Friday, October 2, 2020

Strategi Penulis Perempuan

Selepas maghrib saya diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah sharing bersama penulis perempuan yang baru saja menerbitkan buku. Julia Novrita, seorang kawanku yang PhD di bidang international education di University of Massachussets, Amherst, mengajak saya berbagi pengalaman menulis buku yang menurutnya "tidak mudah." 

Saya mengenal Mbak Julia Novrita sebagai kawan sesama alumni Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP), sebuah program unggulan dari Australia-Indonesia Institute yang diadakan setiap tahun sejak 2002. Sepulang dari Sydney dalam program tersebut, saya segera menginisiasi pengumpulan naskah, dan Julia adalah salah seorang yang saya kontak. 

Saya kemudian bertemu beliau kali pertama di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Waktu itu saya beberapa kali ketemu kawan di situ untuk ngopi dan ngobrol tentang berbagai hal mulai dari jaringan, kegiatan, sampai pada kolaborasi. Seorang yang hadir dalam salah satu obrolan kini aktif sebagai wakil rakyat. Bertemu Julia, banyak sekali saya cerita, mulai dari Australia, Amerika, hingga semangat literasi. 

Beliau punya komunitas bernama Inspiring Development Insitute (InDev), komunitas yang didirikan bareng beberapa alumni Ford Foundation pada 2011 dan aktif dalam berbagai program pemberdayaan di daerah. Luar biasa, menurut saya. Tidak semua orang mampu untuk menggerakkan orang lain agar bersukarela berbagi kepada sesama. Tapi, perempuan kelahiran Aceh Besar itu bisa. Salah satunya lagi dengan acara sharing kepenulisan. 

Indonesia kaya dengan perempuan penulis. Yang agak jauh dari kita mungkin Kartini yang menulis catatan, dan yang terdekat itu banyak sekali baik yang karyanya dimuat di koran, majalah, jurnal, hingga buku. Beberapa penulis bahkan karyanya diterjemahkan ke bahasa asing, dibedah di luar negeri, dan mendapatkan atensi signifikan dari media massa. Yang lainnya--dan ini sedikit--karyanya diadaptasi ke layar lebar. 

Saya menyimak dengan baik sharing dari beberapa penulis perempuan yang hadir dalam acara tersebut. Ada yang menulis puisi, membacakan puisi, hingga menulis pengalamannya. "Apa yang ditulis dari hati akan masuk ke hati," kata Julia kurang lebih. Saya setuju. Dan, malam itu semua yang cerita juga bercerita dari hati, bagaimana mereka menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga, sebagai dosen, dan sebagai diaspora Indonesia yang harus bergelut dengan panas-dingin yang cukup ekstrem untuk ukuran Indonesia. 

Cerita-cerita mereka didasari oleh satu kesadaran bahwa di masa pandemi ini kita harus melakukan sesuatu. Tapi melakukan apa? Menulis! Problemnya, tidak semua orang senang menulis, apalagi disebut mau menulis. Tapi, jika tiap orang diminta menulis pengalaman--apa yang dilihat, didengar dan dirasakan--itu rasanya akan lebih mudah. Betul kan?

Pandemi ini banyak bikin orang stress, tertekan. Tidak cuma yang di kota, di desa-desa juga jadi tertekan karena diminta untuk pakai masker dan sebagainya. Merasa rasa di kampungnya tidak ada apa-apa, tapi anjuran pakai masker harus mereka lakukan. Kebijakan itu cukup masuk akal sebagai bentuk antisipasi agar pergerakan manusia dari kota ke desa--atau sebaliknya--tidak membawa virus. Kita tahu bahwa virus ini tidak kelihatan, dan bisa cepat sekali menular ke manusia--pasca Desember 2019 lalu. 

Untuk hidup damai di masa krisis, maka menulis dapat jadi solusi. Julia Novrita dan kawan-kawannya telah melakukannya dengan baik. Buku pertamanya telah jadi, dan kini menuju buku kedua. Luar biasa. Jangan bayangkan buku itu terbit dengan eksemplar yang wah kemudian dipajang di toko buku besar. Ini hanya usaha kecil tapi berdampak besar bagi komunitas. Bisa dibayangkan jika tidak komunitas yang tersebar di Indonesia ini masing-masing juga berinisiatif untuk "melakukan sesuatu", seperti menulis, maka pasti akan banyak sekali amal produktif yang kita punya. Wabilkhusus banyak karya akan terlahir di masa pandemi.     

Apa yang dilakukan oleh para penulis perempuan tersebut adalah bagian dari upaya untuk menjaga agar tubuh tetap sehat dan pikiran juga sehat. Memang betul, sebuah perasaan jika telah tertumpah--misalnya di tulisan--dampaknya hati akan terasa lebih plong, dan plong itu membuat orang bahagia. Apalagi jika ada apresiasi dari sesama. Sebagai laki-laki saya merasa sangat beruntung dapat mendengarkan cerita dari para penulis perempuan tersebut sekaligus berharap semoga teman-temanku yang lainnya juga berinisiatif melakukan hal yang sama.*

Depok, 27 Sept 2020

No comments:

Post a Comment

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...