Bagaimana dengan bahasa asing? Apakah bahasa asing mengandung "kengerian" tertentu? Sebagian orang menganggap, iya. Di Indonesia misalnya, ada etnik yang mulanya takut jika anggota masyarakatnya belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung), karena dikhawatirkan mereka akan berubah dan kelak mengubah tatanan yang telah eksis puluhan tahun.
Sedangkan bahasa asing seperti Inggris ada saja yang berpandangan bahwa itu bahasa orang luar, bukan bahasa kita, bahasa penjajah, dan sesuatu yang terkait dengan itu. Walhasil, orang menjadi takut dengan bahasa asing. Pengalaman saya, dulunya saya sendiri tidak senang bahasa asing khususnya bahasa Inggris, tapi seiring berjalan waktu saya jadi menyadari bahwa bisa berbahasa asing mengandung manfaat untuk pengembangan diri, jaringan, dan juga pengetahuan.
Memulai Belajar
Belajar yang asing-asing sering perlu dimulai dengan satu pertanyaan: apa manfaatnya bagiku? AMBAK, begitu kata buku Quantum Learning, yang dulu hits sekali. Prinsipnya, jika sesuatu bermanfaat maka seseorang akan mau melakukannya. Artinya, jika seseorang merasa bahasa belajar bahasa asing, seperti bahasa Indonesia (bagi komunitas etnik di Indonesia), bahasa Arab, Inggris, Prancis, Cina, dlsb itu ada manfaatnya, maka orang akan mempelajarinya.
Pendekatan AMBAK sangat baik untuk memulainya. Bahasa Indonesia misalnya. Pengalaman beberapa tahun terlibat dalam program keaksaraan dasar di Kemendikbud, saya mendapatkan banyak cerita dari para tutor, tokoh masyarakat, dan pengelola pusat kegiatan belajar masyarakat, bahwa komunitas yang melarang anggotanya belajar bahasa Indonesia alasannya karena khawatir. Mereka khawatir jika nanti kalau sudah bisa, peserta didiknya akan berubah.
Selain itu, ada juga yang takut karena pengalaman sebelumnya mereka biasa dibohongi oleh orang kota yang katanya mau memberikan ini dan itu, tapi ternyata realisasinya tidak ada. Orang kota kadang berlaku tidak adil kepada mereka dengan memberikan janji-janji palsu, kadang juga meminta mereka tandatangan sesuatu yang mereka tidak tahu. Intinya, nama mereka sering "dijual" untuk kepentingan oknum tersebut. Itu yang jadi trauma sehingga komunitas tertentu menolak untuk belajar membaca.
Sebaliknya, komunitas yang menerima program membaca itu karena mereka menyadari bahwa program ini bermanfaat untuk warga mereka. Misalnya, ketika bisa membaca, mereka jadi dapat pengalaman baru ketika berkunjung ke desa atau kota. Mereka jadi bisa membaca tanda-tanda di jalanan, atau ketika menjual hasil kebun tidak dibohongi oleh pembeli, karena mereka tahu barang dan harga hasil panen tersebut.
Maka, pembelajaran bahasa asing--untuk semua jenis yang dianggap asing oleh komunitas--perlu sekali berpijak pada manfaat. Kita perlu menggali apa manfaat (benefit) yang akan diperoleh warga/anggota masyarakat jika mempelajari bahasa tersebut. Jika sudah ada, pembelajaran jadinya akan mudah.
Komunitas belajar bahasa
Kampung Inggris adalah contoh paling sukses dari pembelajaran bahasa asing berbasis pada masyarakat. Dimulai dari satu dua orang kemudian berkembang, saat ini Kampung Inggris menjadi idola mereka yang mau fokus memperdalam bahasa Inggris. Dalam perkembangannya, saat ini Kampung Inggris juga hadir dengan berbagai kursusan bahasa Arab, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan orang.
Saya beruntung belajar "mondok" sebulan di Kampung Inggris. Menggunakan dana sendiri, saya berangkat dari Ternate ke Pare. Di sana saya tidak belajar yang berat-berat, kecuali TOEFL. Saya memilih belajar vocabulary, speaking, yang dasar-dasar saja. Saya ingin dapat semangat dulu sebelum yang berat-berat. Di asrama, saya ikut berbagai programnya, wajib bahasa Inggris. Yang saya sukai juga adalah ketika disuruh berdiri di depan jalan kemudian berbicara sekitar 5 menit tak berhenti--dalam bahasa Inggris juga.
Semua yang ada di kepala keluar. Tapi, saya jadi lama-lama mengerti. Ternyata banyak juga yang saya tahu cuma nggak keluar. Itu satu teknik yang bagus sekali. Kita diminta berbicara bebas, mulai dari "how are you"--yang sangat hits kalau ketemu orang--sampai pada kosakata yang mulai berat yang kita coba "cocokologi" dalam kalimat bebas. Semua itu membuahkan hasil, kita mulai senang, dan lebih ringan dalam berbahasa Inggris.
Selanjutnya, setelah merasa nyaman, kita jadi enak melangkah pada hal-hal lain baik itu TOEFL, IELTS, atau jadi pembicara. Dari Pare saya ikut program ke Australia, kemudian berturut-turut jadi pembicara konferensi di Bandung, Jakarta, hingga ke negara luar, paling tidak di Bangkok dan Amerika. Udah bagus donk bahasa Inggrisnya? Nah, ini yang paling berat. Tidak juga. "Masih begini-begitu saja", jawab saya. Masih pas-pasan. Tidak seperti native memang, tapi mulai ada perkembangan.
Kalimat "mulai ada perkembangan" itu saya rasakan sangat bermakna dalam proses saya belajar bahasa asing. Dari yang nggak suka bahasa Inggris hingga mulai berkembang itu menyenangkan. Ada evolusi kesadaran belajar di situ. Saya betul-betul menikmati. Walau masih tersendat satu dua kata--banyak kata sebenarnya--tapi saya merasa mulai bisa, dan itu penting sekali.
Secara personal, pengalaman itu mungkin sama dengan kawan-kawan lainnya yang dulu nggak suka bahasa Inggris. Lama-lama kalau kita mulai tumbuhkan kesadaran manfaat, kita jadi bisa. Awalnya memang malu, tapi lama-lama kita jadi mengerti bahwa tak ada manusia sempurna, termasuk dalam berbahasa. Kita saja yang orang Indonesia belum tentu fasih berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai pedoman. Apalagi dengan bahasa asing. Tapi jika kita mau belajar, semua jadi terasa menyenangkan, dan membuahkan hasil sedikit demi sedikit.
RPI Kelas Bahasa
Ketika mendirikan Rumah Produktif Indonesia di tengah Maret di masa pandemi, saya buat banyak divisi berbasis pada peminatan/bidang ilmu, dan juga kelas bahasa. Bahasa Inggris, Arab, Cina, dan Korea; masing-masing ada pengurusnya.
Bahasa Inggris misalnya telah dibudayakan lewat berbagai sharing pengetahuan, diskusi, dan pelatihan singkat dan ringan lewat WA dan zoom atau google meet. Awalnya banyak yang bersemangat, tapi belakangan mulai berkurang yang aktif. Itu biasa. Namun dalam acara yang digelar di zoom, selalu peserta puluhan orang. Itu jadi tanda bahwa animo peserta memang banyak untuk bahasa Inggris.
Bahasa lainnya, seperti Arab sudah pernah buat kegiatan. Seorang "native" Arab juga ikut di situ menjadi pengurus. Kendati belum aktif betul tapi telah ada "muqaddimah" kegiatan bahasa Arab untuk peserta. Beberapa orang telah mempraktikkan bahasa Arab. Dari situ kita tahu bahwa potensi bahasa Arab itu banyak juga dalam komunitas kita.
Bahasa Korea dan Cina belum aktif, akan tetapi telah ada diskusinya, baik itu di zoom maupun di WA. Pengurus klaster bahasa Cina misalnya mengirimkan pesan di WA dengan huruf Cina. Saya tidak mengerti, tapi menebak-menebak bahwa intinya adalah obrolan tentang program. Bahasa Korea ada yang biasa, tapi belum mahir. Lebih banyak tren Korea yang dikenal oleh peserta--seiring dengan booming film dan budaya Korea di mana-mana. Bahasa Prancis mulai dipelajari juga di RPI seiring dengan adanya tutor dan peminat.
Tujuan dari kita belajar bahasa asing sebenarnya bukan untuk menjadi orang asing, tapi untuk mengenal budaya luar. Dengan demikian wawasan kita jadi luas, serta dapat menjadi bekal dalam mencari ilmu, teman, atau ketika berkomunikasi dengan native. Tentu saja kita tetap menjadi orang Indonesia dan pikiran dan jiwa yang Indonesia.
Jadi, belajar bahasa asing tidaklah membuat kita menjadi orang asing, atau dijajah oleh asing. Bahasa adalah sarana. Siapa yang kuasai bahasa dia kuasai dunia, begitu katanya. Betul. Para tokoh bangsa umumnya bisa berbahasa asing, dan dengan itu mereka berjuang untuk diplomasi Indonesia. Kini, setelah puluhan tahun merdeka kita belajar bahasa asing selain untuk memperluas pengetahuan juga untuk mengambil yang terbaik dari luar untuk Indonesia.
Depok, 3 Oktober 2020
PS: Terima kasih untuk semua teman yang telah berkontribusi dalam pembelajaran bahasa asing di RPI. Pamflet belajar bahasa Prancis adalah contoh kegiatan. Tutornya Mbak Jeanne Francoise dan moderator S. Laras Wulan.