“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujarat: 13)
Islam adalah agama paripurna yang mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi, private maupun publik, komunitas maupun bangsa, singkatnya: untuk semua manusia. Tabiat Islam sebagai agama perdamaian itu disebarkan oleh para ulama dari satu kota ke kota lainnya, dari satu benua ke benua lainnya, hingga saat ini Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Sebagai agama perdamaian dunia, Islam tidak terlepas dari konsep wasathiyatul Islam dan Islam rahmatan lil’alamin, yakni Islam sebagai ajaran yang pertengahan serta ajaran yang ditujukan untuk seluruh umat manusia di alam ini. Dalam konteks diplomasi, diplomasi yang dilakukan oleh umat Islam, baik dalam konteks first track diplomacy (government to government) atau second track diplomacy (government to government/people to people relations), tidak terlepas dari bagaimana Islam disebarkan dengan paradigma Wasathiyatul Islam dan rahmat bagi seluruh alam.
Wahyu yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad SAW mengandung petunjuk agar orang-orang beriman masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan hidup harmoni dalam bingkai kemajemukan umat manusia.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Terhadap ayat di atas, para ulama tafsir memaknai kata al-silmi dengan dua makna, yaitu Islam dan perdamaian. Itu artinya bahwa Islam dan perdamaian adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Berislam tanpa mengedepankan perdamaian dengan orang lain--terlebih dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, berbeda agama--sama saja dengan mengingkari identitas agama Islam itu sendiri yang merupakan agama perdamaian.
Mufasir Al-Qur’an M. Quraish Shihab berkomentar terhadap ayat di atas, bahwa menurutnya, agama Islam adalah agama yang mendamaikan, menyelamatkan, lezat dan nikmat, mudah dan tidak mempersulit, ringan dan tidak memberatkan, menyenangkan dan tidak menakutkan. Pernyataan ini kembali menguatkan bahwa Islam dan perdamaian adalah dua makna dari kata al-silmi, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, saling berkelindan.
Dalam konteks Islam kaffah itu, Islam mengajarkan kepada seluruh manusia untuk saling mengenal. Perkenalan antarbangsa pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan saling pengertian dan saling membantu antarbangsa di dunia. Perbedaan yang ada—baik itu genetik, fisik, sejarah, lingkungan alam—adalah keniscayaan yang harus diterima, dan menjadi ciri khas dari tiap umat.
Surat Al-Hujarat ayat 13 mengandung pesan bahwa semua manusia yang sangat diverse dituntut untuk saling mengenal untuk sama-sama memakmurkan bumi dan menciptakan perdamaian secara global. Dalam proses menjadi pemakmur bumi, atau khalifah fil ardhi, pemimpin di atas bumi, umat Islam diajarkan untuk berperan sebagai umat yang pertengahan. Tidak terjebak dalam ekstremitas di kiri atau kanan. Islam menjadi penengah dan itulah yang disebarkan oleh para ulama dari dulu sampai sekarang.
Dalam konteks Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dipahami bahwa Islam merupakan agama rahmat dan rasa kasih sayang Allah swt kepada seluruh alam semesta. Rahmat tersebut merupakan milik Allah swt dan diturunkan melalui Islam. Memahami konsep Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai konsep dasar dalam agama Islam tersebut akan menambah pengetahuan sekaligus beberapa manfaat. Antara lain kembalinya keindahan Islam yang sudah lama meredup. Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat bagi alam, tidak hanya untuk muslim, tapi juga untuk semuanya. Di dalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Berpijak pada pemahaman ini, maka bentuk diplomasi umat Islam ditujukan sebagai rahmat bagi semua manusia. “Salah satu bagian diplomasi yang sering dilakukan Nabi Muhammad ialah pribadi yang tidak pernah bosan menghampiri umatnya,” tulis Professor Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Ditolak dengan satu cara, ditempuh lagi cara-cara lain sehingga mengundang empati. Meskipun Nabi tidak bisa membaca dan menulis, tetapi ia amat cerdas memilih Zaid ibn Tsabit sebagai sekretaris pribadi yang terkenal sebagai ahli bahasa-bahasa asing dunia saat itu.
Pada tahun 2021, dalam ranah luar negeri MUI berfokus pada beberapa hal sebagai berikut. Pertama, perluasan jaringan kerja sama kelembagaan dengan lembaga fatwa, ulama, cendekiawan muslim di berbagai negara Islam dan internasional. Saat ini tengah digagas perwakilan MUI di beberapa negara di luar negeri dengan tetap menjalin kemitraan dengan KBRI setempat agar sinergis satu dengan lainnya dalam konteks diplomasi Indonesia.
Dalam memperkuat kerja sama internasional guna peningkatan SDM, MUI juga bernisiatif untuk memfasilitasi beasiswa bagi peserta didik asing dari negara konflik. Sebelumnya, bermitra dengan Kantor Wapres, MUI telah mengadakan berbagai penguatan kapasitas dan pendidikan bagi siswa asal Afghanistan. Sejalan dengan itu, pelatihan dakwah di medsos juga diharapkan memberikan keterampilan dalam mempromosikan wasathiyatul Islam dengan pengalaman Indonesia ke tingkat yang lebih luas.
Secara berkala, MUI juga memberikan pernyataan sikap terkait isu-isu keumatan di dunia Islam. Kajian-kajian tersebut memetakan berbagai problem dunia Islam dan respon terkait isu-isu tersebut. Kajian terhadap isu dunia Islam global sangat penting agar mendapatkan peta yang terjadi tiap region. Peta itu berguna dalam merumuskan berbagai respons terhadap kebijakan yang berdampak pada umat Islam.
MUI juga akan menggelar Konferensi Ulama Asia untuk Perdamaian Afghanistan dengan tujuan agar terbangun mutual trust dan confidence di antara pihak-pihak yang berkonflik di "negeri para mullah" tersebut. Selain itu, agar tersedia wahana bagi para pihak yang berkonflik untuk berdialog secara damai. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia--dengan melibatkan NU dan MUI--aktif dalam membantu perdamaian di sana.
Beberapa waktu lalu, Pak Jusuf Kalla bersama delegasi MUI juga berkunjung selama beberapa hari ke Kabul (Afghanistan) yang tidak saja untuk menghentikan konflik dan membangun perdamaian, akan tetapi juga diharapkan bisa menjadi kontribusi penting terwujudnya tatanan dunia yang damai dan aman. Forum tersebut diikuti oleh Prof Sudarnoto A. Hakim, KH. Muhyiddin Junaidy, Prof Hamid Awaluddin, dan berbagai utusan Indonesia lainnya.
Prof. Sudarnoto A. Hakim menulis, "Antusiasme Afghanistan paling tidak yang ditunjukkan Presiden Afghanistan, sejumlah menteri, ketua umum majelis tinggi untuk rekonsiliasi Afghanistan, penasehat presiden untuk keamanan nasional, para ulama, aktivis dan tokoh perempuan, sangatlah terasa. Harapan kepada bangsa Indonesia untuk memainkan peran strategis perdamaian di Afghanistan sangatlah besar."
Kontribusi Indonesia dalam membantu Palestina juga tidak berhenti. Sejak dulu sampai sekarang, isu Palestina tetap menjadi isu yang tak pernah usai. MUI juga aktif dalam membangun Rumah Sakit Indonesia di Hebron. Projek ini terus berjalan dengan menggandeng berbagai lembaga filantropi nasional dan internasional. *
No comments:
Post a Comment