Kejahatan merupakan kekuatan buruk yang tampak dalam eksistensi manusia. Dia sering dianggap sebagai sesuatu yang "seharusnya tidak ada, tapi tetap ada", olehnya itu harus dilawan, ditahan, atau bahkan dihancurkan.
Secara intrinsik, manusia adalah makhluk yang baik. Abraham Maslow menyebut bahwa manusia tidak memiliki instink pada kejahatan, sedangkan Carl Rogers menyebut bahwa kejahatan itu tidak eksis dalam sifat alami manusia. Tapi, kenapa kejahatan terjadi dalam komunitas manusia?
Antropologi Kejahatan
Kajian antropologi kejahatan (anthropology of evil) tidak banyak ketimbang ranah antropologi lainnya. Di Indonesia, khususnya tidak banyak ahli yang mengkajinya. Bisa jadi karena tidak ada pioneer, atau kalaupun ada hanya terbatas pada tulisan-tulisan ringan yang tercecer di berbagai artikel. Namun, upaya untuk menyatukannya menjadi satu kajian yang solid masih tidak terlihat.
David Parkin, Profesor Emeritus di Universitas Oxford dan Anggota Kehormatan di Sekolah Studi Oriental dan Afrika, adalah sosok yang konsen dalam kajian antropologi kejahatan. Riset lapangannya selama beberapa tahun di Luo (Kenya Barat), Giriama (Kenya Timur), dan penutur bahasa Swahili di Zanzibar dan Mombasa tentang Islam, politik budaya, penyembuhan, dan kajian semantik lintas-budaya.
Menurut Parkin, kejahatan dapat diasosiasikan sebagai sebuah bayangan, misteri, sesuatu yang terselubung, dan terkait dengan malam, kegelapan, dan kerahasiaan. Kejahatan adalah kekuatan yang bertindak untuk menghancurkan integritas, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat normal. Sekaligus sebagai penyebab dan penjelasan dari kemalangan dan kesalahan individu.
Kendati penjelasan ini lekat pada pandangan Kristen Barat (dan pra-Kristen), namun eksplanasinya bisa sangat berbeda karena perkembangan sosio-budaya yang bisa jadi sangat kontras. Tapi unsur 'malam', 'kegelapan' dan 'kerahasiaan' sepertinya universal sifatnya terkait dengan anasir kejahatan--walaupun dalam beberapa kasus kejahatan tidak harus berkaitan dengan malam, tapi tetap dalam kerangka 'kerahasiaan'.
Dalam kasus terorisme misalnya, ada fakta yang berbeda dibanding penjelasan di atas. Yakni, keinginan untuk menunjukkan kejahatan dan pengorbanan diri secara terbuka. Serangan 9/11, bom Bali, dan segenap 'serangan terbuka' menunjukkan bahwa kejahatan tidak lagi harus berkaitan dengan anasir malam (seperti kisah nenek sihir, tuyul pencuri uang, atau babi ngepet yang operasinya di tengah malam). Dalam konteks teror, kejahatan menjadi sesuatu yang dipertontonkan untuk mendapatkan tidak hanya efek kejut tapi juga efek psikologis yakni ketakutan besar hingga diseminasi pesan kepada pendukungnya bahwa mereka masih eksis.
Orang Gila atau Orang Jahat: Penyerang Syekh Ali Jaber
Pelaku penusuk Syekh Ali Jaber saat berdakwah menarik untuk dilihat dalam konteks antropologi kejahatan. Beberapa pertanyaan bisa dilontarkan, seperti apa akar dari kejahatan yang dilakukan oleh anak muda 'good looking' (rapi, tidak acak-acakan, main musik, selfie; tidak seperti orang gila dalam arti mainstream)? Apakah akarnya berasal dari pemikiran bahwa 'menusuk seorang syekh yang mengajarkan Al-Qur'an tidak salah' atau karena masuknya 'gagasan baru'--entah itu dari orang atau media--yang membuatnya terpikir untuk melakukan tindakan itu? Atau, mungkinkan ada 'sang penipu' yang dengan kekuatan afirmatifnya membuat seorang lelaki yang senang selfie di facebook tiba-tiba menjadi beringas dan menyerang hanya pada satu orang yang duduk di atas panggung?
Beberapa pertanyaan itu bisa kita eksplorasi. Pertama, akar kejahatan. Berdasarkan profiling di 2 akun Facebook atas nama Alfin Andrian, terlihat bahwa dia adalah sosok yang senang berbagi, suka selfie, tidak introvert, bersosialisasi dengan kawan-kawan, ekspresif, dan simpati. Misalnya, dia mengabarkan kepada kawannya untuk hadir dalam pernikahan adik kawannya itu (sepertinya ada konflik antara si kakak dan adiknya). Penggunaan kata 'astagfirullah' juga dipublikasikan di medsos.
Dari pantauan foto, video, status, dan interaksi komentar dengan teman-temannya terlihat bahwa tidak ada tanda-tanda ia akan melakukan kejahatan. Bisa jadi, dalam periode 2016-2019 (sejauh ini tidak ditemukan postingannya pada 2020) itu Alfin berada dalam kondisi kegamangan personal, entah karena belum bekerja, belum punya jodoh, atau faktor kontekstual lainnya.
Namun, yang belum ditemukan adalah interaksinya pada 2020 dari periode Januari sampai Agustus, 8 bulan. Pada periode itu tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Apakah ia terpengaruh oleh bisikan 'sang penipu' untuk melakukan tindakan membabi-buta itu kepada ulama, atau periode di mana pandemi sudah menyerang Indonesia dan berdampak pada menurunnya pendapatan membuatnya tergoda untuk melakukan serangan kepada Syekh Ali (karena iming-iming uang, seperti pada skrinsut yang sempat beredar di media sosial).
Terindikasi terpapar kelompok garis keras juga tidak ada. Lantas, apa yang menyebabkan dia melakukan tindakan itu? Menurut polisi, berdasarkan pemeriksaan, Alfin melakukan penusukan karena "gelisah atas dakwah yang disampaikan Syekh Ali Jaber dan suara dakwah beliau membuatnya langsung melakukan penusukan." (idntimes.com, 16/9/2020). Jika alasannya karena gelisah berarti ini pengaruh dari faktor kejiwaan (ada gangguan mental) yang berdampak pada halusinasi yang akhirnya dilanjutkan dengan penyerangan. Tapi, pemeriksaan dokter jiwa menyebutnya tidak gila, kecuali bahwa dulu pernah ia ke dokter jiwa.
Peranan Setan
Setan bisa berbentuk makhluk dan konsep. Makhluk setan menurut agama bisa berbentuk sosok buruk dengan wajah yang menyeramkan atau bisa berbentuk manusia dengan perilaku seperti setan. Sedangkan konsep setan adalah pikiran-pikiran yang berorientasi pada kerusakan. Prinsipnya, semua yang dilakukan setan adalah buruk. Maka, mengikuti setan adalah mengikuti keburukan.
Di suatu kampung pernah ditemukan ada beberapa orang yang mati secara beruntun. Orang-orang kemudian menunjuk bahwa penyebabnya adalah seorang dukun yang punya kekuatan magis, dan punya semacam 'perjanjian dengan setan.' Berkali-kali orang berusaha melumpuhkan dukun tersebut tapi tidak bisa. Hingga suatu ketika, ada pemuda yang bermimpi bahwa dia harus pergi ke suatu kuburan, di sana ada kayu yang kayu itu kalau dipakai untuk memukul sang dukun, maka kekuatan dukun itu pun hilang. Walhasil, pemuda yang mempraktikkan 'arahan dari mimpi' itu mempraktikkannya dan berhasil.
Di sini, ada perjanjian antara manusia dengan setan. Tapi, apakah Alfin Andrian itu punya perjanjian dengan setan? Saya kira tidak. Yang lebih tepatnya adalah karena mengikuti bisikan-bisikan setan di saat pribadinya berada dalam kejatuhan. Bisa jadi, 'kejatuhan mental' itu disebabkan oleh pandemi, gagal finansial, provokasi dari 'sang penipu', atau karena faktor kerancuan dalam orientasi hidup. Hidup hanya sekedar makan, tidur, ngopi, dan selfie. Bukan lagi dimaknai sebagai belajar, berusaha, berjuang, dan cinta kasih. Artinya, kekacauan orientasi itulah yang menyebabkan dia berpikir yang salah jadi benar.
Kejahatan sebagai Beban Budaya
Kejahatan sesungguhnya tidak hanya berbicara soal moralitas dan etika, tapi lebih dari itu berdampak pada beban budaya di tengah-tengah masyarakat. Artinya, berbagai konsep seperti kekerasan, kriminalitas, dan kebencian sebagai 'sisi tergelap manusia' muncul berasal dari gagasan tentang kejahatan yang dianggap baik.
Apa yang dianggap baik oleh masyarakat normal dianggap buruk oleh pribadi atau komunitas tertentu. Maka, tindakan kekerasan, penganiayaan, dan kebencian kepada sesama itu tidak ada muncul jika seseorang memiliki orientasi pikiran yang terang terkait mana yang jahat dan mana yang baik; yang jahat harus dihindari dan yang baik harus didekati.
Pemikiran akan 'kejahatan sebagai sesuatu yang normal' jika tidak mendapatkan edukasi yang terang akhirnya akan menjadi beban budaya. Kita jadi sering kaget dengan rentetan kejahatan yang sepertinya tidak ada habis-habisnya. Memang, selama manusia masih ada, kejahatan itu tidak akan habis.
Robert Ellwood, dalam Tales of Darkness: The Mythology of Evil (2009) mengeksplorasi lebih jauh penyebab kejahatan dalam mitos yang meliputi beberapa tema seperti kekotoran batin, sosok penipu, orang jahat (baik di dalam maupun di luar masyarakat), dan inisiasi yang traumatis. Dia kemudian mencarikan 'penawar' agar tidak bertindak jahat, di antaranya adalah tertawa, berkorban, mencari pahlawan, inisiasi, penyelamat manusia, kebijaksanaan yang ilahiah dan tentang hari akhir. Khusus yang terakhir, orientasi pada hari akhirat (surga dan neraka) cukup efektif dalam ranah tertentu untuk membuat manusia tergerak untuk tidak bertindak yang jahat.
Sebagai penutup, walau kejahatan itu tidak bisa dihilangkan dari kehidupan manusia tapi ada yang bisa dilakukan, yakni dengan menguranginya lewat berbagai macam edukasi yang berbasis pada pranata sosial-budaya, agama, atau sosialisasi yang baik oleh keluarga. Saya menduga, bisa jadi salah satu problem bagi Alfin Andrian pada usia 'dewasa muda' ini adalah kegagalan sosialisasi di masa kecilnya. Berarti, masalahnya bisa jadi ada pada sosialisasi keluarga. *
Depok, 17 Sept 2020
No comments:
Post a Comment