Saturday, October 3, 2020

Manfaat Belajar Bahasa Asing

Sesuatu yang asing sering kali ditakuti atau dikhawatirkan oleh masyarakat, baik itu orang asing atau bahasa asing. Orang asing kadang ditakuti karena dianggap memiliki intensi buruk, bahasa asing ditakuti karena khawatir kita akan berubah dari "orang lokal" menjadi "orang asing". Makhluk asing, dalam contoh lain sebagai tambahan juga kerap ditakuti karena mengandung kengerian tertentu yang dapat membahayakan manusia. 

Bagaimana dengan bahasa asing? Apakah bahasa asing mengandung "kengerian" tertentu? Sebagian orang menganggap, iya. Di Indonesia misalnya, ada etnik yang mulanya takut jika anggota masyarakatnya belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung), karena dikhawatirkan mereka akan berubah dan kelak mengubah tatanan yang telah eksis puluhan tahun. 

Sedangkan bahasa asing seperti Inggris ada saja yang berpandangan bahwa itu bahasa orang luar, bukan bahasa kita, bahasa penjajah, dan sesuatu yang terkait dengan itu. Walhasil, orang menjadi takut dengan bahasa asing. Pengalaman saya, dulunya saya sendiri tidak senang bahasa asing khususnya bahasa Inggris, tapi seiring berjalan waktu saya jadi menyadari bahwa bisa berbahasa asing mengandung manfaat untuk pengembangan diri, jaringan, dan juga pengetahuan. 

Memulai Belajar

Belajar yang asing-asing sering perlu dimulai dengan satu pertanyaan: apa manfaatnya bagiku? AMBAK, begitu kata buku Quantum Learning, yang dulu hits sekali. Prinsipnya, jika sesuatu bermanfaat maka seseorang akan mau melakukannya. Artinya, jika seseorang merasa bahasa belajar bahasa asing, seperti bahasa Indonesia (bagi komunitas etnik di Indonesia), bahasa Arab, Inggris, Prancis, Cina, dlsb itu ada manfaatnya, maka orang akan mempelajarinya. 

Pendekatan AMBAK sangat baik untuk memulainya. Bahasa Indonesia misalnya. Pengalaman beberapa tahun terlibat dalam program keaksaraan dasar di Kemendikbud, saya mendapatkan banyak cerita dari para tutor, tokoh masyarakat, dan pengelola pusat kegiatan belajar masyarakat, bahwa komunitas yang melarang anggotanya belajar bahasa Indonesia alasannya karena khawatir. Mereka khawatir jika nanti kalau sudah bisa, peserta didiknya akan berubah. 

Selain itu, ada juga yang takut karena pengalaman sebelumnya mereka biasa dibohongi oleh orang kota yang katanya mau memberikan ini dan itu, tapi ternyata realisasinya tidak ada. Orang kota kadang berlaku tidak adil kepada mereka dengan memberikan janji-janji palsu, kadang juga meminta mereka tandatangan sesuatu yang mereka tidak tahu. Intinya, nama mereka sering "dijual" untuk kepentingan oknum tersebut. Itu yang jadi trauma sehingga komunitas tertentu menolak untuk belajar membaca. 

Sebaliknya, komunitas yang menerima program membaca itu karena mereka menyadari bahwa program ini bermanfaat untuk warga mereka. Misalnya, ketika bisa membaca, mereka jadi dapat pengalaman baru ketika berkunjung ke desa atau kota. Mereka jadi bisa membaca tanda-tanda di jalanan, atau ketika menjual hasil kebun tidak dibohongi oleh pembeli, karena mereka tahu barang dan harga hasil panen tersebut. 

Maka, pembelajaran bahasa asing--untuk semua jenis yang dianggap asing oleh komunitas--perlu sekali berpijak pada manfaat. Kita perlu menggali apa manfaat (benefit) yang akan diperoleh warga/anggota masyarakat jika mempelajari bahasa tersebut. Jika sudah ada, pembelajaran jadinya akan mudah. 

Komunitas belajar bahasa

Kampung Inggris adalah contoh paling sukses dari pembelajaran bahasa asing berbasis pada masyarakat. Dimulai dari satu dua orang kemudian berkembang, saat ini Kampung Inggris menjadi idola mereka yang mau fokus memperdalam bahasa Inggris. Dalam perkembangannya, saat ini Kampung Inggris juga hadir dengan berbagai kursusan bahasa Arab, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan orang. 

Saya beruntung belajar "mondok" sebulan di Kampung Inggris. Menggunakan dana sendiri, saya berangkat dari Ternate ke Pare. Di sana saya tidak belajar yang berat-berat, kecuali TOEFL. Saya memilih belajar vocabulary, speaking, yang dasar-dasar saja. Saya ingin dapat semangat dulu sebelum yang berat-berat. Di asrama, saya ikut berbagai programnya, wajib bahasa Inggris. Yang saya sukai juga adalah ketika disuruh berdiri di depan jalan kemudian berbicara sekitar 5 menit tak berhenti--dalam bahasa Inggris juga. 

Semua yang ada di kepala keluar. Tapi, saya jadi lama-lama mengerti. Ternyata banyak juga yang saya tahu cuma nggak keluar. Itu satu teknik yang bagus sekali. Kita diminta berbicara bebas, mulai dari "how are you"--yang sangat hits kalau ketemu orang--sampai pada kosakata yang mulai berat yang kita coba "cocokologi" dalam kalimat bebas. Semua itu membuahkan hasil, kita mulai senang, dan lebih ringan dalam berbahasa Inggris. 

Selanjutnya, setelah merasa nyaman, kita jadi enak melangkah pada hal-hal lain baik itu TOEFL, IELTS, atau jadi pembicara. Dari Pare saya ikut program ke Australia, kemudian berturut-turut jadi pembicara konferensi di Bandung, Jakarta, hingga ke negara luar, paling tidak di Bangkok dan Amerika. Udah bagus donk bahasa Inggrisnya? Nah, ini yang paling berat. Tidak juga. "Masih begini-begitu saja", jawab saya. Masih pas-pasan. Tidak seperti native memang, tapi mulai ada perkembangan. 

Kalimat "mulai ada perkembangan" itu saya rasakan sangat bermakna dalam proses saya belajar bahasa asing. Dari yang nggak suka bahasa Inggris hingga mulai berkembang itu menyenangkan. Ada evolusi kesadaran belajar di situ. Saya betul-betul menikmati. Walau masih tersendat satu dua kata--banyak kata sebenarnya--tapi saya merasa mulai bisa, dan itu penting sekali. 

Secara personal, pengalaman itu mungkin sama dengan kawan-kawan lainnya yang dulu nggak suka bahasa Inggris. Lama-lama kalau kita mulai tumbuhkan kesadaran manfaat, kita jadi bisa. Awalnya memang malu, tapi lama-lama kita jadi mengerti bahwa tak ada manusia sempurna, termasuk dalam berbahasa. Kita saja yang orang Indonesia belum tentu fasih berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai pedoman. Apalagi dengan bahasa asing. Tapi jika kita mau belajar, semua jadi terasa menyenangkan, dan membuahkan hasil sedikit demi sedikit. 

RPI Kelas Bahasa

Ketika mendirikan Rumah Produktif Indonesia di tengah Maret di masa pandemi, saya buat banyak divisi berbasis pada peminatan/bidang ilmu, dan juga kelas bahasa. Bahasa Inggris, Arab, Cina, dan Korea; masing-masing ada pengurusnya. 

Bahasa Inggris misalnya telah dibudayakan lewat berbagai sharing pengetahuan, diskusi, dan pelatihan singkat dan ringan lewat WA dan zoom atau google meet. Awalnya banyak yang bersemangat, tapi belakangan mulai berkurang yang aktif. Itu biasa. Namun dalam acara yang digelar di zoom, selalu peserta puluhan orang. Itu jadi tanda bahwa animo peserta memang banyak untuk bahasa Inggris. 

Bahasa lainnya, seperti Arab sudah pernah buat kegiatan. Seorang "native" Arab juga ikut di situ menjadi pengurus. Kendati belum aktif betul tapi telah ada "muqaddimah" kegiatan bahasa Arab untuk peserta. Beberapa orang telah mempraktikkan bahasa Arab. Dari situ kita tahu bahwa potensi bahasa Arab itu banyak juga dalam komunitas kita. 

Bahasa Korea dan Cina belum aktif, akan tetapi telah ada diskusinya, baik itu di zoom maupun di WA. Pengurus klaster bahasa Cina misalnya mengirimkan pesan di WA dengan huruf Cina. Saya tidak mengerti, tapi menebak-menebak bahwa intinya adalah obrolan tentang program. Bahasa Korea ada yang biasa, tapi belum mahir. Lebih banyak tren Korea yang dikenal oleh peserta--seiring dengan booming film dan budaya Korea di mana-mana. Bahasa Prancis mulai dipelajari juga di RPI seiring dengan adanya tutor dan peminat. 

Tujuan dari kita belajar bahasa asing sebenarnya bukan untuk menjadi orang asing, tapi untuk mengenal budaya luar. Dengan demikian wawasan kita jadi luas, serta dapat menjadi bekal dalam mencari ilmu, teman, atau ketika berkomunikasi dengan native. Tentu saja kita tetap menjadi orang Indonesia dan pikiran dan jiwa yang Indonesia. 

Jadi, belajar bahasa asing tidaklah membuat kita menjadi orang asing, atau dijajah oleh asing. Bahasa adalah sarana. Siapa yang kuasai bahasa dia kuasai dunia, begitu katanya. Betul. Para tokoh bangsa umumnya bisa berbahasa asing, dan dengan itu mereka berjuang untuk diplomasi Indonesia. Kini, setelah puluhan tahun merdeka kita belajar bahasa asing selain untuk memperluas pengetahuan juga untuk mengambil yang terbaik dari luar untuk Indonesia. 

Depok, 3 Oktober 2020

PS: Terima kasih untuk semua teman yang telah berkontribusi dalam pembelajaran bahasa asing di RPI. Pamflet belajar bahasa Prancis adalah contoh kegiatan. Tutornya Mbak Jeanne Francoise dan moderator S. Laras Wulan. 

Friday, October 2, 2020

Selamat Hari Kesaktian Pancasila


Selamat hari kesaktian Pancasila. 

Pancasila adalah titik-temu dari keberagaman yang eksis ribuan tahun di kepulauan Indonesia. Keragaman itu tersusun dari banyak sekali perbedaan yang kemudian membuat kita bersatu. Beda agama, suku, golongan, partai, hingga komunitas yang sangat kaya di zaman medsos seperti sekarang.

Pancasila mengandung inti dari seluruh pikiran, tindakan dan kebudayaan yang menjadi milik bersama orang Indonesia. Pancasila itu diperas dari sekian banyak keunggulan budaya lokal kita oleh para tokoh bangsa. Apa yang mereka lakukan itu patut untuk kita lanjutkan.

Pancasila perlu dirawat demi masa depan bersama warga Indonesia di negeri yang sangat beragam ini. Karena, tidak mudah untuk merawat sesuatu. Mudah sekali untuk menghancurkan ketimbang membangun dan merawatnya. Kita harus bisa merawatnya. 

Selamat hari kesaktian Pancasila. Mari teladani perjuangan para pendahulu dengan menjaga dan merawat Pancasila. Kita bisa jika kita bersama. Kita bisa jika kita satu hati dan satu perbuatan. 

Depok, 1 Oktober 2020

Yanuardi Syukur, Presiden Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia

Relasi Manusia, Teknologi, dan Alam

Sabtu, 26 September 2020, Divisi Kesehatan Masyarakat Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia mengadakan Webinar Nasional dengan tema "Teknologi, Alam, dan Kesehatan di Masa Adaptasi Baru" menggunakan platform zoom yang disiarkan ke akun Youtube RPI Official. Webinar ini adalah salah satu dari sekian banyak kegiatan Divisi Kesmas yang dipimpin oleh Direktur Nuning Lestin Bintari, seorang ASN di Kemenkes yang juga kolega saya di Center for Strategic Policy Studies SKSG UI. 

Masa Depan Berkelanjutan

Untuk memperkaya diskusi, saya menyempatkan diri untuk membaca beberapa berita terkait dengan apa isu yang sedang dibicarakan di tingkat global. Pada high level dialogue yang diadakan oleh UNDP dan UNEP, lembaga PBB untuk pembangunan dan lingkungan, panelis ahli membahas soal "ketegangan yang belum selesai" sebagai dampak dari pandemi global. 

Ketegangan tersebut berkaitan dengan dua hal: pertama, relasi manusia dengan planet bumi dan kedua, relasi manusia dengan teknologi. Relasi manusia dengan planet menunjukkan ada yang "tidak baik-baik saja" ketika virus dari kota kecil menyebar begitu cepat ke berbagai kota di dunia. Kebakaran hutan yang sering "datang dan pergi" di hutan-hutan Amerika, juga di Australia yang beberapa waktu lalu menyebabkan banyak orang terdampak, hingga pada berbagai dampak perubahan iklim yang jelas mengganggu eksistensi manusia dan alam. Itu semua disebabkan oleh banyak hal, tapi yang jelas adalah; manusia berkontribusi dalam kerusakan tersebut. 

Diskusi tersebut juga mempertanyakan satu hal: bagaimana kita membangun masa depan berkelanjutan yang lebih baik? Jika sudah ada jawabannya, maka pasti tidak akan ada program. Karena yang namanya "berkelanjutan" itu bukanlah seperti benda statis, sebaliknya bersifat dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dalam diri, komunitas, dan dunia secara mondial. 

Membangun relasi yang baik dengan alam tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara kita berelasi dengan teknologi. Sekian panjang invensi manusia dalam teknologi mulai dari kapak genggam hingga telepon pintar, tidak membuat kita jadi manusia--dalam arti utuh. Selalu ada cela dalam diri dimana kita menjadi "civilized" di satu sisi dan menjadi "uncivilized" di sisi lainnya. Beradab di satu hal tapi barbar pada hal lainnya. Teknologi kerap selain berdampak positif juga menjadi bumerang bagi peradaban manusia itu sendiri. 

Saat ini, kita tengah ditantang oleh alam, bagaimana menemukan teknologi terkini guna melawan virus yang diam tapi ekstensif bernama corona itu. Ratusan bahkan ribuan dokter dan ahli melakukan percobaan untuk mencari obat atau vaksin tapi belum juga ketemu. Satu muncul tapi harus diuji oleh mekanisme lab yang lain. Sudah begitulah alurnya. Dalam konteks ini, upaya manusia dalam invensi teknologi harus terus dilakukan secara berkelanjutan mengingat perkembangan virus yang tidak statis, bahkan dapat bermutasi menjadi virus jenis baru. 

Terlepas dari relasi kita dengan planet dan invensi teknologi, satu hal yang tidak bisa kita lupakan adalah bagaimana menyeimbangkan kehidupan kita di planet ini. Manusia mau tapi alam juga punya kemauannya sendiri. Kita buat gedung misalnya, tapi harus kita tahu bagaimana kondisi tanah di sekitar situ--amankah untuk waktu lama? Kita buat rumah, tapi lupa bahwa di sekitarnya ada tanah yang bisa saja runtuh dan ketika gempa bisa meratakan rumah-rumah tersebut. Artinya, sejauh teknologi yang ditemukan manusia--termasuk obat atau vaksin--mereka tetap harus mempertimbangkan bagaimana hidup selaras, hidup seimbang dengan alam. Bahwa yang "tinggal" di alam ya bukan cuma kita, ada "yang lain" yang juga punya hak untuk itu. 

Urgensi Adaptasi bagi Keberlanjutan Eksistensi

Kendati tidak semua orang setuju dengan konsep adaptasi, tapi kata yang paling tepat untuk menggambarkan strategi manusia di masa krisis pandemi adalah: adaptasi. Sebuah upaya manusia untuk hidup selaras dengan alam dengan mengikuti hukum-hukum alam yang tersedia. Jika resistensi kita pilih, bisa jadi kehancuran kita dapat, karena tidak paham bagaimana "alam bekerja." 

Alam ini sesungguhnya makhluk yang memiliki cara kerja yang khas. Kita selama ini hanya yakin bahwa manusia saja yang paling superior, dan alam itu inferior. Kita lupa bahwa sejak zaman purba, para tetua kita dulu itu memilih masuk ke gua hingga menuliskan gambar di gua itu karena berupaya agar tidak musnah oleh alam. Adanya guntur, kilat, angin kencang, gempa bumi, adalah bagian dari mekanisme alam yang sudah eksis sejak lama, dan untuk menghadapi itu manusia tidak punya cara resistensi yang bagus selain beradaptasi. Bahkan, satu teori menyebut, bahwa religi bisa muncul sebab dari ketakutan sekaligus harapan manusia agar bisa bertahan dari berbagai marabahaya yang mereka lihat di alam ini. Maka, mereka butuh sesuatu yang maha kuat, itulah yang disebut sebagai tuhan. Satu teori bilang begitu. 

Adaptasi manusia dapat dilakukan lewat berbagai cara dewasa ini, yang semuanya itu bermuara pada kalimat: ikuti protokol kesehatan. Kalau musuhnya terlihat jelas mungkin orang bisa melawannya, tapi ini tidak terlihat. Maka, kalaupun mau melakukan resistensi, maka resistensinya harus dengan cara yang tidak terlihat juga--lewat vaksin--sekaligus menjauhkan diri dari sebab-sebab yang mungkin bagi tersebarnya virus tersebut. Ya, pakai masker, jaga jarak, dan tahu info covid-19 itu beberapa caranya agar tetap adaptif. 

Bertahan dan Bersabar

Mark Lilla, seorang professor bidang humanities di Universitas Columbia menulis artikel bagus di New York Times. Satu petikannya dia bilang, "sejarah umat manusia adalah sejarah ketidaksabaran." Sejenak saya pikir itu betul. Manusia cenderung tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Lilla beri contoh, kita sering bertanya tentang masa depan kepada peramal saintifik, yang beberapa di antara mereka benar tapi tidak semuanya. 

Di masa krisis seperti sekarang, orang berlomba-lomba mencari apa berita masa depan yang dapat mereka percaya. Kita cenderung berpikir kapan pandemi ini akan selesai. Maka para pakar yang bisa menebak-nebak masa depan kemudian dihadirkan. Tapi, satu hal yang pasti dari masa depan itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Ya, tidak ada yang tahu bagaimana bentuk masa depan manusia, kita hanya bisa menebak-nebak gambarnya, atau mencocokkan berbagai pola dari cerita-cerita masa lalu, nubuat akhir zaman, sampai pada analisis saintifik dari berbagai macam riset para ahli. 

Ketidaksabaran kita saya lihat berdampak pada kebosanan untuk mengikuti protokol. Orang jadi bosan berlama-lama di rumah. Dulu kita diminta stay at home, tapi satu dua bulan lewat orang-orang rame lagi di jalanan. Sebelumnya Jakarta itu biru sekali awannya--setidaknya itu yang ditampilkan di medsos--tapi ketika penguasa bertitah agar segera relaksasi, orang-orang pun euforia ke luar rumah, bahkan cukup banyak yang tak bermasker. Pandemi kemudian bangkit lagi seiring juga dengan jumlah test swab yang dilakukan secara massif. 

Mungkin betul kata Mark Lilla itu, bahwa sejarah manusia adalah sejarah ketidaksaran. Padahal kita sering bilang, "sabaran dikit napa sih!" Tapi itu tidak berlaku di masa 'tersiksa' ketika harus berlama-lama di rumah. Orang pun mulai melawan, melawan virus dengan cara nirstrategi. Bebas saja. Bahkan mulai percaya dengan teori konspirasi awam bahwa 'covid ini hanya permainan saja' yang dihembuskan oleh akal-akal berotak sempit. Maka, kesabaran untuk menunggu vaksin itu tiba saya kira adalah solusi bagi kita semua. Dan kesabaran itu dapat dilalui dengan tetap ikuti protokol, dan tetap bahagia di rumah masing-masing--terserah dengan cara apapun yang menyenangkan yang bikin kita tetap bahagia yang dengan itu imun kita jadi lebih kuat terjaga. *

Depok, 26 Sept 2020


Literasi Digital Melawan Teori Konspirasi

Mencermati problematika literasi digital kontemporer, Forum Alumni Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (FA-AIMEP) klaster pendidikan menginisiasi zoom talk dengan tema 'Pendidikan Literasi Media di Era Digital'. Pembicaranya tiga pakar dan praktisi sekaligus, yakni Leliana Setiono, pegiat literasi media lulusan University of Melbourne, dan Dr. phil. Suratno, ketua The Lead Institute Universitas Paramadina yang juga pengurus Lakpesdam NU dan tentu saja alumni AIMEP 2005. Acara dipandu oleh Andi Fathimah, seorang content creator muda @focalforyouth dan alumni AIMEP 2019. 

Memahami Literasi Digital

Literasi Digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media-media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, mnggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-sehari (GLN, 2017). 

Mereka yang melek leterasi digital indikasinya adalah jika mampu dalam hal literasi visual seperti mampu membaca dan menyimpulkan informasi dari visual; mampu literasi reproduksi dengan menggunakan teknologi digital untuk menciptakan karya baru; mampu menggunakan literasi komunikasi dalam meemahami kinerja jejaring, serta mampu dalam mencari informasi dan mengolah aspek-aspek sosial dan emosional secara daring. 

Kedua definisi ini kita ambil dari Literasi Digital: Konsep, Pengembangan dan Praktik di Masyarakat yang diterbitkan oleh Kemendikbud tahun 2019. Selain modul literasi digital, Kemendikbud juga menerbitkan literasi finansial, literasi numerasi, literasi baca-tulis, literasi sains dan satu lagi literasi budaya dan kewargaan. Khusus literasi budaya dan kewargaan, saya membuat konsepnya yang saya bagi empat bagian, yaitu definisi, pancasila sebagai manifesto budaya Indonesia, strategi pengembangan, dan praktik baik berbasis kearifan lokal masyarakat Indonesia. Di situ saya masukkan beberapa contoh permainan tradisional, lagu tradisional, cerita rakyat, budaya gotong-royong, arsitektur tradisional, pengobatan, dan kuliner. Semuanya dalam konteks menguatkan semangat kebangsaan bahwa kita ini orang Indonesia yang harus memahami diversitas budaya yang ada serta bagaimana menjadi warga negara yang baik di negeri multikultur ini.     

Penjelasan paragraf sebelum ini saya masukkan sebagai bagian bahwa literasi digital itu tidak terlepas dari literasi lainnya. Kita tidak akan bisa menjadi literat jika jika lupa pada budaya dan kewargaan. Artinya, mau sepintar apapun kita kalau kita tidak 'sadar budaya' dan tidak punya sensitivitas budaya, itu akan kontraproduktif dalam Indonesia yang sangat majemuk. Di sini, perlu sekali pemahaman tentang konteks di mana kita hidup, yakni Indonesia. 

Melawan Teori Konspirasi

Apakah teori konspirasi harus dilawan? Tergantung. Bisa ya, bisa tidak. Bisa jadi ada kebenaran dari teori konspirasi, tapi tak jarang banyak berita bohong dan menyesatkan dari teori konspirasi. Kita sebagai warga literat harus bisa memisahkan mana yang fakta mana yang opini, mana yang data dan mana yang rekayasa. Kecerdasan itu perlu sekali sebelum kita menulis atau menyakini terkait suatu hal. 

Berbicara cara menangkal teori konspirasi, saya jadi teringat dengan beberapa narasi yang dibuat oleh UNESCO dengan label "conspiracy theory" dengan hashtag #ThinkBeforeSharing. Apa sih teori konspirasi itu? Ringkasnya, disebut bahwa teori konspirasi itu sebuah keeyakinan bahwa berbagai kejadian secara rahasia telah dimanipulasi di belakang layar oleh kekuatan besar dengan tujuan negatif. Jadi, ada "kejadian", "rahasia", "manipulasi", "belakang layar", "kekuatan besar", dan "tujuan negatif." Beberapa unsur itu umumnya ditemukan dalam apa yang disebut teori konspirasi. 

Teori konspirasi juga meyakini beberapa hal seperti adanya dugaan plot rahasia. Jadi, kalau ada suatu kejadian, pengikut teori konspirasi akan berkata "pasti ada yang rahasia" di sini. Kematian seorang tokoh, bahkan hingga virus covid juga diyakini dikendalikan secara rahasia oleh "powerful forces" yang punya niat jelek untuk--sebutlah depopulasi. 

Juga, dalam teori konspirasi ada grup konspirator. Pengikut konspirasi percaya bahwa ada sekelompok kecil manusia yang melakukan tindakan konspiratif dengan tujuan jelek. Misalnya, ada keyakinan bahwa para tetua kelompok tertentu melakukan berbagai rekayasa penaklukkan dunia yang bukunya telah diterbitkan dalam berbagai versi dan analisa. Kejadian yang terjadi sekarang kemudian dikaitkan bahwa "oh, dulu memang sudah ada rencana itu" merujuk pada dokumen tersebut. Seakan-akan sebuah rencana manusia itu sudah pasti akan terjadi. Padahal, kita yakin bahwa semua rencana manusia tidak ada yang betul-betul bisa terjadi di masa depan, karena bertaut di dalamnya banyak faktor yang mendorong atau melawan sehingga ide tersebut terwujud atau tidak. 

Tapi, fakta bahwa "masa depan tercipta dari rencana masa lalu" memang tidak bisa dimungkiri pula. Apa yang dijelaskan dalam kitab suci misalnya, terkait nubuat akhir zaman sangat diyakini oleh kalangan beriman bahwa hal itu akan terjadi. Apa yang disebut sebagai huru-hara akhir zaman itu diyakini akan datang, dan "perang kosmik" akan terjadi antara satu dan lainnya. Maka, dari situ orang juga pada khawatir dengan kemungkinan perang dunia ketiga walaupun pasca perang dingin tidak ada arah ke sana. Tapi, kejadian-kejadian tertentu sempat dikhawatirkan akan memicu dan memacu terjadinya perang global. 

Sebuah teori konspirasi juga biasanya memiliki bukti, akan tetapi bukti yang telah direkayasa. Misalnya, foto seorang tokoh yang diedit sedemikian rupa sehingga sama banget dan orang-orang tertentu jadi yakin kalau itu foto asli. Atau, berbagai hal yang terkait dengan itu. Selalu ada bukti yang dipercaya oleh penganut teori konspirasi. Entah benar atau tidak, tapi dalam beberapa kasus saya lihat, "evidence" tersebut memang di-create sebagai penguat bahwa narasi yang disebarkan itu benar. 

Teori konspirasi juga percaya bahwa "segala sesuatu itu berhubungan". Jadi, kalau ada satu kejadian, pasti kejadian itu tidak tunggal, ada relasi dengan lainnya. Memang, harus ada riset yang utuh untuk mendapatkan kebenaran faktual dari sebuah peristiwa (sejarah biasanya akan menjawabnya di masa datang), tapi kita juga bisa memahami bahwa apakah suatu kejadian itu berhubungan atau tidak. Umumnya kita percaya bahwa "tak ada yang tak terkait", semua terkait, namun apakah semua hal harus dikait-kaitkan? Bisa ya, bisa tidak. Tentu itu tergantung sekali dengan kejadian apa dan aktornya siapa, serta dampaknya apa bagi komunitas, bangsa, atau masyarakat global. 

Tambahan lagi, penganut konspirasi cenderung berpikir "siapa yang mengambil untung dari kejadian ini." Memang, ini tidak mutlak milik teori konspirasi, akan tetapi umumnya orang akan berpikir ke sana. Hal itu tidak terlepas dari adanya kecurigaan, bahwa semua kejadian tidak ada yang terjadi begitu saja. Bahwa pasti ada tali-temali dengan kejadian atau aktor lainnya. Ada intensi juga dari kejadian tersebut. 

Melawannya dengan cara apa?

Ada banyak cara melawan teori konspirasi, salah satunya dengan fact-checking. Cek fakta. Belakangan ini saya lihat beberapa media membuat hal itu. Ketika ada berita viral, mereka kemudian mengeceknya. Itu bagus sekali. Masyarakat jadi tahu bahwa berdasarkan kajian jurnalis, bahwa narasi atau foto tertentu itu asli atau tidak, benar atau misleading. 

Saya kira, tim fact-checking ini juga perlu ada dalam berbagai kementerian/lembaga, bahkan komunitas. Harus ada departemen tertentu yang mengecek kebenaran suatu fakta kemudian mereka menyebarkan hasil temuannya itu. Saat ini masalah besar kita salah satunya adalah penyebaran berita bohong yang sangat massif. 

Orang yang terdidik sekaligus bisa termakan berita sesat, karena tidak semua orang dididik untuk bisa memisahkan mana fakta dan mana hoax. Pendidikan kita juga terlihat masih lemah dalam menciptakan pribadi manusia yang berpikir kritis terhadap info umum, berbeda dengan info dalam bidang ilmunya yang dia sangat konsen untuk itu. 

Dari penjelasan di atas saya kira sudah saatnya kini tiap komunitas juga menggalakkan yang namanya literasi digital dan program fact-checking sebagai bentuk ikhtiar untuk mencari kebenaran dari berbagai berita simpang siur yang kadang masuk ke ponsel kita dan kita percaya begitu saja, padahal info itu menyesatkan. *

Depok, 26 Sept 2020

Belajar dan Bekerja: Strategi Ayah Muda

Satu yang saya senangi dalam mengikuti diskusi adalah ketika mendengarkan pengalaman. Sejak kecil saya suka sekali mendengarkan bagaimana orang bercerita pengalamannya. Dari situ saya dapat semacam pola atau ringkasnya salah satu "hukum alam" yang sangat mungkin kita alami di masa yang akan datang. 

Salah satu pengalaman yang saya ikuti di akhir September 2020 ini adalah sharing pengalaman dari Irwan Saputra, seorang lulusan MA dari George Washington University asal dari kota Medan. Irwan hadir sebagai pembicara dalam kegiatan "Jalan-Jalan Virtual" ke-5 yang diadakan oleh RPI English School, sebuah divisi yang konsen pada peningkatan kapasitas berbahasa Inggris bagi pengurus, anggota dan masyarakat umum. 

JJV ini merupakan acara yang pertama kali diadakan oleh RPI English School di masa Direktur Maghdalena, asal Sumbar, yang kemudian dilanjutkan oleh Direktur Rahmad Hasibuan, asal Medan. Jadi, pengurus kelas Inggris RPI sejauh ini dipimpin oleh orang Sumatera yang provinsinya bertetangga. JJV adalah satu kegiatan selain berbagai acara sharing berbahasa Inggris yang diiniasi RPI baik sendirian maupun bermitra dengan berbagai lembaga dengan menghadirkan pada alumni luar negeri. 

Dilema Ayah Muda

Irwan Saputra adalah seorang ayah muda yang beruntung dapat kesempatan lanjut studi AS. Ketika di sana, dia hadapi dilema yang tidak mudah, antara belajar dan bekerja. Beasiswa yang diperolehnya tentu saja tidak mencukupi jika harus membawa istri dan anaknya, maka ia memilih bekerja pada pekerjaan yang menurutnya "berkontribusi pada bangsa Indonesia"--sebagaimana ultimate goal yang diharapkan oleh pemberi beasiswa. 

Dia bercerita, bagaimana ia yang sebenarnya biasa-biasa saja tapi mendapatkan istri yang sangat menopang studinya. Di semester awal, nilainya jeblok. Kemudian ketika istrinya datang, ia terbantu. Kebetulan, katanya, istrinya juga pernah belajar di luar negeri, bahasa Inggrisnya bagus, dan dapat membantunya dalam tugas kuliah secara teknis--tapi secara konseptual dia yang merumuskannya. 

"Alhamdulillah, saya dapat istri yang pas," kata Irwan Saputra. Kata "istri yang pas" itu menarik bagi saya. Berarti, ada juga "istri yang tidak pas." Apanya yang pas, dan apanya yang tidak pas? Yang dimaksud oleh Irwan tentu saja, istri yang dapat membantunya dalam studi sekaligus sebagai kawan dalam menghidupi rumah tangga. Bisa jadi, tidak semua hal itu pas tapi mungkin maksudnya overall relasinya pas. 

Sebagai ayah muda tentu saja dia harus peduli dengan keluarganya. Orang bilang, gelar sarjana atau master itu bisa dicari tapi kedekatan dengan anak itu tidak mudah untuk diperoleh. Orang bisa jadi pintar, terkenal, kaya, dan singkat kata: sukses. Akan tetapi, ketika dia tidak dekat dengan anaknya, efeknya kemudian adalah ketika dia tua tidak lagi anaknya mau dekat dengannya walaupun anaknya tahu bahwa berbakti kepada orang tua itu wajib. Ada semacam jarak antara anak ke ayah ketika waktu kecil sang ayah berjarak dengan anaknya. 

Dilema belajar dan bekerja memang umum sekali dirasakan oleh pelajar yang di dalam dan luar negeri. Sebenarnya baik di dalam maupun di luar sama-sama punya tantangan yang tidak simple. Umumnya kita hanya tahu bahwa sebuah keluarga itu baik-baik saja dari foto yang mereka unggah di medsos, atau dari statusnya. Kita sering tidak tahu apa kondisi terdalam yang dihadapi oleh sebuah keluarga. Semua keluarga--baik miskin atau kaya, sering posting foto keluarga atau jarang posting--punya masalah yang tidak kalah kompleksnya. 

Tapi, terlepas dari semua kompleksitas yang ada, manusia diberi kemampuan untuk menuntaskan masalahnya. "Jika kita gagal, maka yang harus kita ubah bukan tujuannya tapi metodenya," jelas Irwan. Maksudnya, mereka yang bertujuan untuk sukses--sebutlah meraih master atau doktor--tapi kemudian terkendala di tengah jalan, maka mereka perlu mencari metode baru, planning ABDC, yang relevan bagi masalah tersebut. Goal-nya tetap, tapi method-nya yang berubah. Itu cara adaptif yang saya kira sangat relevan untuk semua orang dan dapat dipakai untuk semua jenis masalah. 

Logika Rezeki

Obrolan soal belajar dan bekerja sesungguhnya tidak terlepas dari rezeki. Keduanya adalah rezeki dalam arti kebaikan. Bagaimana cara dapat keduanya? Tentu kita harus tahu pola yang tersedia di alam ini. Tuhan beri banyak sekali tanda-tanda alam yang dapat kita pikirkan dan manfaatkan agar bisa mencapai yang namanya sukses--di dunia, dan di akhirat insya Allah. 

Rezeki belajar dan bekerja sesungguhnya dapat terbuka jika kita mau mempraktikkan apa yang saya sebut sebagai 3H: head, hands, dan heart. Kepala harus kita pakai untuk berpikir, dapat pengetahuan, yang dari situ kita dapat pendalaman. Tangan harus kita gunakan untuk bekerja, dan pada akhirnya harus menemukan sesuatu. Dan, hati harus kita pakai untuk menjadi manusia yang memotivasi dan punya tujuan hidup. Integrasi tiga H ini penting sekali agar berhasil dalam berbagai tujuan hidup. 

Semua orang berhasil mengintegrasikan tiga H itu. Berbagai literatur yang saya baca, termasuk biografi para tokoh, termasuk qashasul anbiya' ("kisah-kisah para Nabi") juga mengintegrasikan 3 hal itu. Ketiganya itu merupakan anugerah dari Tuhan yang kalau kita optimalkan maka dapat memberikan efek wow bagi tiap orang. Artinya, semua orang--dari yang beragama sampai tidak beragama--jika memanfaatkan tiga hal itu maka dia akan berhasil. 

Tapi memang, dalam agama punya konsep lainnya, yaitu kesalehan (piety). Tiga hal itu jika dilaksanakan secara konsisten tanpa kesalehan maka akan menjadi pribadi sukses (di dunia) tapi belum tentu di alam akhirat. Maka, agama punya konsep kesalehan, yaitu sikap untuk mengikuti apa yang diperintahkan agama. Agama dalam hal ini menjadi penentu yang mana disebut sebagai pemenang dan kalah, mana yang beruntung dan mana yang merugi. 

Maka, jika dalam sebuah diskusi saya hanya menyebut tiga H itu, hari ini saya ingin menambahkannya dengan kesalehan. Seseorang harus punya kesalehan agar kesuksesan yang dia dapatkan itu dapat memberikan makna tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat, di alam yang kita tidak tahu tapi Tuhan memberitahukan bahwa alam itu memang ada dan kita harus percaya seutuhnya. 

Jadi, sesiapa yang ingin berhasil dalam studi (apakah ia seorang ayah muda atau tua), dalam bekerja (masih bawahan atau atasan), atau dalam berbagai aktivitasnya, maka keberhasilan yang harus dia kejar janganlah hanya keberhasilan temporal (seperti sekedar dapat gelar, terkenal, kaya, dst) tapi mereka harus mencari juga keberhasilan yang abadi, yaitu berhasil dan beruntung pada alam yang di sana. Dan itu dapat didapatkan lewat optimalisasi kepala, tangan, hati, ditambah dengan amal saleh. *

Depok, 27 September 2020


Strategi Penulis Perempuan

Selepas maghrib saya diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah sharing bersama penulis perempuan yang baru saja menerbitkan buku. Julia Novrita, seorang kawanku yang PhD di bidang international education di University of Massachussets, Amherst, mengajak saya berbagi pengalaman menulis buku yang menurutnya "tidak mudah." 

Saya mengenal Mbak Julia Novrita sebagai kawan sesama alumni Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP), sebuah program unggulan dari Australia-Indonesia Institute yang diadakan setiap tahun sejak 2002. Sepulang dari Sydney dalam program tersebut, saya segera menginisiasi pengumpulan naskah, dan Julia adalah salah seorang yang saya kontak. 

Saya kemudian bertemu beliau kali pertama di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Waktu itu saya beberapa kali ketemu kawan di situ untuk ngopi dan ngobrol tentang berbagai hal mulai dari jaringan, kegiatan, sampai pada kolaborasi. Seorang yang hadir dalam salah satu obrolan kini aktif sebagai wakil rakyat. Bertemu Julia, banyak sekali saya cerita, mulai dari Australia, Amerika, hingga semangat literasi. 

Beliau punya komunitas bernama Inspiring Development Insitute (InDev), komunitas yang didirikan bareng beberapa alumni Ford Foundation pada 2011 dan aktif dalam berbagai program pemberdayaan di daerah. Luar biasa, menurut saya. Tidak semua orang mampu untuk menggerakkan orang lain agar bersukarela berbagi kepada sesama. Tapi, perempuan kelahiran Aceh Besar itu bisa. Salah satunya lagi dengan acara sharing kepenulisan. 

Indonesia kaya dengan perempuan penulis. Yang agak jauh dari kita mungkin Kartini yang menulis catatan, dan yang terdekat itu banyak sekali baik yang karyanya dimuat di koran, majalah, jurnal, hingga buku. Beberapa penulis bahkan karyanya diterjemahkan ke bahasa asing, dibedah di luar negeri, dan mendapatkan atensi signifikan dari media massa. Yang lainnya--dan ini sedikit--karyanya diadaptasi ke layar lebar. 

Saya menyimak dengan baik sharing dari beberapa penulis perempuan yang hadir dalam acara tersebut. Ada yang menulis puisi, membacakan puisi, hingga menulis pengalamannya. "Apa yang ditulis dari hati akan masuk ke hati," kata Julia kurang lebih. Saya setuju. Dan, malam itu semua yang cerita juga bercerita dari hati, bagaimana mereka menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga, sebagai dosen, dan sebagai diaspora Indonesia yang harus bergelut dengan panas-dingin yang cukup ekstrem untuk ukuran Indonesia. 

Cerita-cerita mereka didasari oleh satu kesadaran bahwa di masa pandemi ini kita harus melakukan sesuatu. Tapi melakukan apa? Menulis! Problemnya, tidak semua orang senang menulis, apalagi disebut mau menulis. Tapi, jika tiap orang diminta menulis pengalaman--apa yang dilihat, didengar dan dirasakan--itu rasanya akan lebih mudah. Betul kan?

Pandemi ini banyak bikin orang stress, tertekan. Tidak cuma yang di kota, di desa-desa juga jadi tertekan karena diminta untuk pakai masker dan sebagainya. Merasa rasa di kampungnya tidak ada apa-apa, tapi anjuran pakai masker harus mereka lakukan. Kebijakan itu cukup masuk akal sebagai bentuk antisipasi agar pergerakan manusia dari kota ke desa--atau sebaliknya--tidak membawa virus. Kita tahu bahwa virus ini tidak kelihatan, dan bisa cepat sekali menular ke manusia--pasca Desember 2019 lalu. 

Untuk hidup damai di masa krisis, maka menulis dapat jadi solusi. Julia Novrita dan kawan-kawannya telah melakukannya dengan baik. Buku pertamanya telah jadi, dan kini menuju buku kedua. Luar biasa. Jangan bayangkan buku itu terbit dengan eksemplar yang wah kemudian dipajang di toko buku besar. Ini hanya usaha kecil tapi berdampak besar bagi komunitas. Bisa dibayangkan jika tidak komunitas yang tersebar di Indonesia ini masing-masing juga berinisiatif untuk "melakukan sesuatu", seperti menulis, maka pasti akan banyak sekali amal produktif yang kita punya. Wabilkhusus banyak karya akan terlahir di masa pandemi.     

Apa yang dilakukan oleh para penulis perempuan tersebut adalah bagian dari upaya untuk menjaga agar tubuh tetap sehat dan pikiran juga sehat. Memang betul, sebuah perasaan jika telah tertumpah--misalnya di tulisan--dampaknya hati akan terasa lebih plong, dan plong itu membuat orang bahagia. Apalagi jika ada apresiasi dari sesama. Sebagai laki-laki saya merasa sangat beruntung dapat mendengarkan cerita dari para penulis perempuan tersebut sekaligus berharap semoga teman-temanku yang lainnya juga berinisiatif melakukan hal yang sama.*

Depok, 27 Sept 2020

Imajinasi Kita tentang Bahaya Laten Komunis

Setiap masuk bulan September banyak dari kita yang akan berbicara soal komunis merujuk pada gestapu alias G30S/PKI. Sebuah gerakan yang menculik beberapa jenderal--yang disebut "dewan jenderal"--yang katanya akan melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno. 

Menurut seorang pakar, rencana PKI sebenarnya tidak bermaksud untuk sampai pada "tragedi lubang buaya", akan tetapi hanya membawa para jenderal kepada Presiden Sukarno. Akan tetapi di lapangan, rencana itu jadi berubah, dan terjadilah apa yang telah terjadi. 

Sejak kecil sampai sekarang saya tidak ada respeknya kepada PKI karena tindakan sadis yang mereka lakukan kepada ulama dan santri sampai pada tragedi di lubang buaya itu. Apa yang dilakukan PKI itu adalah bagian dari pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. 

Ketika masuk reformasi, beberapa aktivis yang senang berbendera merah kerap dianggap dekat komunis. Di antara mereka juga senang membaca buku Marx, dan pengikutnya. Tapi orang yang membaca karya Marx atau Marxisme tidak lantas bisa disebut sebagai Marxist atau komunis. 

Kita yang di ilmu antropologi misalnya, kita pelajari banyak sekali pemikiran Barat, mulai dari evolusionisme, strukturalisme, fungsionalisme, materialisme, interpretivisme simbolik, hingga konsensus dan konflik. Dalam "perahu besar" paradigma itu kita juga pelajari apa yang pernah dipikirkan Marx tentang masyarakat. Khusus dalam teori antropologi dan sosiologi, kata salah satu buku, "banyak berutang pada Karl Marx" karena dari pemikiran dialah banyak rumusan teori konflik dikembangkan (kalimat ini juga tidak berarti seseorang pro komunis). 

Di sini saya ingin katakan bahwa orang yang membaca Marx atau koleksi bukunya bukan berarti dia Marxist. Beberapa waktu lalu misalnya kita kadang lihat berita bahwa orang dianggap pengikut suatu aliran ketika dia mengkonsumsi atau mengoleksi bacaan aliran tertentu. Padahal tidak begitu. Pun sebaliknya, orang yang baca buku Imam Samudra tentu saja belum tentu berpikiran untuk mengebom satu wilayah sebagai bentuk retaliasi solidaritas atas penderitaan yang terjadi di wilayah lain. 

Dalam hal ini kita perlu membedakan antara Marxisme sebagai kajian ilmiah (akademik) dan Marxisme-Komunisme sebagai pergerakan. Sebagai akademik, pemikiran Marx itu dikaji, sama juga dengan pemikiran tentang sistem negara dalam sejarah Islam yang juga dipelajari--yang sangat beragam itu. Tujuan dipelajarinya adalah kita tahu "itu barang apa sebenarnya" yang dengan itu kita jadi paham sekaligus yakin bahwa apa yang kita punya (Pancasila) itu sudah bagus sekali sebagai titik-temu bagi sekian kaya diversitas yang ada. 

Kebangkitan PKI menjadi isu yang selalu hangat. Apakah PKI tengah bangkit? Beberapa aktivis Islam percaya bahwa PKI tengah bangkit, apalagi ditambah dengan narasi dari Jenderal purnawirawan Gatot Nurmantyo yang menyebut kurang lebih sama. Penyerangan terhadap tokoh Islam, misalnya sering juga disematkan pelakunya pada PKI. Terakhir, apa yang terjadi pada Syekh Ali Jaber, seorang ulama "Arab-Indonesia" familiar, itu juga ada yang kaitkan dengan PKI. 

RUU HIP adalah "calon produk" yang dianggap dibuat oleh otak PKI. Pancasila yang mau diperas menjadi trisila dan frasa "ketuhanan yang berkebudayaan" menjadi polemik di mana-mana. Tapi kita tidak tahu persis yang mana yang disebut sebagai PKI atau neo-komunis. Beberapa orang memang telah mengakui bahwa sebagai keturunan PKI, bahkan ada yang menulis buku tentang itu, tapi memang saya lihat yang belum selesai adalah soal: bagaimana sikap kita terhadap "keturunan orang/kelompok yang pernah bermasalah" di republik ini? 

Tentu saja kesalahan orang tua di masa lalu tidak bisa dibawa sebagai kesalahan anak di masa kini. Orang yang ayahnya terlibat pemberontakan tentu saja tidak menjamin anaknya akan memberontak pula. Banyak contoh orang yang ayahnya pemimpin teras pemberontakan tapi saat ini ia sangat Pancasila, walau tetap sifatnya tetap kritis kepada pemerintah. Artinya, orang yang kritis kepada pemerintah tidak berarti tidak loyal kepada bangsa dan negara. 

Saya yakin apa yang disuarakan oleh Jenderal Gatot--terlepas dari intensi sebagai capres atau cawapres 2024--memang ada faktanya. Karena tidak mungkin seorang berkapasitas seperti beliau bermain-main dengan isu itu. Pun, kekhawatiran para tokoh dan ormas Islam terharap ormas Islam juga tidak ada salahnya, karena di satu sisi ada trauma yang dilakukan PKI terhadap ulama dan santri sekaligus ini bagian repertoar panjang perseteruan antara kubu Islam dan komunis yang pernah terjadi di negeri ini. 

Jadi, saya pribadi memaklumi kenapa gerakan Islam sangat resisten terhadap isu kebangkitan neo-PKI karena pengalaman sejarah kelam yang terjadi kepada umat Islam dan bangsa Indonesia. Di titik ini, maka menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" saya kira tidak ada yang salah dalam upaya kita untuk mengingat kembali kejadian yang pernah terjadi itu. *

Berkah Menikah Hasli Barondes

Pagi ini saya merasa senang karena seorang kawan telah melangsungkan salah satu hajatannya, yakni menikah, yang disiarkan langsung lewat FB Mbak Ahsun Inayati. Pernikahan berlangsung di Soakonora, Kecamatan Galela, yang berjarak sekitar satu jam kurang lebih dari kota Tobelo, rumah saya. Halmahera Utara, itu nama kabupatennya. 

Hasli Barondes adalah lelaki beruntung pagi ini. Setelah lama berjuang mencukupi berbagai kebutuhan hidup, termasuk mencarikan biaya untuk keluarganya, akhirnya menyelesaikan masa lajangnya. Pertanyaan saya kepada 'kapan menikah?' akhirnya terjawab pada hari ini, alhamdulillah. 

Perjuangan

Menikah itu perjuangan. Semua orang yang menikah pasti melewati yang namanya perjuangan, baik itu perjuangan meyakinkan diri sendiri bahwa 'apakah saya telah layak menikah' sampai pada bagaimana cara berkomunikasi dengan calon istri (suami), orang tua (sendiri atau calon), biaya, dan dilaksanakan di mana. 

Dalam perjuangan pernikahan Hasli saya beruntung turut mensupport-nya dengan meyakinkan pihak keluarga besar calon istri terkait sosok Hasli. Suatu ketika, Hasli berkirim pesan ke saya agar saya bisa membantu mengkomunikasikan kepada salah seorang keluarga calon istrinya itu. Segera saya menelepon, berbicara tentang pernikahan yang 'sebaiknya disegerakan', dan bagaimana sosok pribadi calon suami tersebut. 

Saya mengenal Hasli dalam jangka waktu yang lama. Dibesarkan di desa Popilo, Hasli merupakan lelaki yang selamat dalam kerusuhan 1999. Usianya masih sangat muda, ketika ayahnya wafat dalam kerusuhan pasca reformasi tersebut. Dia kemudian ke Pulau Jawa masuk ke pesantren, di sana berkenalan dengan beberapa orang--yang belakangan menjadi band terkenal, Wali. 

Selanjutnya, Hasli melanjutkan kuliah di STAIN Ternate (kini IAIN Ternate). Setelah tamat S1 dari Unhas, saya pulkam dan membentuk Forum Lingkar Pena di sana, dan Hasli termasuk yang berkontribusi terutama ketika FLP berpindah dari kota Tobelo ke kota Ternate. Saya biasa makan malam dengannya di sweering, sambil melihat dari kejauhan pulau Halmahera dalam gelap. 

Hasli juga dekat dengan keluarga saya. Kadang, ketika ia ada waktu, biasa ia membantu keluargaku. Boleh dikata, ia merupakan salah seorang kepercayaan di keluarga kami. Ketika toko kami tidak ada yang jaga atau kurang personil, Hasli membantu 'jaga toko'. Orang-orang yang mau ke pulau Kumo, Kakara, Tagalaya, Tolonuo, hingga Morotai biasa belanja di tempat kami. Termasuk yang berasal dari Lolobata, Heletetor, pesisir Galela, hingga Sangir-Talaud di Sulawesi Utara. Ayahku sangat dekat dengan mereka. 

Perjuangan Hasli dalam menikah ini tidak mudah. Dia harus meyakinkan keluarga besar calon istri, mengumpulkan beberapa kebutuhan dari keringatnya sendiri, dan termasuk meyakinkan dirinya bahwa dia telah siap. Hasli merupakan salah seorang penulis kaligrafi dari Maluku Utara. Dia biasa menulis kaligrafi di berbagai masjid, dan hasilnya bagus menurut saya. 

Membantu Lewat Suara

Kita bisa membantu orang yang ingin menikah lewat suara. Beberapa tahun lalu, seorang kawan ingin menikah. Ia bertanya, bagaimana karakter perempuan di kompleks tersebut? Saya jawab apa adanya, termasuk pendapat saya tentang calon istrinya itu. "Berdasarkan amatan saya, perempuan tersebut adalah pribadi yang taat pada orang tuanya, senang belajar, dan sopan," kata saya pada seorang kawan lewat telepon. Kini, dia telah beranak tiga. 

Seorang kawan lainnya, bertemu di sebuah kantor. Mengatakan hajatnya ingin menikah. Dia sudah punya nama, tapi belum tahu bagaimana cara meyakinkan perempuan tersebut yang katanya 'agak keras' dalam pendiriannya. Indikator kerasnya gimana? Katanya, 'sering berdebat', dan senang sekali mendebat. Singkatnya, kritis. Saya memberikannya advice beberapa orang yang perlu didekati, dan bagaimana sikap dalam mencari jodoh yang prinsipnya 'berusaha saja; jika jodoh akan jadi juga pada akhirnya.'

Di tahun yang lebih lama lagi, seorang perempuan juga minta pendapat tentang rencana pernikahannya. Saya beri masukan dengan memberikan masukan tentang apa saja yang perlu diperjelas sebelum menikah. Memang, bagusnya sebelum menikah segala sesuatunya diperjelas, seperti identitas calon pasangan (lajang, duda, janda, etc.), dan bagaimana karakter personalnya. 

Mengenal Karakter Personal

Bagaimana cara mengenal karakter personal calon pasangan? Pertama, lewat life story, cerita hidup. Maka seorang calon suami/istri perlu tahu apa life story dari calon pasangannnya tersebut. Life story itu seperti kisah hidupnya dari kecil sampai sekarang. Dia orang mana, orang tuanya bagaimana, pendidikannya dimana saja, dan apa saja kebiasaan sehari-harinya. Yang paling tahu biasanya orang terdekat, apakah itu orang tua, saudara (adik atau kakak), atau teman dekat. 

Life story juga bisa diperoleh dengan mengamati media sosial. Memang, media sosial itu hanya citra yang tidak 100 persen utuh, tapi kita bisa dapatkan sedikit gambaran tentang bagaimana pemikiran, respons, dan kecenderungan seseorang. Orang yang sering mengeluh di status berarti cenderung untuk mudah mengeluh; orang yang sering sumpah serapah juga begitu dalam kenyataanya; dan orang yang menjawab komentar dengan santai juga menandakan karakternya. 

Kadang, kita juga perlu tahu apa yang dilakukan seseorang dalam situasi sulit atau terjepit. Karakter seseorang akan terlihat di situ. Apakah dia egois atau tidak terlihat dari bagaimana dia berhadapan dengan krisis. Hal itu bisa kita dapat lewat cerita dari beberapa orang terdekat, atau yang cukup mengenal secara subjektif calon tersebut. 

Kedua, libatkan doa dalam proses pernikahan. Doa itu penting sekali untuk meyakinkan kita terhadap hal-hal yang tidak pasti, termasuk pernikahan. Siapa yang bisa memastikan akan menikah dengan siapa? Nyaris tidak ada. Banyak orang yang sudah yakin menikah eh tahu-tahunya nggak jadi. Seorang kawan datang ke rumah saya mengabarkan, 'bang, nanti datang ya di pernikahan saya.' Saya telah catat di jadwal saya untuk hadir. Menjelang hari H, rupanya batal. Soalnya, katanya masalah uang. Padahal, si lelaki telah menyiapkan uang belanja yang jumlahnya bisa 6 kali dari uang yang dulu saya miliki ketika menikah. Artinya, 'kemapanan' finansial tidak menjamin semua berjalan lancar. 

Doa menjadi urgen sekali dalam proses ini. Maka, ketika seseorang akan menikah, dia harus membersihkan dirinya (termasuk handphone-nya) dari berbagai hal yang mengganggu perjalanannya ke depan. Residu semacam patah hati di masa lalu atau trauma harus segera dihilangkan, at least ditempatkan pada proporsinya. Ingat, kita hidup untuk masa depan, bukan masa lalu. 

Semua orang pasti punya masa lalu, tapi masa lalu bukan untuk ditangisi atau disesali. Sebaliknya, semua jenis trauma masa lalu itu harus dijadikan hikmah saja bahwa namanya kehidupan ya begitu; ada senang ada susah, ada yang mau dan ada yang menolak, ada yang dulu setuju ada yang akhirnya batal. Itu biasa dalam hidup. Sebagai pejuang, kita jangan cepat putus asa. Gunakanlah segenap cara sebaik-baiknya agar bisa membantu demi terselesaikannya hajat-hajat kehidupan. 

Akhirnya, lewat tulisan ini saya ingin mendoakan kepada Hasli Barondes dan istri semoga menjadi keluarga berkah, meraih kehidupan sakinah, mawaddah, wa rahmah; damai, penuh cinta, dan kasih sayang. Serta bagi rekan-rekan yang hendak menikah tapi belum dipertemukan, tetaplah berikhtiar dan berdoa. Karena rahasia hidup ada pada dua kunci itu.*

Depok, 21 Sept 2020

Batik, Warisan Kemanusiaan Indonesia

Tiap tanggal 2 Oktober, Indonesia memperingati Hari Batik Nasional sebagai perayaan ditetapkannya batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO.

Pada hari tersebut, lapisan masyarakat Indonesia mulai dari pejabat pemerintah sampai pelajar disarankan untuk mengenakan batik. Sebagai budaya Indonesia, batik adalah karya orang Indonesia yang harus dihargai dengan menggunakannya dalam berbagai acara, tidak terkecuali saat hari batik.

Menurut sejarah, batik pertama kali diperkenalkan kepada dunia internasional oleh Presiden Soeharto saat mengikuti konferensi PBB di New York. Selanjutnya, batik Indonesia didaftarkan untuk mendapat status intangible cultural heritage (ICH) "warisan budaya nonbendawi/tak benda" melalui kantor UNESCO di Jakarta oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia, pada 4 September 2008.

Pengajuan itu membuahkan hasil bagi pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang kemudian diterima secara resmi oleh UNESCO. Batik dikukuhkan pada sidang keempat Komite Antar-Pemerintah tentang Warisan Budaya Nonbendawi yang diselenggarakan UNESCO di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009. Pada sidang tersebut batik resmi terdaftar sebagai Warisan Kemanusiaan Karya Agung Budaya Lisan dan Nonbendawi di UNESCO. 

Sebelumnya juga ada keris dan wayang yang telah diakui sebagai Warisan Kemanusiaan Karya Agung Budaya Lisan dan Nonbendawi. Saat ini, jalur rempah maritim juga sementara dipersiapkan dossier-nya agar dapat masuk dalam tentative list UNESCO dan selanjutnya menjadi warisan budaya. 

Lantas, apa makna batik untuk kehidupan kita saat ini? Pertama, batik adalah bukti bahwa manusia Indonesia merupakan bangsa yang tidak hanya cerdas tapi juga berjiwa kreatif dan seni. Seni kreatif Indonesia terlihat sesungguhnya tidak hanya pada tari-tarian tapi juga pada seni musik sampai pada seni batik. 

Jika jalan ke toko batik banyak sekali model yang diperlihatkan kepada kita. Semua model itu dikembangkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Belum lagi merk-nya yang beragam. Semua itu juga menjelaskan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang tak berhenti berkarya, terus melakukan inovasi untuk penyempurnaan karya dari hari ke hari. 

Kedua, batik juga menjadi tanda bahwa manusia Indonesia terbuka terhadap perubahan. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan. Semua peradaban manusia tidak terlepas dari perubahan. Yang bisa dilakukan manusia adalah beradaptasi dengan perubahan itu namun tetap merawat ciri khas yang membedakannya dengan bangsa lain. 

Dalam pandemi seperti sekarang, kita melihat banyak perubahan melanda dunia mulai dari tidak adanya negara yang betul-betul menjadi leader dalam memimpin "perang melawan covid" sampai pada perubahan tata-cara peribadatan umat beragama. Perubahan itu sesungguhnya menjelaskan satu hal, bahwa manusia adalah makhluk adaptif yang dapat hidup di semua musim dan tempat. 

Sebagai warga negara Indonesia, mari kita hargai warisan budaya bangsa dengan menggunakan batik. Batik dapat digunakan dalam berbagai acara resmi maupun tidak resmi. Ada baiknya juga tiap komunitas yang ada di bangsa ini memiliki batik (seragam) yang khas tidak hanya untuk memperkaya inovasi batik di negeri kita tapi juga sebagai bentuk kesungguhan dalam merawat batik sebagai warisan budaya nonbendawi. 

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...