Friday, September 18, 2020

Manusia, Uang, dan Kejahatan

Berbagai kejahatan yang terjadi di dunia modern selalu tidak lepas dari uang. Mulai dari jambret hingga perampokan yang disertai dengan tindakan sadis terjadi karena masalah uang. Uang menjadi suatu objek yang mendamaikan sekaligus memisahkan manusia. Kawan bisa jadi lawan dalam waktu cepat, sebabnya karena uang. 

Lantas, bagaimana kita melihat tiga objek di atas? Manusia dengan segala intensi, minat, tujuan, dan kapasitas untuk melakukan apa saja; uang yang menjadi alat tukar sekaligus barang berharga, dan kejahatan yang sering terjadi sebagai akibat dari perebutan atas uang sebagai sumber daya aktivitas manusia. 

Memahami Manusia

Pemahaman kita yang pertama-tama haruslah pada sosok manusia. Siapa itu manusia? Banyak ahli berbicara soal manusia, mulai dari makhluk sosial dan makhluk politik sampai pada khalifah dan "bayangan Tuhan di muka bumi." Semua definisi manusia yang sangat beragam dan kaya tersebut menyiratkan satu hal, bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. 

Kompleksitas makhluk manusia karena memiliki kehendak untuk berubah. Kehendak berubah itu inheren dalam alam jiwa dan pikiran manusia. Apa yang kita kenal sebagai inovasi kebudayaan misalnya itu terjadi karena kehendak manusia untuk berubah, untuk mencari apa saja atribut semesta yang dapat mereka lakukan untuk bertahan hidup. 

Misal, jika dulu hidup manusia hanya cukup dengan menanam sawah, berkebun, atau jadi nelayan, kini manusia harus membekali dirinya untuk kehidupan yang lebih kompleks dengan berbagai keterampilan seperti pemanfaatan teknologi, bahasa asing, bahkan jejaring. Semakin kompleks kehidupan manusia makin butuh inovasi dan adaptasi agar bisa bertahan di tengah roda zaman yang semakin cepat berputar. 

Maka, manusia tidak cukup hanya dilihat dari bagaimana dia di masa kecil, remaja, atau dewasa. Atau, dilihat dari siapa temannya, apa afiliasinya, dan bagaimana virtual appearence-nya di media sosial. Karena, manusia adalah makhluk yang berkehendak untuk berubah, maka segala faktor konteks yang meliputi dirinya--orientasi hidup, ekonomi, kejiwaan, jejaring perkawanan, serta life story--yang berkelindan darinya perlu diketahui, karena itulah yang membentuk kehendaknya untuk bertindak. 

Olehnya itu, maka tindakan manusia tidak pernah bisa dibaca secara linier saja dari tampilan website, konten yang dibagikan di media sosial, atau komentar-komentar yang terlontar. Karena itu hanya atribut luar ('panggung depan') saja dari kisah seorang manusia. Di balik itu, ada atribut dalam ('panggung belakang') yang tak kalah signifikan dan berkontribusi banyak pada bagaimana pikiran, sikap, dan tindakan seorang manusia. 

Mendefinisikan Uang

Uang sesungguhnya tidak hanya dimaknai sebagai 'objek intim dalam kehidupan sehari-hari', tapi juga bagian dari klaim atas sumber daya yang terpaut di dalamnya identitas sosial. Seorang tajir yang berkonflik dengan yang kurang tajir dan mengatakan 'ambil uang itu!' memperlihatkan bagaimana klaim atas sumber daya menjadi lebih unggul, di atas, ketimbang yang tak berpunya. 

Atau, misalnya ketika seorang tajir merasa diperlakukan tidak selayaknya, dia berkata 'kalau mau kayak gitu, lihat-lihat dulu dong!' Seakan-akan ada 'hukum' bahwa pemiliki sumber daya uang  harus ditempatkan pada posisi yang tinggi dan khusus. Kata 'lihat-lihat dulu' menunjukkan bahwa manusia merasa berdaya dengan uang. Sebaliknya, ketika klaim sumber daya uang itu hilang, maka hilang pula perkataan tersebut. 

Sebagai alat tukar, alat pembayaran, dan penyimpan nilai, uang menjaga dan membatasi jarak-jarak sosial. Di bank misalnya, orang yang bertransaksi gede akan diberi tempat khusus, tidak nganti panjang, ketimbang yang transaksi reguler. Ada jarak. Semakin tinggi klaim sumber daya uang makin berjarak interaksi satu dan lainnya. Itulah kenapa agama hadir tidak untuk memutus jarak itu tapi memosisikan peran fleksibel bahwa pemilik sumber daya uang dapat menikmati uangnya ('kayak tetap boleh') akan tetapi harus mengeluarkan zakat dan sedekah dalam jumlah yang ditetapkan. Bukan untuk memutus jarak tapi untuk membuat posisi baru di antara minat manusia akan uang dengan tanggungjawab sosial manusia atas uang tersebut. 

Ketiadaan uang dapat menjadi masalah pada masyarakat urban. Kebutuhan hidup yang makin tinggi, serta minimnya aset seperti tanah, harta peninggalan orang tua, atau pandemi yang merusak sumber-sumber pendapatan dapat membuat manusia hanyut di tengah ketidakpastian. Kondisi tidak pasti ('antara') inilah yang sering menyebabkan terjadinya kejahatan atas nama uang. 

Kejahatan atas nama Uang

Penjahat atas nama uang sejatinya adalah orang baik tapi ketika berada dalam posisi 'antara', kejiwaannya terganggu yang kemudian membuatnya bertindak jahat. Awalnya, niatnya baik untuk bekerja, tapi ketika pekerjaan itu diputus, ketika bermasalah dengan atasan, atau bahkan ketika kebutuhan hidup (termasuk gaya hidup) semakin meningkat, maka suara-suara jahat bisa saja hadir. 

Agama mengatakan bahwa manusia itu diberi dua jalan: dosa atau pahala. Jalan dosa berdampak pada kemalangan sementara jalan pahala berdampak pada keberuntungan--jika tidak dalam waktu dekat (di dunia) maka di hari nanti (di akhirat). Pilihan untuk menjadi baik akhirnya terkikis perlahan ketika manusia berada dalam posisi antara tersebut. Bingung ingin cari kerja tapi utang menumpuk di mana-mana. Belum lagi tagihan dan debt collector terus kejar-kejar. Masalah relasi yang tidak sehat dengan orang lain juga berdampak pada kegamangan jenis itu. 

Dalam kondisi tersebut, manusia yang hanya bersandar bahwa rasionalitasnya saja cenderung untuk cepat putus asa. Satu tambah satu memang tambah dua, itu hukum reguler alam, akan tetapi ada hukum non-reguler yang bisa pintas yang datang dari agama. Itulah kenapa misalnya, orang yang bersedekah (di waktu luang dan sempit) ada saja rezeki--mungkin tidak banyak, tapi selalu ada. 

Di sini, saya melihat bahwa manusia modern dalam relasinya dengan uang harus tetap berhati-hati dengan 'petaka uang' yang dapat menjauhkan manusia dari sifat kemanusiaannya. Sebaliknya, agama dengan ajaran mulianya sesungguhnya menawarkan orientasi hidup yang panjang bahwa uang itu sarana, dan bukan tujuan yang harus diperjuangkan mati-matian. Memiliki uang itu baik, tapi tahu bagaimana memanfaatkan uang itu jauh lebih baik. *

Depok, 18 Sept 2020

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...