Sabtu, 26 September 2020, Divisi Kesehatan Masyarakat Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia mengadakan Webinar Nasional dengan tema "Teknologi, Alam, dan Kesehatan di Masa Adaptasi Baru" menggunakan platform zoom yang disiarkan ke akun Youtube RPI Official. Webinar ini adalah salah satu dari sekian banyak kegiatan Divisi Kesmas yang dipimpin oleh Direktur Nuning Lestin Bintari, seorang ASN di Kemenkes yang juga kolega saya di Center for Strategic Policy Studies SKSG UI.
Masa Depan Berkelanjutan
Untuk memperkaya diskusi, saya menyempatkan diri untuk membaca beberapa berita terkait dengan apa isu yang sedang dibicarakan di tingkat global. Pada high level dialogue yang diadakan oleh UNDP dan UNEP, lembaga PBB untuk pembangunan dan lingkungan, panelis ahli membahas soal "ketegangan yang belum selesai" sebagai dampak dari pandemi global.
Ketegangan tersebut berkaitan dengan dua hal: pertama, relasi manusia dengan planet bumi dan kedua, relasi manusia dengan teknologi. Relasi manusia dengan planet menunjukkan ada yang "tidak baik-baik saja" ketika virus dari kota kecil menyebar begitu cepat ke berbagai kota di dunia. Kebakaran hutan yang sering "datang dan pergi" di hutan-hutan Amerika, juga di Australia yang beberapa waktu lalu menyebabkan banyak orang terdampak, hingga pada berbagai dampak perubahan iklim yang jelas mengganggu eksistensi manusia dan alam. Itu semua disebabkan oleh banyak hal, tapi yang jelas adalah; manusia berkontribusi dalam kerusakan tersebut.
Diskusi tersebut juga mempertanyakan satu hal: bagaimana kita membangun masa depan berkelanjutan yang lebih baik? Jika sudah ada jawabannya, maka pasti tidak akan ada program. Karena yang namanya "berkelanjutan" itu bukanlah seperti benda statis, sebaliknya bersifat dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dalam diri, komunitas, dan dunia secara mondial.
Membangun relasi yang baik dengan alam tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara kita berelasi dengan teknologi. Sekian panjang invensi manusia dalam teknologi mulai dari kapak genggam hingga telepon pintar, tidak membuat kita jadi manusia--dalam arti utuh. Selalu ada cela dalam diri dimana kita menjadi "civilized" di satu sisi dan menjadi "uncivilized" di sisi lainnya. Beradab di satu hal tapi barbar pada hal lainnya. Teknologi kerap selain berdampak positif juga menjadi bumerang bagi peradaban manusia itu sendiri.
Saat ini, kita tengah ditantang oleh alam, bagaimana menemukan teknologi terkini guna melawan virus yang diam tapi ekstensif bernama corona itu. Ratusan bahkan ribuan dokter dan ahli melakukan percobaan untuk mencari obat atau vaksin tapi belum juga ketemu. Satu muncul tapi harus diuji oleh mekanisme lab yang lain. Sudah begitulah alurnya. Dalam konteks ini, upaya manusia dalam invensi teknologi harus terus dilakukan secara berkelanjutan mengingat perkembangan virus yang tidak statis, bahkan dapat bermutasi menjadi virus jenis baru.
Terlepas dari relasi kita dengan planet dan invensi teknologi, satu hal yang tidak bisa kita lupakan adalah bagaimana menyeimbangkan kehidupan kita di planet ini. Manusia mau tapi alam juga punya kemauannya sendiri. Kita buat gedung misalnya, tapi harus kita tahu bagaimana kondisi tanah di sekitar situ--amankah untuk waktu lama? Kita buat rumah, tapi lupa bahwa di sekitarnya ada tanah yang bisa saja runtuh dan ketika gempa bisa meratakan rumah-rumah tersebut. Artinya, sejauh teknologi yang ditemukan manusia--termasuk obat atau vaksin--mereka tetap harus mempertimbangkan bagaimana hidup selaras, hidup seimbang dengan alam. Bahwa yang "tinggal" di alam ya bukan cuma kita, ada "yang lain" yang juga punya hak untuk itu.
Urgensi Adaptasi bagi Keberlanjutan Eksistensi
Kendati tidak semua orang setuju dengan konsep adaptasi, tapi kata yang paling tepat untuk menggambarkan strategi manusia di masa krisis pandemi adalah: adaptasi. Sebuah upaya manusia untuk hidup selaras dengan alam dengan mengikuti hukum-hukum alam yang tersedia. Jika resistensi kita pilih, bisa jadi kehancuran kita dapat, karena tidak paham bagaimana "alam bekerja."
Alam ini sesungguhnya makhluk yang memiliki cara kerja yang khas. Kita selama ini hanya yakin bahwa manusia saja yang paling superior, dan alam itu inferior. Kita lupa bahwa sejak zaman purba, para tetua kita dulu itu memilih masuk ke gua hingga menuliskan gambar di gua itu karena berupaya agar tidak musnah oleh alam. Adanya guntur, kilat, angin kencang, gempa bumi, adalah bagian dari mekanisme alam yang sudah eksis sejak lama, dan untuk menghadapi itu manusia tidak punya cara resistensi yang bagus selain beradaptasi. Bahkan, satu teori menyebut, bahwa religi bisa muncul sebab dari ketakutan sekaligus harapan manusia agar bisa bertahan dari berbagai marabahaya yang mereka lihat di alam ini. Maka, mereka butuh sesuatu yang maha kuat, itulah yang disebut sebagai tuhan. Satu teori bilang begitu.
Adaptasi manusia dapat dilakukan lewat berbagai cara dewasa ini, yang semuanya itu bermuara pada kalimat: ikuti protokol kesehatan. Kalau musuhnya terlihat jelas mungkin orang bisa melawannya, tapi ini tidak terlihat. Maka, kalaupun mau melakukan resistensi, maka resistensinya harus dengan cara yang tidak terlihat juga--lewat vaksin--sekaligus menjauhkan diri dari sebab-sebab yang mungkin bagi tersebarnya virus tersebut. Ya, pakai masker, jaga jarak, dan tahu info covid-19 itu beberapa caranya agar tetap adaptif.
Bertahan dan Bersabar
Mark Lilla, seorang professor bidang humanities di Universitas Columbia menulis artikel bagus di New York Times. Satu petikannya dia bilang, "sejarah umat manusia adalah sejarah ketidaksabaran." Sejenak saya pikir itu betul. Manusia cenderung tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Lilla beri contoh, kita sering bertanya tentang masa depan kepada peramal saintifik, yang beberapa di antara mereka benar tapi tidak semuanya.
Di masa krisis seperti sekarang, orang berlomba-lomba mencari apa berita masa depan yang dapat mereka percaya. Kita cenderung berpikir kapan pandemi ini akan selesai. Maka para pakar yang bisa menebak-nebak masa depan kemudian dihadirkan. Tapi, satu hal yang pasti dari masa depan itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Ya, tidak ada yang tahu bagaimana bentuk masa depan manusia, kita hanya bisa menebak-nebak gambarnya, atau mencocokkan berbagai pola dari cerita-cerita masa lalu, nubuat akhir zaman, sampai pada analisis saintifik dari berbagai macam riset para ahli.
Ketidaksabaran kita saya lihat berdampak pada kebosanan untuk mengikuti protokol. Orang jadi bosan berlama-lama di rumah. Dulu kita diminta stay at home, tapi satu dua bulan lewat orang-orang rame lagi di jalanan. Sebelumnya Jakarta itu biru sekali awannya--setidaknya itu yang ditampilkan di medsos--tapi ketika penguasa bertitah agar segera relaksasi, orang-orang pun euforia ke luar rumah, bahkan cukup banyak yang tak bermasker. Pandemi kemudian bangkit lagi seiring juga dengan jumlah test swab yang dilakukan secara massif.
Mungkin betul kata Mark Lilla itu, bahwa sejarah manusia adalah sejarah ketidaksaran. Padahal kita sering bilang, "sabaran dikit napa sih!" Tapi itu tidak berlaku di masa 'tersiksa' ketika harus berlama-lama di rumah. Orang pun mulai melawan, melawan virus dengan cara nirstrategi. Bebas saja. Bahkan mulai percaya dengan teori konspirasi awam bahwa 'covid ini hanya permainan saja' yang dihembuskan oleh akal-akal berotak sempit. Maka, kesabaran untuk menunggu vaksin itu tiba saya kira adalah solusi bagi kita semua. Dan kesabaran itu dapat dilalui dengan tetap ikuti protokol, dan tetap bahagia di rumah masing-masing--terserah dengan cara apapun yang menyenangkan yang bikin kita tetap bahagia yang dengan itu imun kita jadi lebih kuat terjaga. *
Depok, 26 Sept 2020
No comments:
Post a Comment