Mencermati problematika literasi digital kontemporer, Forum Alumni Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (FA-AIMEP) klaster pendidikan menginisiasi zoom talk dengan tema 'Pendidikan Literasi Media di Era Digital'. Pembicaranya tiga pakar dan praktisi sekaligus, yakni Leliana Setiono, pegiat literasi media lulusan University of Melbourne, dan Dr. phil. Suratno, ketua The Lead Institute Universitas Paramadina yang juga pengurus Lakpesdam NU dan tentu saja alumni AIMEP 2005. Acara dipandu oleh Andi Fathimah, seorang content creator muda @focalforyouth dan alumni AIMEP 2019.
Memahami Literasi Digital
Literasi Digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media-media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, mnggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-sehari (GLN, 2017).
Mereka yang melek leterasi digital indikasinya adalah jika mampu dalam hal literasi visual seperti mampu membaca dan menyimpulkan informasi dari visual; mampu literasi reproduksi dengan menggunakan teknologi digital untuk menciptakan karya baru; mampu menggunakan literasi komunikasi dalam meemahami kinerja jejaring, serta mampu dalam mencari informasi dan mengolah aspek-aspek sosial dan emosional secara daring.
Kedua definisi ini kita ambil dari Literasi Digital: Konsep, Pengembangan dan Praktik di Masyarakat yang diterbitkan oleh Kemendikbud tahun 2019. Selain modul literasi digital, Kemendikbud juga menerbitkan literasi finansial, literasi numerasi, literasi baca-tulis, literasi sains dan satu lagi literasi budaya dan kewargaan. Khusus literasi budaya dan kewargaan, saya membuat konsepnya yang saya bagi empat bagian, yaitu definisi, pancasila sebagai manifesto budaya Indonesia, strategi pengembangan, dan praktik baik berbasis kearifan lokal masyarakat Indonesia. Di situ saya masukkan beberapa contoh permainan tradisional, lagu tradisional, cerita rakyat, budaya gotong-royong, arsitektur tradisional, pengobatan, dan kuliner. Semuanya dalam konteks menguatkan semangat kebangsaan bahwa kita ini orang Indonesia yang harus memahami diversitas budaya yang ada serta bagaimana menjadi warga negara yang baik di negeri multikultur ini.
Penjelasan paragraf sebelum ini saya masukkan sebagai bagian bahwa literasi digital itu tidak terlepas dari literasi lainnya. Kita tidak akan bisa menjadi literat jika jika lupa pada budaya dan kewargaan. Artinya, mau sepintar apapun kita kalau kita tidak 'sadar budaya' dan tidak punya sensitivitas budaya, itu akan kontraproduktif dalam Indonesia yang sangat majemuk. Di sini, perlu sekali pemahaman tentang konteks di mana kita hidup, yakni Indonesia.
Melawan Teori Konspirasi
Apakah teori konspirasi harus dilawan? Tergantung. Bisa ya, bisa tidak. Bisa jadi ada kebenaran dari teori konspirasi, tapi tak jarang banyak berita bohong dan menyesatkan dari teori konspirasi. Kita sebagai warga literat harus bisa memisahkan mana yang fakta mana yang opini, mana yang data dan mana yang rekayasa. Kecerdasan itu perlu sekali sebelum kita menulis atau menyakini terkait suatu hal.
Berbicara cara menangkal teori konspirasi, saya jadi teringat dengan beberapa narasi yang dibuat oleh UNESCO dengan label "conspiracy theory" dengan hashtag #ThinkBeforeSharing. Apa sih teori konspirasi itu? Ringkasnya, disebut bahwa teori konspirasi itu sebuah keeyakinan bahwa berbagai kejadian secara rahasia telah dimanipulasi di belakang layar oleh kekuatan besar dengan tujuan negatif. Jadi, ada "kejadian", "rahasia", "manipulasi", "belakang layar", "kekuatan besar", dan "tujuan negatif." Beberapa unsur itu umumnya ditemukan dalam apa yang disebut teori konspirasi.
Teori konspirasi juga meyakini beberapa hal seperti adanya dugaan plot rahasia. Jadi, kalau ada suatu kejadian, pengikut teori konspirasi akan berkata "pasti ada yang rahasia" di sini. Kematian seorang tokoh, bahkan hingga virus covid juga diyakini dikendalikan secara rahasia oleh "powerful forces" yang punya niat jelek untuk--sebutlah depopulasi.
Juga, dalam teori konspirasi ada grup konspirator. Pengikut konspirasi percaya bahwa ada sekelompok kecil manusia yang melakukan tindakan konspiratif dengan tujuan jelek. Misalnya, ada keyakinan bahwa para tetua kelompok tertentu melakukan berbagai rekayasa penaklukkan dunia yang bukunya telah diterbitkan dalam berbagai versi dan analisa. Kejadian yang terjadi sekarang kemudian dikaitkan bahwa "oh, dulu memang sudah ada rencana itu" merujuk pada dokumen tersebut. Seakan-akan sebuah rencana manusia itu sudah pasti akan terjadi. Padahal, kita yakin bahwa semua rencana manusia tidak ada yang betul-betul bisa terjadi di masa depan, karena bertaut di dalamnya banyak faktor yang mendorong atau melawan sehingga ide tersebut terwujud atau tidak.
Tapi, fakta bahwa "masa depan tercipta dari rencana masa lalu" memang tidak bisa dimungkiri pula. Apa yang dijelaskan dalam kitab suci misalnya, terkait nubuat akhir zaman sangat diyakini oleh kalangan beriman bahwa hal itu akan terjadi. Apa yang disebut sebagai huru-hara akhir zaman itu diyakini akan datang, dan "perang kosmik" akan terjadi antara satu dan lainnya. Maka, dari situ orang juga pada khawatir dengan kemungkinan perang dunia ketiga walaupun pasca perang dingin tidak ada arah ke sana. Tapi, kejadian-kejadian tertentu sempat dikhawatirkan akan memicu dan memacu terjadinya perang global.
Sebuah teori konspirasi juga biasanya memiliki bukti, akan tetapi bukti yang telah direkayasa. Misalnya, foto seorang tokoh yang diedit sedemikian rupa sehingga sama banget dan orang-orang tertentu jadi yakin kalau itu foto asli. Atau, berbagai hal yang terkait dengan itu. Selalu ada bukti yang dipercaya oleh penganut teori konspirasi. Entah benar atau tidak, tapi dalam beberapa kasus saya lihat, "evidence" tersebut memang di-create sebagai penguat bahwa narasi yang disebarkan itu benar.
Teori konspirasi juga percaya bahwa "segala sesuatu itu berhubungan". Jadi, kalau ada satu kejadian, pasti kejadian itu tidak tunggal, ada relasi dengan lainnya. Memang, harus ada riset yang utuh untuk mendapatkan kebenaran faktual dari sebuah peristiwa (sejarah biasanya akan menjawabnya di masa datang), tapi kita juga bisa memahami bahwa apakah suatu kejadian itu berhubungan atau tidak. Umumnya kita percaya bahwa "tak ada yang tak terkait", semua terkait, namun apakah semua hal harus dikait-kaitkan? Bisa ya, bisa tidak. Tentu itu tergantung sekali dengan kejadian apa dan aktornya siapa, serta dampaknya apa bagi komunitas, bangsa, atau masyarakat global.
Tambahan lagi, penganut konspirasi cenderung berpikir "siapa yang mengambil untung dari kejadian ini." Memang, ini tidak mutlak milik teori konspirasi, akan tetapi umumnya orang akan berpikir ke sana. Hal itu tidak terlepas dari adanya kecurigaan, bahwa semua kejadian tidak ada yang terjadi begitu saja. Bahwa pasti ada tali-temali dengan kejadian atau aktor lainnya. Ada intensi juga dari kejadian tersebut.
Melawannya dengan cara apa?
Ada banyak cara melawan teori konspirasi, salah satunya dengan fact-checking. Cek fakta. Belakangan ini saya lihat beberapa media membuat hal itu. Ketika ada berita viral, mereka kemudian mengeceknya. Itu bagus sekali. Masyarakat jadi tahu bahwa berdasarkan kajian jurnalis, bahwa narasi atau foto tertentu itu asli atau tidak, benar atau misleading.
Saya kira, tim fact-checking ini juga perlu ada dalam berbagai kementerian/lembaga, bahkan komunitas. Harus ada departemen tertentu yang mengecek kebenaran suatu fakta kemudian mereka menyebarkan hasil temuannya itu. Saat ini masalah besar kita salah satunya adalah penyebaran berita bohong yang sangat massif.
Orang yang terdidik sekaligus bisa termakan berita sesat, karena tidak semua orang dididik untuk bisa memisahkan mana fakta dan mana hoax. Pendidikan kita juga terlihat masih lemah dalam menciptakan pribadi manusia yang berpikir kritis terhadap info umum, berbeda dengan info dalam bidang ilmunya yang dia sangat konsen untuk itu.
Dari penjelasan di atas saya kira sudah saatnya kini tiap komunitas juga menggalakkan yang namanya literasi digital dan program fact-checking sebagai bentuk ikhtiar untuk mencari kebenaran dari berbagai berita simpang siur yang kadang masuk ke ponsel kita dan kita percaya begitu saja, padahal info itu menyesatkan. *
Depok, 26 Sept 2020
No comments:
Post a Comment