Sebelum mengikuti rapat Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI Pusat, saya beruntung membuka WA dan menyempatkan hadir pada kajian Kapita Selekta Dakwah (12/4/2021) dengan fokus pada tokoh intelektual Indonesia Prof. HM. Rasyidi (1915-2001). Hadir para tokoh seperti Prof Yusril Ihza Mahendra, Ust Lukman Hakiem, Ust M. Habib Chirzin, Prof Sudarnoto A. Hakim, dan lain sebagainya.
Satu hal yang perlu kita sadari bersama adalah, Indonesia ini sarat dengan para tokoh pejuang yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk kejayaan bangsa kita. Maka, kepahlawanan sebenarnya telah hadir dan terus hadir dalam relung pikiran dan hati masyarakat Indonesia. Selanjutnya, pemerintah dapat mempertimbangkan segala sesuatunya agar para tokoh pejuang tsb dapat diakui sebagai pahlawan nasional.
Saya mengenal nama Prof Rasyidi dari buku-buku terbitan Dewan Da'wah, sebuah organisasi Islam modern yg berdiri pada 1967. Pendirinya tokoh besar Islam, Mohammad Natsir. Sering main ke toko buku DDII dan membeli berbagai buku di sekitaran Pasar Senen dan Kwitang memperkaya khazanah saya terkait tokoh Islam Indonesia yang berjuang untuk bangsa.
Ketika nama Prof Rasyidi hendak diusulkan sebagai pahlawan nasional, saya setuju dengan itu. Pertama, beliau ada Menteri Agama pertama dalam sejarah Indonesia yang diangkat pada tanggal 3 Januari 1946 berdasarkan maklumat Pemerintah Republik Indonesia tentang berdirinya Kementerian Agama RI. Kehadiran Kemenag dalam sejarah Indonesia sangat penting mengingat masyarakat Indonesia dikenal religius, maka regulasi terkait keagamaan juga harus diatur sedemikian rupa agar keberagamaan dapat seiring sejalan dgn kebangsaan.
Kedua, Prof Rasyidi adalah tipikal intelektual muslim Indonesia yang produktif belajar di dalam dan luar negeri serta berkontribusi dalam diskursus Islam di Indonesia. Lelaki kelahiran Kotagede 1915 tsb bersekolah mulai dari Kotagede berlanjut sampai ke Al-Irsyad, Jawa Timur (di bawah asuhan Syekh Ahmad Surkati), Darul Ulum Mesir (di bawah manajemen Al-Azhar), Universitas Kairo, dan tamat doktor dari Universitas Sorbonne Paris pada 1956. Tidak hanya belajar, tapi ia juga mengaplikasikan ilmunya dalam berbagai bentuk, mulai ceramah, kajian, bahan kuliah, hingga menerebitkan berbagai buku.
Kurang lebih ada 22 bukunya yang telah terbit, meliputi karya sendiri atau terjemahan karya tokoh dunia seperti Maurice Bucaille, Roger Garaudy, Dr. Marcel Boisard, dan Titus cs. Bagi mereka yang rajin beli buku terbitan Bulan Bintang, pasti akan bertemu dgn buku-buku tsb. Kontribusinya dalam ilmu pengetahuan juga terlihat dalam posisinya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam, yang diangkat pada 20 April 1968.
Ketiga, Prof Rasyidi adalah diplomat Indonesia yang terlibat dalam upaya pengakuan kedaulatan Indonesia yang saat itu bersama dengan berbagai tokoh seperti H. Agus Salim. Dampak dari diplomasi itu selanjutnya adalah Konferensi Meja Bundar yang digelar di gedung Parlemen Belanda, Den Haag, 2 November 1949.
Isi perjanjian tsb dalam ejaan lama adalah sebagai berikut: (1) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, (2) Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland, dan (3) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Beliau juga pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Arab Saudi (1950-1951), Dubes Indonesia untuk Mesir (1950-1951), Dubes Indonesia untuk Iran (1952-1954), dan Dubes Indonesia untuk Pakistan (1956-1958). Dari berbagai jejak penugasan tsb tentu saja tidak diragukan lagi kontribusi Profesor Rasyidi bagi Indonesia.
Keempat, masyarakat Indonesia kontemporer membutuhkan teladan orang jenius yang sederhana, jujur, dan amanah. Profil tersebut ada dalam diri Prof Rasyidi. Berbagai kasus korupsi di negeri ini--yang parahnya dilakukan oleh orang-orang baik--adalah menjadi tanda bahwa ada yang problematik dalam negeri ini. Kepandaian dan kesuksesan--atau terlihat sukses--saja tidak cukup untuk menjadi pejabat Indonesia. Maka, dibutuhkan karakter personal yang kuat--dgn sifat jujur, amanah, sekaligus sederhana--agar dapat jadi teladan bagi banyak orang, terutama generasi muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.
Beberapa fakta di atas saya kira dapat menjadi masukan untuk rencana pengusulan Profesor Rasyidi sebagai pahlawan nasional. Orang-orang terbaik seperti beliau sangat sayang jika tidak dijadikan patron bagi anak bangsa. Maka, sudah saatnya negara memberikan sematan pahlawan nasional untuk Profesor Rasyidi--walaupun sangat mungkin beliau juga tidak berjuang untuk disebut dengan gelar tsb--sekaligus di tingkat masyarakat juga menghadirkan kembali kajian dan peneladanan terhadap tokoh bangsa Indonesia di masa lalu.
Teladan terhadap pejuang terdahulu adalah pertanda bahwa perjuangan kita saat ini untuk bangsa dan negara adalah satu rangkaian dgn perjuangan para pendahulu. Jangan sampai kita terputus dgn masa lalu. Maka, apresiasi terhadap masa lalu sembari mempersiapkan masa depan sangat kita butuhkan di Indonesia kontemporer. *