Pasca penusukan terhadap tokoh Islam Syekh Ali Jaber saat berdakwah di panggung oleh seorang lelaki 24 tahun, Alfin Andrian, muncul satu wacana, yaitu perlindungan terhadap ulama dan simbol agama.
Beberapa isu yang muncul pasca kejadian itu misalnya, perlu adanya RUU Perlindungan Tokoh dan Simbol Agama, para ulama/tokoh agama harus dikawal oleh sipil terlatih hingga perlunya aparat keamanan turun tangan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti penusukan di Lampung tersebut.
Pengawal
Menurut bahasa, pengawal dapat diartikan "penjaga keselamatan" atau garda bagi orang tertentu sebagai bentuk penghormatan agar yang bersangkutan aman dari kemungkinan gangguan baik itu dari manusia atau non-manusia.
Gangguan manusia misalnya teror bom, penyergapan, dan sejenisnya yang bertujuan untuk melukai tokoh tersebut. Sedangkan gangguan non-manusia bisa berbentuk masalah teknis dalam perjalanan, atau bencana yang menyebabkan perjalanan sang tokoh tidak berjalan dengan baik.
Dalam konteks ini, kita sepakati bahwa perlindungan terhadap tokoh agama merupakan keniscayaan. Di Indonesia, tokoh agama menempati posisi yang penting dalam berbagai segi, baik itu prosesi ritual dari kelahiran, kehidupan, sampai pada kematian. Sebab itu, maka mereka juga mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat, at least komunitas pendukungnya.
Ancaman terhadap Komunitas
Maka, penusukan terhadap syekh asal Madinah yang telah jadi WNI dan aktif berdakwah agar cinta Al-Qur'an tersebut dipandang sebagai ancaman terhadap tokoh agama. Beberapa kejadian sebelumnya juga ada, dimana tokoh agama (imam masjid, guru mengaji, muballigh) terjadi, yang dilakukan oleh orang gila.
Umumnya orang tahu, bahwa definisi orang gila itu adalah orang yang berjalan di pinggir jalan pakai baju lusuh, kotor, rambut acak-acakan, dan tidak mandi. Tapi kini terhadap "shifting paradigm" bahwa orang gila itu bajunya bersih, suka selfie, rambut rapi, dan singkatnya 'bagus dilihat' alias good looking.
Ancaman terhadap tokoh agama, kemudian beralih menjadi ancaman terhadap komunitas. Ya betul bahwa Syekh Ali Jaber seorang yang menjadi sasaran (bukan anak kecil dan ibunya di atas panggung atau jema'ah pengajian) tapi 'ancaman personal' tersebut kemudian bertransformasi menjadi 'ancaman komunal'. Masyarakat jadi terancam, karena tokoh yang mereka hormati, panutan, sekaligus mungkin berharap mendapatkan berkah dari orang saleh, diancam. Solidaritas kelompok telah muncul secara otomatis dengan memukuli 'kang tusuk' tersebut.
Tapi satu hal yang penting jadi inspirasi di sini adalah bagaimana sikap seorang Syekh Ali Jaber yang meminta kepada jema'ah agar tidak menghakimi sang pelaku, dan meminta agar diproses oleh pihak berwajib. Kebesaran hati tersebut sangat luar biasa. Bahkan, sebuah sumber menyebut, bahwa Syekh Ali memilih untuk bermuhasabah bahwa ini merupakan teguran Allah yang selama ini dia mengaji sekian banyak tapi ketika di Lampung itu tidak. Refleksi tersebut semakin menunjukkan ketinggian akhlak dari seorang Syekh Ali Jaber yang patut untuk jadi inspirasi, bahkan teladan di tengah sulitnya kita mencari keteladanan apalagi dalam kondisi krisis.
Isu PKI
Sebagian masyarakat yakin dan percaya bahwa 'anasir-anasir PKI' sesungguhnya tengah bangkit. Sebagian yang lain tidak percaya dan menyebut itu sekedar jualan saja dari kalangan oposisi rezim. Bahwa PKI akan bangkit dalam nama PKI menurut saya sangat tidak mungkin, tapi bahwa peristiwa kelahiran kembali, reinterpretasi, atau reposisi pengikut ideologi 'komunis-revisionis' sangat mungkin terjadi.
Kita tahu bahwa pikiran manusia itu bukan benda hati. Dalam ilmu pengetahuan misalnya, sebuah paradigma atau teori yang pernah berjaya bisa jadi terkubur lama kemudian dibangkitkan kembali oleh 'orang baru' yang merasa bahwa ide tersebut relevan untuk menjawab tantangan zaman. Peristiwa sejarah juga punya korelasi dengan kebangkitan jenis pikiran tertentu yang mungkin telah terkubur dalam waktu lama.
Artinya, kebangkitan ide--apapun jenis ide itu--sangat niscaya dalam komunitas manusia. Contoh lain misalnya, pada 1998 orang-orang berteriak anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tapi pada 2020 kita lihat kasus nepotisme dalam bentuk oligarki politik cukup marak di berbagai tempat. Orang bisa jadi anti sebuah ide di masa lalu tapi sangat mungkin mengadopsinya--terang-terangan atau sembunyi-sembunyi--pada waktu yang lain. Di sini, ada dinamika, dialektika, konflik, dan berbagai faktor kontekstual membentuk kesadaran manusia untuk berintensi dan melihat dunia dengan kacamata yang kontekstual.
Menurut saya, patokan kita sudah jelas bahwa PKI adalah partai terlarang di negeri ini. Suasana kebatinan dari mereka yang sangat resisten terhadap 'anasir PKI' patut untuk diperhatikan. Karena itu merupakan bagian dari upaya untuk menyelamatkan bangsa dari benalu yang pernah merusak tertib sosial kita di masa lalu.
Bagaimana para tokoh agama dilindungi?
Pertanyaan penting di sini adalah, mengapa tokoh agama yang notabene memiliki kedekatan spiritual dengan Tuhan harus dilindungi? Logikanya, orang yang dekat kepada pemilik sarwa alam ini pastinya akan dilindungi oleh-Nya sebagai bentuk bagian dari perlindungan-Nya terhadap orang-orang terpilih yang berjuang menegakkan kalimat-Nya.
Tapi, kenapa harus dilindungi? Kita lihat sejarah. Dalam Islam misalnya, para Nabi dan Rasul memiliki sahabat. Nabi Musa misalnya ketika diperintahkan untuk berguru pada Khidir di sebuah tempat 'majma'ul bahrain' (pertemuan dua lautan) bersama seorang sahabat. Nabi Muhammad saw, yang dikenal sebagai 'khatamunnabiyyin' (penutup para Nabi) dan 'imamul mursalin' (imam para Rasul) juga memiliki sahabat, yakni orang-orang terdekat yang siap melindungi beliau dari segala macam marabahaya.
Ketika hijrah dari Mekkah ke Yatsrib (kelak berganti nama: Madinah), Nabi Muhammad saw ditemani sahabatnya yang mulia, Abu Bakar, lelaki pemberani dan jujur-terpercaya digelari 'as-Shiddiq' (yang terpercaya). Abu Bakar bahwa mengerahkan segenap sumber daya miliknya agar sang Nabi bisa selamat dari kejaran pion-pion Quraisy. Di gua tsur, ketika pion-pion itu mendekat, Abu Bakar bahkan sempat khawatir, tapi kemudian Rasulullah saw berkata 'la takhaf wa la tahzan, innallaha ma'ana' (jangan takut dan jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita).
Dalam redaksi yang sama, ketika Nabi Musa as telah tiba di laut merah dan di belakang balatentara Fir'aun telah mendekat, juga dikisahkan bagaimana Bani Israil ketakutan akan tersusul pada waktu matahari terbit. Ketika kedua kelompok tersebut telah saling-melihat, pengikut Musa berkata pasrah, 'Kita benar-benar akan tersusul.' Tapi sang Nabi tersebut menjawab tidak, 'Sekali-kali tidak akan (tersusul), sesungguhnya Tuhanku bersamaku, dia akan memberi petunjuknya kepadaku.'
Di sini, terlihat bahwa kendati para tokoh agama itu dekat kepada Tuhan, tetaplah mereka manusia biasa yang patut untuk mendapatkan perlindungan karena mereka merupakan pribadi yang khas yang memberikan arahan spiritual agar kehidupan komunitasnya bermakna. Logikanya, jika masyarakat bagus secara spiritual, maka kejahatan akan terkurangi (tidak mungkin hilang tentu saja), dan pelayanan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat bisa berjalan lebih baik.
Saya melihat bahwa posisi tokoh agama ini sangat penting di Indonesia tidak hanya dalam konteks memberi makna mulai dari peristiwa kelahiran sampai prosesi kematian, tapi juga dalam konteks menciptakan manusia saleh yang berkontribusi pada lahirnya komunitas yang saleh. Dengan demikian, kesalehan itu dapat seiring-sejalan dengan pembangunan. Artinya, posisi ini memang tidak sepele.
Selanjutnya, sinergi antara tokoh agama dan para tokoh lainnya akan semakin bermakna dalam menciptakan manusia yang saleh, tapi juga produktif, yang saleh tapi juga memberdayakan sesama, yang saleh tapi juga cinta tanah air, dan segenap arti baik yang ada di dalamnya. Kita ingin di negeri ini lahir orang saleh sekaligus cerdas, sekaligus nasionalis, sekaligus cinta pada bangsa dan negara.
Perlindungan terhadap tokoh agama adalah tugas masing-masing mereka secara personal. Artinya, ada atau tidak ada pengawal, mereka harus bisa mengamankan diri dengan kecerdasan fisikal untuk melindungi diri. Maka, bela diri dalam konteks ini sangat penting secara personal.
Kemudian, pengawalan dari komunitas hendaknya tetap dalam konteks yang sinergis dengan aparat keamanan. Indonesia negara hukum, maka ketika ada acara besar yang menghadirkan tokoh agama, maka sinergitas antara komunitas dengan aparat berwajib saya rasa sangat penting. Karena pengawalan sebagai bentuk kehati-hatian haruslah dibarengi dengan ketaatan pada hukum. Jangan sampai kita selesaikan satu masalah tapi malah menambah masalah yang baru.*
No comments:
Post a Comment