Friday, October 2, 2020

Imajinasi Kita tentang Bahaya Laten Komunis

Setiap masuk bulan September banyak dari kita yang akan berbicara soal komunis merujuk pada gestapu alias G30S/PKI. Sebuah gerakan yang menculik beberapa jenderal--yang disebut "dewan jenderal"--yang katanya akan melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno. 

Menurut seorang pakar, rencana PKI sebenarnya tidak bermaksud untuk sampai pada "tragedi lubang buaya", akan tetapi hanya membawa para jenderal kepada Presiden Sukarno. Akan tetapi di lapangan, rencana itu jadi berubah, dan terjadilah apa yang telah terjadi. 

Sejak kecil sampai sekarang saya tidak ada respeknya kepada PKI karena tindakan sadis yang mereka lakukan kepada ulama dan santri sampai pada tragedi di lubang buaya itu. Apa yang dilakukan PKI itu adalah bagian dari pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. 

Ketika masuk reformasi, beberapa aktivis yang senang berbendera merah kerap dianggap dekat komunis. Di antara mereka juga senang membaca buku Marx, dan pengikutnya. Tapi orang yang membaca karya Marx atau Marxisme tidak lantas bisa disebut sebagai Marxist atau komunis. 

Kita yang di ilmu antropologi misalnya, kita pelajari banyak sekali pemikiran Barat, mulai dari evolusionisme, strukturalisme, fungsionalisme, materialisme, interpretivisme simbolik, hingga konsensus dan konflik. Dalam "perahu besar" paradigma itu kita juga pelajari apa yang pernah dipikirkan Marx tentang masyarakat. Khusus dalam teori antropologi dan sosiologi, kata salah satu buku, "banyak berutang pada Karl Marx" karena dari pemikiran dialah banyak rumusan teori konflik dikembangkan (kalimat ini juga tidak berarti seseorang pro komunis). 

Di sini saya ingin katakan bahwa orang yang membaca Marx atau koleksi bukunya bukan berarti dia Marxist. Beberapa waktu lalu misalnya kita kadang lihat berita bahwa orang dianggap pengikut suatu aliran ketika dia mengkonsumsi atau mengoleksi bacaan aliran tertentu. Padahal tidak begitu. Pun sebaliknya, orang yang baca buku Imam Samudra tentu saja belum tentu berpikiran untuk mengebom satu wilayah sebagai bentuk retaliasi solidaritas atas penderitaan yang terjadi di wilayah lain. 

Dalam hal ini kita perlu membedakan antara Marxisme sebagai kajian ilmiah (akademik) dan Marxisme-Komunisme sebagai pergerakan. Sebagai akademik, pemikiran Marx itu dikaji, sama juga dengan pemikiran tentang sistem negara dalam sejarah Islam yang juga dipelajari--yang sangat beragam itu. Tujuan dipelajarinya adalah kita tahu "itu barang apa sebenarnya" yang dengan itu kita jadi paham sekaligus yakin bahwa apa yang kita punya (Pancasila) itu sudah bagus sekali sebagai titik-temu bagi sekian kaya diversitas yang ada. 

Kebangkitan PKI menjadi isu yang selalu hangat. Apakah PKI tengah bangkit? Beberapa aktivis Islam percaya bahwa PKI tengah bangkit, apalagi ditambah dengan narasi dari Jenderal purnawirawan Gatot Nurmantyo yang menyebut kurang lebih sama. Penyerangan terhadap tokoh Islam, misalnya sering juga disematkan pelakunya pada PKI. Terakhir, apa yang terjadi pada Syekh Ali Jaber, seorang ulama "Arab-Indonesia" familiar, itu juga ada yang kaitkan dengan PKI. 

RUU HIP adalah "calon produk" yang dianggap dibuat oleh otak PKI. Pancasila yang mau diperas menjadi trisila dan frasa "ketuhanan yang berkebudayaan" menjadi polemik di mana-mana. Tapi kita tidak tahu persis yang mana yang disebut sebagai PKI atau neo-komunis. Beberapa orang memang telah mengakui bahwa sebagai keturunan PKI, bahkan ada yang menulis buku tentang itu, tapi memang saya lihat yang belum selesai adalah soal: bagaimana sikap kita terhadap "keturunan orang/kelompok yang pernah bermasalah" di republik ini? 

Tentu saja kesalahan orang tua di masa lalu tidak bisa dibawa sebagai kesalahan anak di masa kini. Orang yang ayahnya terlibat pemberontakan tentu saja tidak menjamin anaknya akan memberontak pula. Banyak contoh orang yang ayahnya pemimpin teras pemberontakan tapi saat ini ia sangat Pancasila, walau tetap sifatnya tetap kritis kepada pemerintah. Artinya, orang yang kritis kepada pemerintah tidak berarti tidak loyal kepada bangsa dan negara. 

Saya yakin apa yang disuarakan oleh Jenderal Gatot--terlepas dari intensi sebagai capres atau cawapres 2024--memang ada faktanya. Karena tidak mungkin seorang berkapasitas seperti beliau bermain-main dengan isu itu. Pun, kekhawatiran para tokoh dan ormas Islam terharap ormas Islam juga tidak ada salahnya, karena di satu sisi ada trauma yang dilakukan PKI terhadap ulama dan santri sekaligus ini bagian repertoar panjang perseteruan antara kubu Islam dan komunis yang pernah terjadi di negeri ini. 

Jadi, saya pribadi memaklumi kenapa gerakan Islam sangat resisten terhadap isu kebangkitan neo-PKI karena pengalaman sejarah kelam yang terjadi kepada umat Islam dan bangsa Indonesia. Di titik ini, maka menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" saya kira tidak ada yang salah dalam upaya kita untuk mengingat kembali kejadian yang pernah terjadi itu. *

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...