Saturday, April 17, 2021

Pahlawan Nasional untuk Profesor Rasyidi


Sebelum mengikuti rapat Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI Pusat, saya beruntung membuka WA dan menyempatkan hadir pada kajian Kapita Selekta Dakwah (12/4/2021) dengan fokus pada tokoh intelektual Indonesia Prof. HM. Rasyidi (1915-2001). Hadir para tokoh seperti Prof Yusril Ihza Mahendra, Ust Lukman Hakiem, Ust M. Habib Chirzin, Prof Sudarnoto A. Hakim, dan lain sebagainya.

Satu hal yang perlu kita sadari bersama adalah, Indonesia ini sarat dengan para tokoh pejuang yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk kejayaan bangsa kita. Maka, kepahlawanan sebenarnya telah hadir dan terus hadir dalam relung pikiran dan hati masyarakat Indonesia. Selanjutnya, pemerintah dapat mempertimbangkan segala sesuatunya agar para tokoh pejuang tsb dapat diakui sebagai pahlawan nasional.
Saya mengenal nama Prof Rasyidi dari buku-buku terbitan Dewan Da'wah, sebuah organisasi Islam modern yg berdiri pada 1967. Pendirinya tokoh besar Islam, Mohammad Natsir. Sering main ke toko buku DDII dan membeli berbagai buku di sekitaran Pasar Senen dan Kwitang memperkaya khazanah saya terkait tokoh Islam Indonesia yang berjuang untuk bangsa.
Ketika nama Prof Rasyidi hendak diusulkan sebagai pahlawan nasional, saya setuju dengan itu. Pertama, beliau ada Menteri Agama pertama dalam sejarah Indonesia yang diangkat pada tanggal 3 Januari 1946 berdasarkan maklumat Pemerintah Republik Indonesia tentang berdirinya Kementerian Agama RI. Kehadiran Kemenag dalam sejarah Indonesia sangat penting mengingat masyarakat Indonesia dikenal religius, maka regulasi terkait keagamaan juga harus diatur sedemikian rupa agar keberagamaan dapat seiring sejalan dgn kebangsaan.
Kedua, Prof Rasyidi adalah tipikal intelektual muslim Indonesia yang produktif belajar di dalam dan luar negeri serta berkontribusi dalam diskursus Islam di Indonesia. Lelaki kelahiran Kotagede 1915 tsb bersekolah mulai dari Kotagede berlanjut sampai ke Al-Irsyad, Jawa Timur (di bawah asuhan Syekh Ahmad Surkati), Darul Ulum Mesir (di bawah manajemen Al-Azhar), Universitas Kairo, dan tamat doktor dari Universitas Sorbonne Paris pada 1956. Tidak hanya belajar, tapi ia juga mengaplikasikan ilmunya dalam berbagai bentuk, mulai ceramah, kajian, bahan kuliah, hingga menerebitkan berbagai buku.
Kurang lebih ada 22 bukunya yang telah terbit, meliputi karya sendiri atau terjemahan karya tokoh dunia seperti Maurice Bucaille, Roger Garaudy, Dr. Marcel Boisard, dan Titus cs. Bagi mereka yang rajin beli buku terbitan Bulan Bintang, pasti akan bertemu dgn buku-buku tsb. Kontribusinya dalam ilmu pengetahuan juga terlihat dalam posisinya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam, yang diangkat pada 20 April 1968.
Ketiga, Prof Rasyidi adalah diplomat Indonesia yang terlibat dalam upaya pengakuan kedaulatan Indonesia yang saat itu bersama dengan berbagai tokoh seperti H. Agus Salim. Dampak dari diplomasi itu selanjutnya adalah Konferensi Meja Bundar yang digelar di gedung Parlemen Belanda, Den Haag, 2 November 1949.
Isi perjanjian tsb dalam ejaan lama adalah sebagai berikut: (1) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, (2) Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland, dan (3) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Beliau juga pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Arab Saudi (1950-1951), Dubes Indonesia untuk Mesir (1950-1951), Dubes Indonesia untuk Iran (1952-1954), dan Dubes Indonesia untuk Pakistan (1956-1958). Dari berbagai jejak penugasan tsb tentu saja tidak diragukan lagi kontribusi Profesor Rasyidi bagi Indonesia.
Keempat, masyarakat Indonesia kontemporer membutuhkan teladan orang jenius yang sederhana, jujur, dan amanah. Profil tersebut ada dalam diri Prof Rasyidi. Berbagai kasus korupsi di negeri ini--yang parahnya dilakukan oleh orang-orang baik--adalah menjadi tanda bahwa ada yang problematik dalam negeri ini. Kepandaian dan kesuksesan--atau terlihat sukses--saja tidak cukup untuk menjadi pejabat Indonesia. Maka, dibutuhkan karakter personal yang kuat--dgn sifat jujur, amanah, sekaligus sederhana--agar dapat jadi teladan bagi banyak orang, terutama generasi muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.
Beberapa fakta di atas saya kira dapat menjadi masukan untuk rencana pengusulan Profesor Rasyidi sebagai pahlawan nasional. Orang-orang terbaik seperti beliau sangat sayang jika tidak dijadikan patron bagi anak bangsa. Maka, sudah saatnya negara memberikan sematan pahlawan nasional untuk Profesor Rasyidi--walaupun sangat mungkin beliau juga tidak berjuang untuk disebut dengan gelar tsb--sekaligus di tingkat masyarakat juga menghadirkan kembali kajian dan peneladanan terhadap tokoh bangsa Indonesia di masa lalu.
Teladan terhadap pejuang terdahulu adalah pertanda bahwa perjuangan kita saat ini untuk bangsa dan negara adalah satu rangkaian dgn perjuangan para pendahulu. Jangan sampai kita terputus dgn masa lalu. Maka, apresiasi terhadap masa lalu sembari mempersiapkan masa depan sangat kita butuhkan di Indonesia kontemporer. *

Diplomasi Majelis Ulama Indonesia


“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujarat: 13)

Islam adalah agama paripurna yang mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi, private maupun publik, komunitas maupun bangsa, singkatnya: untuk semua manusia. Tabiat Islam sebagai agama perdamaian itu disebarkan oleh para ulama dari satu kota ke kota lainnya, dari satu benua ke benua lainnya, hingga saat ini Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Sebagai agama perdamaian dunia, Islam tidak terlepas dari konsep wasathiyatul Islam dan Islam rahmatan lil’alamin, yakni Islam sebagai ajaran yang pertengahan serta ajaran yang ditujukan untuk seluruh umat manusia di alam ini. Dalam konteks diplomasi, diplomasi yang dilakukan oleh umat Islam, baik dalam konteks first track diplomacy (government to government) atau second track diplomacy (government to government/people to people relations), tidak terlepas dari bagaimana Islam disebarkan dengan paradigma Wasathiyatul Islam dan rahmat bagi seluruh alam.
Wahyu yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad SAW mengandung petunjuk agar orang-orang beriman masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan hidup harmoni dalam bingkai kemajemukan umat manusia.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Terhadap ayat di atas, para ulama tafsir memaknai kata al-silmi dengan dua makna, yaitu Islam dan perdamaian. Itu artinya bahwa Islam dan perdamaian adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Berislam tanpa mengedepankan perdamaian dengan orang lain--terlebih dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, berbeda agama--sama saja dengan mengingkari identitas agama Islam itu sendiri yang merupakan agama perdamaian.
Mufasir Al-Qur’an M. Quraish Shihab berkomentar terhadap ayat di atas, bahwa menurutnya, agama Islam adalah agama yang mendamaikan, menyelamatkan, lezat dan nikmat, mudah dan tidak mempersulit, ringan dan tidak memberatkan, menyenangkan dan tidak menakutkan. Pernyataan ini kembali menguatkan bahwa Islam dan perdamaian adalah dua makna dari kata al-silmi, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, saling berkelindan.
Dalam konteks Islam kaffah itu, Islam mengajarkan kepada seluruh manusia untuk saling mengenal. Perkenalan antarbangsa pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan saling pengertian dan saling membantu antarbangsa di dunia. Perbedaan yang ada—baik itu genetik, fisik, sejarah, lingkungan alam—adalah keniscayaan yang harus diterima, dan menjadi ciri khas dari tiap umat.
Surat Al-Hujarat ayat 13 mengandung pesan bahwa semua manusia yang sangat diverse dituntut untuk saling mengenal untuk sama-sama memakmurkan bumi dan menciptakan perdamaian secara global. Dalam proses menjadi pemakmur bumi, atau khalifah fil ardhi, pemimpin di atas bumi, umat Islam diajarkan untuk berperan sebagai umat yang pertengahan. Tidak terjebak dalam ekstremitas di kiri atau kanan. Islam menjadi penengah dan itulah yang disebarkan oleh para ulama dari dulu sampai sekarang.
Dalam konteks Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dipahami bahwa Islam merupakan agama rahmat dan rasa kasih sayang Allah swt kepada seluruh alam semesta. Rahmat tersebut merupakan milik Allah swt dan diturunkan melalui Islam. Memahami konsep Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai konsep dasar dalam agama Islam tersebut akan menambah pengetahuan sekaligus beberapa manfaat. Antara lain kembalinya keindahan Islam yang sudah lama meredup. Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat bagi alam, tidak hanya untuk muslim, tapi juga untuk semuanya. Di dalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Berpijak pada pemahaman ini, maka bentuk diplomasi umat Islam ditujukan sebagai rahmat bagi semua manusia. “Salah satu bagian diplomasi yang sering dilakukan Nabi Muhammad ialah pribadi yang tidak pernah bosan menghampiri umatnya,” tulis Professor Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Ditolak dengan satu cara, ditempuh lagi cara-cara lain sehingga mengundang empati. Meskipun Nabi tidak bisa membaca dan menulis, tetapi ia amat cerdas memilih Zaid ibn Tsabit sebagai sekretaris pribadi yang terkenal sebagai ahli bahasa-bahasa asing dunia saat itu.
Pada tahun 2021, dalam ranah luar negeri MUI berfokus pada beberapa hal sebagai berikut. Pertama, perluasan jaringan kerja sama kelembagaan dengan lembaga fatwa, ulama, cendekiawan muslim di berbagai negara Islam dan internasional. Saat ini tengah digagas perwakilan MUI di beberapa negara di luar negeri dengan tetap menjalin kemitraan dengan KBRI setempat agar sinergis satu dengan lainnya dalam konteks diplomasi Indonesia.
Dalam memperkuat kerja sama internasional guna peningkatan SDM, MUI juga bernisiatif untuk memfasilitasi beasiswa bagi peserta didik asing dari negara konflik. Sebelumnya, bermitra dengan Kantor Wapres, MUI telah mengadakan berbagai penguatan kapasitas dan pendidikan bagi siswa asal Afghanistan. Sejalan dengan itu, pelatihan dakwah di medsos juga diharapkan memberikan keterampilan dalam mempromosikan wasathiyatul Islam dengan pengalaman Indonesia ke tingkat yang lebih luas.
Secara berkala, MUI juga memberikan pernyataan sikap terkait isu-isu keumatan di dunia Islam. Kajian-kajian tersebut memetakan berbagai problem dunia Islam dan respon terkait isu-isu tersebut. Kajian terhadap isu dunia Islam global sangat penting agar mendapatkan peta yang terjadi tiap region. Peta itu berguna dalam merumuskan berbagai respons terhadap kebijakan yang berdampak pada umat Islam.
MUI juga akan menggelar Konferensi Ulama Asia untuk Perdamaian Afghanistan dengan tujuan agar terbangun mutual trust dan confidence di antara pihak-pihak yang berkonflik di "negeri para mullah" tersebut. Selain itu, agar tersedia wahana bagi para pihak yang berkonflik untuk berdialog secara damai. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia--dengan melibatkan NU dan MUI--aktif dalam membantu perdamaian di sana.
Beberapa waktu lalu, Pak Jusuf Kalla bersama delegasi MUI juga berkunjung selama beberapa hari ke Kabul (Afghanistan) yang tidak saja untuk menghentikan konflik dan membangun perdamaian, akan tetapi juga diharapkan bisa menjadi kontribusi penting terwujudnya tatanan dunia yang damai dan aman. Forum tersebut diikuti oleh Prof Sudarnoto A. Hakim, KH. Muhyiddin Junaidy, Prof Hamid Awaluddin, dan berbagai utusan Indonesia lainnya.
Prof. Sudarnoto A. Hakim menulis, "Antusiasme Afghanistan paling tidak yang ditunjukkan Presiden Afghanistan, sejumlah menteri, ketua umum majelis tinggi untuk rekonsiliasi Afghanistan, penasehat presiden untuk keamanan nasional, para ulama, aktivis dan tokoh perempuan, sangatlah terasa. Harapan kepada bangsa Indonesia untuk memainkan peran strategis perdamaian di Afghanistan sangatlah besar."
Kontribusi Indonesia dalam membantu Palestina juga tidak berhenti. Sejak dulu sampai sekarang, isu Palestina tetap menjadi isu yang tak pernah usai. MUI juga aktif dalam membangun Rumah Sakit Indonesia di Hebron. Projek ini terus berjalan dengan menggandeng berbagai lembaga filantropi nasional dan internasional. *

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...