, dan kajian semantik lintas-budaya.  

Menurut Parkin, kejahatan dapat diasosiasikan sebagai sebuah bayangan, misteri, sesuatu yang terselubung, dan terkait dengan malam, kegelapan, dan kerahasiaan. Kejahatan adalah kekuatan yang bertindak untuk menghancurkan integritas, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat normal. Sekaligus sebagai penyebab dan penjelasan dari kemalangan dan kesalahan individu. 

Kendati penjelasan ini lekat pada pandangan Kristen Barat (dan pra-Kristen), namun eksplanasinya bisa sangat berbeda karena perkembangan sosio-budaya yang bisa jadi sangat kontras. Tapi unsur 'malam', 'kegelapan' dan 'kerahasiaan' sepertinya universal sifatnya terkait dengan anasir kejahatan--walaupun dalam beberapa kasus kejahatan tidak harus berkaitan dengan malam, tapi tetap dalam kerangka 'kerahasiaan'. 

Dalam kasus terorisme misalnya, ada fakta yang berbeda dibanding penjelasan di atas. Yakni, keinginan untuk menunjukkan kejahatan dan pengorbanan diri secara terbuka. Serangan 9/11, bom Bali, dan segenap 'serangan terbuka' menunjukkan bahwa kejahatan tidak lagi harus berkaitan dengan anasir malam (seperti kisah nenek sihir, tuyul pencuri uang, atau babi ngepet yang operasinya di tengah malam). Dalam konteks teror, kejahatan menjadi sesuatu yang dipertontonkan untuk mendapatkan tidak hanya efek kejut tapi juga efek psikologis yakni ketakutan besar hingga diseminasi pesan kepada pendukungnya bahwa mereka masih eksis.  

Orang Gila atau Orang Jahat: Penyerang Syekh Ali Jaber

Pelaku penusuk Syekh Ali Jaber saat berdakwah menarik untuk dilihat dalam konteks antropologi kejahatan. Beberapa pertanyaan bisa dilontarkan, seperti apa akar dari kejahatan yang dilakukan oleh anak muda 'good looking' (rapi, tidak acak-acakan, main musik, selfie; tidak seperti orang gila dalam arti mainstream)? Apakah akarnya berasal dari pemikiran bahwa 'menusuk seorang syekh yang mengajarkan Al-Qur'an tidak salah' atau karena masuknya 'gagasan baru'--entah itu dari orang atau media--yang membuatnya terpikir untuk melakukan tindakan itu? Atau, mungkinkan ada 'sang penipu' yang dengan kekuatan afirmatifnya membuat seorang lelaki yang senang selfie di facebook tiba-tiba menjadi beringas dan menyerang hanya pada satu orang yang duduk di atas panggung? 

Beberapa pertanyaan itu bisa kita eksplorasi. Pertama, akar kejahatan. Berdasarkan profiling di 2 akun Facebook atas nama Alfin Andrian, terlihat bahwa dia adalah sosok yang senang berbagi, suka selfie, tidak introvert, bersosialisasi dengan kawan-kawan, ekspresif, dan simpati. Misalnya, dia mengabarkan kepada kawannya untuk hadir dalam pernikahan adik kawannya itu (sepertinya ada konflik antara si kakak dan adiknya). Penggunaan kata 'astagfirullah'  juga dipublikasikan di medsos. 

Dari pantauan foto, video, status, dan interaksi komentar dengan teman-temannya terlihat bahwa tidak ada tanda-tanda ia akan melakukan kejahatan. Bisa jadi, dalam periode 2016-2019 (sejauh ini tidak ditemukan postingannya pada 2020) itu Alfin berada dalam kondisi kegamangan personal, entah karena belum bekerja, belum punya jodoh, atau faktor kontekstual lainnya. 

Namun, yang belum ditemukan adalah interaksinya pada 2020 dari periode Januari sampai Agustus, 8 bulan. Pada periode itu tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Apakah ia terpengaruh oleh bisikan 'sang penipu' untuk melakukan tindakan membabi-buta itu kepada ulama, atau periode di mana pandemi sudah menyerang Indonesia dan berdampak pada menurunnya pendapatan membuatnya tergoda untuk melakukan serangan kepada Syekh Ali (karena iming-iming uang, seperti pada skrinsut yang sempat beredar di media sosial). 

Terindikasi terpapar kelompok garis keras juga tidak ada. Lantas, apa yang menyebabkan dia melakukan tindakan itu? Menurut polisi, berdasarkan pemeriksaan, Alfin melakukan penusukan karena "gelisah atas dakwah yang disampaikan Syekh Ali Jaber dan suara dakwah beliau membuatnya langsung melakukan penusukan." (idntimes.com, 16/9/2020). Jika alasannya karena gelisah berarti ini pengaruh dari faktor kejiwaan (ada gangguan mental) yang berdampak pada halusinasi yang akhirnya dilanjutkan dengan penyerangan. Tapi, pemeriksaan dokter jiwa menyebutnya tidak gila, kecuali bahwa dulu pernah ia ke dokter jiwa. 

Peranan Setan

Setan bisa berbentuk makhluk dan konsep. Makhluk setan menurut agama bisa berbentuk sosok buruk dengan wajah yang menyeramkan atau bisa berbentuk manusia dengan perilaku seperti setan. Sedangkan konsep setan adalah pikiran-pikiran yang berorientasi pada kerusakan. Prinsipnya, semua yang dilakukan setan adalah buruk. Maka, mengikuti setan adalah mengikuti keburukan. 

Di suatu kampung pernah ditemukan ada beberapa orang yang mati secara beruntun. Orang-orang kemudian menunjuk bahwa penyebabnya adalah seorang dukun yang punya kekuatan magis, dan punya semacam 'perjanjian dengan setan.' Berkali-kali orang berusaha melumpuhkan dukun tersebut tapi tidak bisa. Hingga suatu ketika, ada pemuda yang bermimpi bahwa dia harus pergi ke suatu kuburan, di sana ada kayu yang kayu itu kalau dipakai untuk memukul sang dukun, maka kekuatan dukun itu pun hilang. Walhasil, pemuda yang mempraktikkan 'arahan dari mimpi' itu mempraktikkannya dan berhasil. 

Di sini, ada perjanjian antara manusia dengan setan. Tapi, apakah Alfin Andrian itu punya perjanjian dengan setan? Saya kira tidak. Yang lebih tepatnya adalah karena mengikuti bisikan-bisikan setan di saat pribadinya berada dalam kejatuhan. Bisa jadi, 'kejatuhan mental' itu disebabkan oleh pandemi, gagal finansial, provokasi dari 'sang penipu', atau karena faktor kerancuan dalam orientasi hidup. Hidup hanya sekedar makan, tidur, ngopi, dan selfie. Bukan lagi dimaknai sebagai belajar, berusaha, berjuang, dan cinta kasih. Artinya, kekacauan orientasi itulah yang menyebabkan dia berpikir yang salah jadi benar. 

Kejahatan sebagai Beban Budaya

Kejahatan sesungguhnya tidak hanya berbicara soal moralitas dan etika, tapi lebih dari itu berdampak pada beban budaya di tengah-tengah masyarakat. Artinya, berbagai konsep seperti kekerasan, kriminalitas, dan kebencian sebagai 'sisi tergelap manusia' muncul berasal dari gagasan tentang kejahatan yang dianggap baik. 

Apa yang dianggap baik oleh masyarakat normal dianggap buruk oleh pribadi atau komunitas tertentu. Maka, tindakan kekerasan, penganiayaan, dan kebencian kepada sesama itu tidak ada muncul jika seseorang memiliki orientasi pikiran yang terang terkait mana yang jahat dan mana yang baik; yang jahat harus dihindari dan yang baik harus didekati. 

Pemikiran akan 'kejahatan sebagai sesuatu yang normal' jika tidak mendapatkan edukasi yang terang akhirnya akan menjadi beban budaya. Kita jadi sering kaget dengan rentetan kejahatan yang sepertinya tidak ada habis-habisnya. Memang, selama manusia masih ada, kejahatan itu tidak akan habis. 

Robert Ellwood, dalam Tales of Darkness: The Mythology of Evil (2009) mengeksplorasi lebih jauh penyebab kejahatan dalam mitos yang meliputi beberapa tema seperti kekotoran batin, sosok penipu, orang jahat (baik di dalam maupun di luar masyarakat), dan inisiasi yang traumatis. Dia kemudian mencarikan 'penawar' agar tidak bertindak jahat, di antaranya adalah tertawa, berkorban, mencari pahlawan, inisiasi, penyelamat manusia, kebijaksanaan yang ilahiah dan tentang hari akhir. Khusus yang terakhir, orientasi pada hari akhirat (surga dan neraka) cukup efektif dalam ranah tertentu untuk membuat manusia tergerak untuk tidak bertindak yang jahat. 

Sebagai penutup, walau kejahatan itu tidak bisa dihilangkan dari kehidupan manusia tapi ada yang bisa dilakukan, yakni dengan menguranginya lewat berbagai macam edukasi yang berbasis pada pranata sosial-budaya, agama, atau sosialisasi yang baik oleh keluarga. Saya menduga, bisa jadi salah satu problem bagi Alfin Andrian pada usia 'dewasa muda' ini adalah kegagalan sosialisasi di masa kecilnya. Berarti, masalahnya bisa jadi ada pada sosialisasi keluarga. *  

Depok, 17 Sept 2020


Wednesday, September 16, 2020

Merawat Keinginan di Masa Pandemi

Keinginan adalah sumber penderitaan
Tempatnya di dalam pikiran
Tujuan bukan utama
Yang utama adalah prosesnya

Kita hidup mencari bahagia
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi

Dua paragraf ini adalah petikan dari lagu Iwan Fals 'seperti matahari.' Saat lagi sendiri saya mendengarkan lagu ini--lupa, dan entah kapan; mungkin saat di kereta dari Jakarta ke Jawa, atau perjalanan suatu siang dari Palembang ke Lampung. Saat lagi sendiri di malam hari (dulu saya kalau kerja tugas di malam hari), saya kadang dengerin lagu ini. 

Kenapa saya suka lagu ini? Karena lagu ini menyadarkan saya--mungkin kita, para pembaca esai ini--bahwa keinginan adalah sumber penderitaan. Apalagi di masa kayak sekarang. Ingin ini dan ingin itu, tapi nggak bisa, karena ada pembatasan sosial entah itu yang berskala besar atau berskala komunitas. 

Ingin berlama-lama kita di tempat ngopi--agar bisa menyelesaikan target dalam satu kali duduk, seperti yang lalu-lalu--jadi tidak bisa. Jika dulu kita biasa duduk dari siang sampai sore, dan berlanjut malam di sudut meja sambil mendengarkan lagu yang diputar di kafe di Margonda, kini tidak bisa. Hanya bisa sampai jam 18.00 sore. Terbatas. 

Padahal, kadang ide-ide bernas itu keluarnya di sore. Saat ide lagi mengalir deras, kemudian dihentikan oleh 'maaf bapak apa ada lagi yang mau dipesan? kami sebentar lagi akan tutup', kita mau tak mau harus mengurut dada. Yah, mau gimana lagi. Protokolnya memang udah begitu--harus tutup jam 6 sore. 

Tapi, teringat lagu Iwan di atas, kita jadi sadar juga bahwa 'kita hidup mencari bahagia'. Bahwa apa yang kita lakukan sekarang--apakah itu berdiri dari ujung ke ujung saat naik kereta Jakarta-Bogor, atau untuk menyelesaikan tugas belajar--semua tujuannya adalah agar kita bahagia. Jika bahagia, maka kita akan bisa lakukan banyak hal. Dengan begitu, maka klausul 'awardee harus memberi dampak' dapat kita lakukan, yakni dengan memberi makna kepada masyarakat atau komunitas sebagai konsekuensi dari kita belajar di perguruan tinggi. 

Bahan bakar hidup ini, merujuk ke Iwan, adalah budi pekerti. Betul sekali. Kendati tiap orang mungkin punya takaran yang berbeda terkait budi pekerti, tapi umumnya semua itu terkait dengan satu kata: apresiasi. Itulah kenapa beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar di zoom, saya bilang bahwa buku rujukan kita di antropologi ini--salah satunya adalah buku C.P. Kottak--yang sub judulnya "appreciating cultural diversity." 

Saya yakin, pengajar dari Universitas Michigan itu tidak iseng atau kebetulan dalam menulis sub-judul tersebut. Dia menyadari bahwa kehidupan global kita yang sangat diverse (beragam) ini hanya bisa harmoni jika ada apresiasi terhadap keragaman tersebut. Apresiasi bisa kita terjemahkan salah satunya dengan budi pekerti, atau adab, atau akhlak, atau etika--istilah yang rada-rada mirip. 

Di zaman kayak sekarang, banyak sekali sesungguhnya yang kita ingin. Kadang, ingin kita ngumpul banyak orang, makan-makan, atau nonton film terbaru yang pastinya lebih seru ketimbang nonton di laptop sendirian. Kita ingin jalan bersama anak-istri di awal bulan untuk sekedar 'menikmati hidup', tapi mustahil. Anak kita yang bayi juga tidak bisa dibawa jauh--walau dulu waktu anak baru satu kita bawa jauh juga di usianya yang 1 bulan (dari Mandai ke Panakkukang).

Kini, kita juga ingin bisa berlama-lama baca buku di perpustakaan. Maklum, kita ini lebih senang baca buku hard copy. Kita senang bisa nyentuh kertasnya, mengambil inti-inti, serta merenungkannya sekali duduk. Tapi kini, perpustakaan juga tutup. Ada yang buka, tapi situasinya jadi berbeda. Kita jalan pun berada dalam lingkaran kekhawatiran akan virus yang membuntuti. Maka saban hari, baik saat di ojek online atau saat tiba di lokasi, kita berdoa semoga dijauhkan dari virus. Betul-betul kita jadi makin religius. 

Di masa yang tidak menentu kayak sekarang, pada akhirnya kita harus berkompromi. Harus beradaptasi. Tapi, dalam kondisi begini kita tetap harus ingat nasihat lagu di atas yang bilang begini:

Ada benarnya nasehat orang orang suci
Memberi itu terangkan hati
Seperti matahari
Yang menyinari bumi
Yang menyinari bumi 

Kita harus terus berbagi, walau terkendala tidak bisa ketemu. Tapi kebahagiaan itu harus terus dibagikan, dan jangan terkendala oleh virus. Berbahagia dalam berbagai bentuknya--apakah itu tanya kabar kawan di WA, atau ngobrol dengan kawan tentang aktivitasnya, atau membagikan info positif kepada kawan-kawan. Semua itu adalah bagian dari upaya untuk memberi demi terangnya hati. 

Dalam kondisi begini, kita memang harus betul-betul ikut protokol. Jangan lagi berkata "virusnya nggak keliatan". Apakah semua penyakit harus kelihatan? Tidak juga, kan? Ada banyak hal yang berbahaya dalam bentuk dan sifatnya yang tidak terlihat. 

Situasi sekarang mungkin seperti ini:

Ingin bahagia derita didapat
Karena ingin sumber derita
Harta dunia jadi penggoda
Membuat miskin jiwa kita

Yah, banyak betul kita punya keinginan. Tadi seorang keluarga di Sumatera bertanya, "kapan main ke Bukittinggi?" Pengen juga kita ke sana, untuk melihat rumah keluarga yang sekarang telah dijual menjadi sebuah hotel bagus (ah, kenapa harus dijual ya?) Pun, tadi pagi seorang kawan di Tasikmalaya, mengajak untuk berkunjung ke tempat dimana ia mengabdi (sambil mengirimkan foto dimana ia mengajar anak-anak). 

Begitu banyak ya yang kita ingin. Tapi, kita harus ikuti protokol kesehatan dan semaksimal mungkin membatasi keluar rumah. Maka, merawat keinginan dengan harapan semoga suatu saat ada kesempatan untuk itu adalah tindakan yang bijaksana. *

Depok, 16 Sept 2020

Ilustrasi: Amalfi Italia (britannica.com)


Hidup di Tengah Pandemi

Di awal pandemi masuk ke Indonesia (Maret, 2020) saya sangat rajin membaca, menulis, dan berbicara terkait pandemi. Sumber yang saya pelajari dari website resmi pemerintah, kanal dalam dan luar negeri, status-status media sosial, hingga broadcast dari WA ke WA, menjadi sesuatu yang diburu untuk satu hal: mengenal pandemi lebih jauh. 

Mulai dari konspirasi bahwa virus ini tersebar dari sebuah laboratorium yang berjarak sekitar 30 KM dari pasar di Wuhan sampai pada kemungkinan bahwa ini merupakan konspirasi al-Masih Dajjal dari 'alam sebelah' yang menguji keimanan manusia apakah tetap taat pada-Nya atau tidak. 

Dari 'kepo' ke proteksi

Awalnya kita bersikap kepo, "kepingin info" alias ingin tahu apa sih yang dimaksud dengan virus corona hingga bagaimana cara melawannya. Di awal-awal orang banyak yang berkata 'lawan covid-19', tapi kemudian perlawanan itu menjadi surut seiring dengan 'buka-tutup' kebijakan pemerintah atas sirkulasi manusia dari dan ke kota-kota berzona merah. 

Dari sikap kepo saya kemudian mengubah pemikiran pada proteksi, penjagaan. Memang, kita tidak akan bisa menjaga sesuatu jika kita sendiri tidak tahu sesuatu itu. Apa yang kita tahu dari sifat makhluk kecil itu hingga petunjuk dari otoritas kesehatan agar ikuti protokol kita coba ikuti--semaksimal mungkin. 

Pada semester pertama (bulan ke-6) masuknya virus ke Indonesia ini kita harus beralih sikap dari terlalu kepo kepada proteksi maksimal. Memproteksi diri agar dilakukan dengan cara pakai masker yang agak tebal (bukan yang scuba), jaga jarak, serta tidak berkerumun. 

Saat naik kereta misalnya, pilihlah posisi yang agak sudut, atau yang tidak berdekatan langsung dengan wajah orang. Dikhawatirkan orang tidak sengaja bersin dan dropletnya keluar. Atau ketika antri di minimarket agar menjaga jarak. Jangan terlalu dekat. Setidaknya satu meter--walau terasa agak jauh--tapi itu perlu dijalani. Ketika masuk ke mal, usahakan betul-betul cuci tangan, dan ketika di dalamnya tidak berdekat-dekatan dengan orang lain. 

Proteksi Info

"Saat ini kita betul-betul lagi tsunami informasi," kata kawan saya saat makan pagi di Bogor. Mulai dari info yang benar sampai yang sesat tersedia di ponsel kita. Yang disayangkan, terkadang orang asal menyebarkan info yang unverified (belum terverifikasi) kepada orang lain. Orang yang baca akhirnya jadi tersesatkan, jadi misleading dengan info yang ada. Akhirnya, terciptalah lingkaran setan info sesat tersebut. 

Saat ini, kita harus bisa proteksi informasi. Jika bergabung dalam grup WA yang tidak produktif, atau bahkan selalu bikin pening, pusing, atau sarat dengan berita hoax, tak ada salahnya untuk tidak membacanya, atau segera clear chat. Jika mau lebih jauh, bisa izin left group agar info yang masuk ke kepala kita itu lebih banyak yang positif, bukan hoax. 

Proteksi diri dari info sesat baik sekali dilakukan mulai dari lingkaran terdekat, apakah itu keluarga, teman, atau komunitas. Dalam komunitas tersebut kita bisa saling mengingatkan agar sama-sama tidak tergoda menyebarkan berita yang unverified tadi, alias yang masih samar-samar, apalagi yang sudah jelas tidak masuk akal dan menyesatkan. 

Proteksi diri dengan Do'a

Do'a ada sebagai mekanisme penyerahan diri kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah. Dia-lah pemilik semua ini, mulai dari makhluk yang gede seperti gugusan planet, matahari, bulan, bintang, hingga partikel atom yang paling kecil. Semua itu milik-Nya, Dia yang menciptakan, dan dia juga yang paling tahu kenapa semua itu diciptakan. 

Segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dalam bentuk yang paling baik. Firman-Nya dalam As-Sajdah: 7, "...Yang membuat segala sesuatu yang Dia Ciptakan sebaik-baiknya." Alladzi ahsana kulla syai'in khalqahu. Dia-lah yang menyempurnakan segala ciptaan-Nya, sebaik-baiknya dan semua ciptaan-Nya itu dibuat dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan--walaupun di mata manusia makhluk tersebut bentuk dan rupanya tidak begitu bagus. 

Dalam konteks itu, jika dibawa pada virus corona, maka sesungguhnya virus kecil yang invisible (tidak terlihat) itu, adalah makhluk Allah yang mungkin di mata manusia tidak sempurna. Akan tetapi, kenapa dia hadir dan mengakibatkan 'global damage' di atas planet bumi ini? 

Terkait ini, kita diingatkan bahwa "Mungkin saja kamu membenci sesuatu, sementara itu baik bagimu, dan mungkin saja kamu mencintai sesuatu sementara itu buruk bagiku" (QS. Al-Baqarah: 216). Di akhir ayat itu, ada pesan Allah yang penting dan sangat kontekstual bagi pertanyaan manusia 'kenapa corona ini ada', yaitu "...dan Allah lebih tahu, sedangkan kamu tidak tahu." 

Kadang kalau bawa materi, saya suka menjelaskan tiga hal: apa yang kita tahu, apa yang kita tidak tahu, dan apa yang kita harapkan. Kita tahu sedikit tentang virus corona hingga variasi satu dan lainnya. Tapi, sepanjang beberapa bulan ini kita tidak (atau belum) tahu apa vaksin yang tepat untuk melawannya. Pun, kita tidak tahu kapan dia akan betul-betul habis. "Butuh waktu 50 tahun," kata teman saya, agar virus ini habis. Maksud dia, sama seperti penyakit lainnya yang tidak habis total, yakni masih ada akan tetapi sudah bisa dikendalikan. 

Satu hal lagi, apa yang kita harapkan di masa-masa seperti sekarang? Semua kita pasti berharap agar vaksin segera ditemukan, dengan demikian kita bisa melawan virus itu. Akan tetapi, perlombaan membuat vaksin masih berstatus progress semua, belum sampai pada final decision bahwa "ini dia!" vaksin yang kita tunggu. Kita berharap semoga bisa selesai setidaknya di awal atau tengah tahun depan--dengan asumsi setahunan waktu untuk menemukan vaksin tersebut. 

Di zaman kayak sekarang, memang susah untuk menyalahkan sesuatu. Di masa ketika kemampuan kita terkendala dengan virus sikap terbaik kita adalah mengikuti protokol kesehatan. Kenapa? Karena inilah "mekanisme perlawanan" paling baik agar terhindar dari virus itu. 

Selain itu, kita juga perlu tiap hari (pagi dan petang) berdoa khusus kepada Tuhan agar dijaga dan diberikan keselamatan bagi diri, bagi keluarga (di mana pun berada), bagi teman, bagi rekan kerja, dan bagi semua manusia yang ada di bumi ini. Berdoa dengan penuh kerendahan bahwa Tuhan, Engkaulah penguasa alam ini, Engkau Maha Kuasa atas segala makhluk yang ada di alam ini. Berikanlah jalan keluar bagi permasalahan virus corona yang sampai sekarang masih menjangkiti manusia. 

Sesungguhnya, selain melakukan proteksi semaksimal mungkin kita juga butuh doa sebagai mekanisme proteksi diri agar Dia Yang Maha Kuasa mengabulkan doa kita agar menghindarkan diri kita dari virus corona. Kita berdoa semoga virus itu kembali saja kepada habitat dimana dia bisa hidup berkembang tanpa harus menyerang kehidupan manusia. Maka, hanya kepada Allah saja kita terus berdoa di malam dan pagi kita. *

Depok, 16 Sept 2020

Ilustrasi: Apartemen The Copan, di Sao Paolo, Amerika Latin dengan 5000 residents (nationalgeographic.com)

Melindungi Tokoh Agama

Pasca penusukan terhadap tokoh Islam Syekh Ali Jaber saat berdakwah di panggung oleh seorang lelaki 24 tahun, Alfin Andrian, muncul satu wacana, yaitu perlindungan terhadap ulama dan simbol agama. 

Beberapa isu yang muncul pasca kejadian itu misalnya, perlu adanya RUU Perlindungan Tokoh dan Simbol Agama, para ulama/tokoh agama harus dikawal oleh sipil terlatih hingga perlunya aparat keamanan turun tangan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti penusukan di Lampung tersebut. 

Pengawal

Menurut bahasa, pengawal dapat diartikan "penjaga keselamatan" atau garda bagi orang tertentu sebagai bentuk penghormatan agar yang bersangkutan aman dari kemungkinan gangguan baik itu dari manusia atau non-manusia. 

Gangguan manusia misalnya teror bom, penyergapan, dan sejenisnya yang bertujuan untuk melukai tokoh tersebut. Sedangkan gangguan non-manusia bisa berbentuk masalah teknis dalam perjalanan, atau bencana yang menyebabkan perjalanan sang tokoh tidak berjalan dengan baik. 

Dalam konteks ini, kita sepakati bahwa perlindungan terhadap tokoh agama merupakan keniscayaan. Di Indonesia, tokoh agama menempati posisi yang penting dalam berbagai segi, baik itu prosesi ritual dari kelahiran, kehidupan, sampai pada kematian. Sebab itu, maka mereka juga mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat, at least komunitas pendukungnya. 

Ancaman terhadap Komunitas

Maka, penusukan terhadap syekh asal Madinah yang telah jadi WNI dan aktif berdakwah agar cinta Al-Qur'an tersebut dipandang sebagai ancaman terhadap tokoh agama. Beberapa kejadian sebelumnya juga ada, dimana tokoh agama (imam masjid, guru mengaji, muballigh) terjadi, yang dilakukan oleh orang gila. 

Umumnya orang tahu, bahwa definisi orang gila itu adalah orang yang berjalan di pinggir jalan pakai baju lusuh, kotor, rambut acak-acakan, dan tidak mandi. Tapi kini terhadap "shifting paradigm" bahwa orang gila itu bajunya bersih, suka selfie, rambut rapi, dan singkatnya 'bagus dilihat' alias good looking. 

Ancaman terhadap tokoh agama, kemudian beralih menjadi ancaman terhadap komunitas. Ya betul bahwa Syekh Ali Jaber seorang yang menjadi sasaran (bukan anak kecil dan ibunya di atas panggung atau jema'ah pengajian) tapi 'ancaman personal' tersebut kemudian bertransformasi menjadi 'ancaman komunal'. Masyarakat jadi terancam, karena tokoh yang mereka hormati, panutan, sekaligus mungkin berharap mendapatkan berkah dari orang saleh, diancam. Solidaritas kelompok telah muncul secara otomatis dengan memukuli 'kang tusuk' tersebut. 

Tapi satu hal yang penting jadi inspirasi di sini adalah bagaimana sikap seorang Syekh Ali Jaber yang meminta kepada jema'ah agar tidak menghakimi sang pelaku, dan meminta agar diproses oleh pihak berwajib. Kebesaran hati tersebut sangat luar biasa. Bahkan, sebuah sumber menyebut, bahwa Syekh Ali memilih untuk bermuhasabah bahwa ini merupakan teguran Allah yang selama ini dia mengaji sekian banyak tapi ketika di Lampung itu tidak. Refleksi tersebut semakin menunjukkan ketinggian akhlak dari seorang Syekh Ali Jaber yang patut untuk jadi inspirasi, bahkan teladan di tengah sulitnya kita mencari keteladanan apalagi dalam kondisi krisis. 

Isu PKI

Sebagian masyarakat yakin dan percaya bahwa 'anasir-anasir PKI' sesungguhnya tengah bangkit. Sebagian yang lain tidak percaya dan menyebut itu sekedar jualan saja dari kalangan oposisi rezim. Bahwa PKI akan bangkit dalam nama PKI menurut saya sangat tidak mungkin, tapi bahwa peristiwa kelahiran kembali, reinterpretasi, atau reposisi pengikut ideologi 'komunis-revisionis' sangat mungkin terjadi. 

Kita tahu bahwa pikiran manusia itu bukan benda hati. Dalam ilmu pengetahuan misalnya, sebuah paradigma atau teori yang pernah berjaya bisa jadi terkubur lama kemudian dibangkitkan kembali oleh 'orang baru' yang merasa bahwa ide tersebut relevan untuk menjawab tantangan zaman. Peristiwa sejarah juga punya korelasi dengan kebangkitan jenis pikiran tertentu yang mungkin telah terkubur dalam waktu lama. 

Artinya, kebangkitan ide--apapun jenis ide itu--sangat niscaya dalam komunitas manusia. Contoh lain misalnya, pada 1998 orang-orang berteriak anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tapi pada 2020 kita lihat kasus nepotisme dalam bentuk oligarki politik cukup marak di berbagai tempat. Orang bisa jadi anti sebuah ide di masa lalu tapi sangat mungkin mengadopsinya--terang-terangan atau sembunyi-sembunyi--pada waktu yang lain. Di sini, ada dinamika, dialektika, konflik, dan berbagai faktor kontekstual membentuk kesadaran manusia untuk berintensi dan melihat dunia dengan kacamata yang kontekstual. 

Menurut saya, patokan kita sudah jelas bahwa PKI adalah partai terlarang di negeri ini. Suasana kebatinan dari mereka yang sangat resisten terhadap 'anasir PKI' patut untuk diperhatikan. Karena itu merupakan bagian dari upaya untuk menyelamatkan bangsa dari benalu yang pernah merusak tertib sosial kita di masa lalu. 

Bagaimana para tokoh agama dilindungi? 

Pertanyaan penting di sini adalah, mengapa tokoh agama yang notabene memiliki kedekatan spiritual dengan Tuhan harus dilindungi? Logikanya, orang yang dekat kepada pemilik sarwa alam ini pastinya akan dilindungi oleh-Nya sebagai bentuk bagian dari perlindungan-Nya terhadap orang-orang terpilih yang berjuang menegakkan kalimat-Nya. 

Tapi, kenapa harus dilindungi? Kita lihat sejarah. Dalam Islam misalnya, para Nabi dan Rasul memiliki sahabat. Nabi Musa misalnya ketika diperintahkan untuk berguru pada Khidir di sebuah tempat 'majma'ul bahrain' (pertemuan dua lautan) bersama seorang sahabat. Nabi Muhammad saw, yang dikenal sebagai 'khatamunnabiyyin' (penutup para Nabi) dan 'imamul mursalin' (imam para Rasul) juga memiliki sahabat, yakni orang-orang terdekat yang siap melindungi beliau dari segala macam marabahaya. 

Ketika hijrah dari Mekkah ke Yatsrib (kelak berganti nama: Madinah), Nabi Muhammad saw ditemani sahabatnya yang mulia, Abu Bakar, lelaki pemberani dan jujur-terpercaya digelari 'as-Shiddiq' (yang terpercaya). Abu Bakar bahwa mengerahkan segenap sumber daya miliknya agar sang Nabi bisa selamat dari kejaran pion-pion Quraisy. Di gua tsur, ketika pion-pion itu mendekat, Abu Bakar bahkan sempat khawatir, tapi kemudian Rasulullah saw berkata 'la takhaf wa la tahzan, innallaha ma'ana' (jangan takut dan jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). 

Dalam redaksi yang sama, ketika Nabi Musa as telah tiba di laut merah dan di belakang balatentara Fir'aun telah mendekat, juga dikisahkan bagaimana Bani Israil ketakutan akan tersusul pada waktu matahari terbit. Ketika kedua kelompok tersebut telah saling-melihat, pengikut Musa berkata pasrah, 'Kita benar-benar akan tersusul.' Tapi sang Nabi tersebut menjawab tidak, 'Sekali-kali tidak akan (tersusul), sesungguhnya Tuhanku bersamaku, dia akan memberi petunjuknya kepadaku.' 

Di sini, terlihat bahwa kendati para tokoh agama itu dekat kepada Tuhan, tetaplah mereka manusia biasa yang patut untuk mendapatkan perlindungan karena mereka merupakan pribadi yang khas yang memberikan arahan spiritual agar kehidupan komunitasnya bermakna. Logikanya, jika masyarakat bagus secara spiritual, maka kejahatan akan terkurangi (tidak mungkin hilang tentu saja), dan pelayanan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat bisa berjalan lebih baik. 

Saya melihat bahwa posisi tokoh agama ini sangat penting di Indonesia tidak hanya dalam konteks memberi makna mulai dari peristiwa kelahiran sampai prosesi kematian, tapi juga dalam konteks menciptakan manusia saleh yang berkontribusi pada lahirnya komunitas yang saleh. Dengan demikian, kesalehan itu dapat seiring-sejalan dengan pembangunan. Artinya, posisi ini memang tidak sepele. 

Selanjutnya, sinergi antara tokoh agama dan para tokoh lainnya akan semakin bermakna dalam menciptakan manusia yang saleh, tapi juga produktif, yang saleh tapi juga memberdayakan sesama, yang saleh tapi juga cinta tanah air, dan segenap arti baik yang ada di dalamnya. Kita ingin di negeri ini lahir orang saleh sekaligus cerdas, sekaligus nasionalis, sekaligus cinta pada bangsa dan negara. 

Perlindungan terhadap tokoh agama adalah tugas masing-masing mereka secara personal. Artinya, ada atau tidak ada pengawal, mereka harus bisa mengamankan diri dengan kecerdasan fisikal untuk melindungi diri. Maka, bela diri dalam konteks ini sangat penting secara personal. 

Kemudian, pengawalan dari komunitas hendaknya tetap dalam konteks yang sinergis dengan aparat keamanan. Indonesia negara hukum, maka ketika ada acara besar yang menghadirkan tokoh agama, maka sinergitas antara komunitas dengan aparat berwajib saya rasa sangat penting. Karena pengawalan sebagai bentuk kehati-hatian haruslah dibarengi dengan ketaatan pada hukum. Jangan sampai kita selesaikan satu masalah tapi malah menambah masalah yang baru.*

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...