Thursday, December 23, 2021

Mengenang Masa Lalu

Tadi saya lihat video kakak saya yang berziarah ke makam nenek di Lampung. Saya jadi teringat dengan nenek saya. Beliau sangat aktif dalam mengusahakan agar kami bisa kenal dengan keluarga besar. Saya merasa itu pelajaran paling berharga dari nenekku. 

Tadi juga saya lihat video kakek saya (abo) yang terbaring di Lampung. Istriku yang menyampaikan tentang itu. Kebetulan saya tidak sempat buka video yang diupload di grup. Saat istriku bertanya, "abo kenapa?" Saya bertanya balik, "maksudnya gmn?" Ternyata, ada video beliau susah berbicara. Hanya tiduran. Di situ ada kakak saya juga yang menyempatkan ke rumah di Bandar Jaya di sela-sela ikut Muktamar ke-34 NU. 

Saat nulis ini saya baru saja selesai rapat panitia Pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Hebron, Palestina. Setahun terakhir saya aktif di MUI dan terlibat dalam pembangunan RSIH. Di malam ini saya jadi teringat dengan masa lalu, terutama keluargaku, dan juga rencana masa depanku dan keluargaku. Dalam waktu paling dekat, satu tahun ini saya harus bisa menyelesaikan studi S3. Ini sudah tahun ke-5. Saya merasa harus betul-betul berjuang untuk menuntaskan itu. Itulah kenapa saya banyak keluar dari berbagai WAG, dan mulai membatasi pertemuan dengan banyak orang. 

Saya sebenarnya ingin sekali berlari untuk menyelesaikan studi ini. Tapi entah kenapa jalannya agak pelan. Kendala memang ada, tapi saya rasa tidak boleh saya mengkambinghitamkan masalah. Saya harus bisa menuntaskan apa yang telah saya mulai. Apalagi menjelang usia 40 tahun nanti, saya merasa harus betul-betul menemukan diri saya dan fokus saya ke mana. Semoga Allah SWT menunjukkan saya jalan-Nya dan memudahkanku dalam meniti cita-cita agar bisa selesai S3 dengan sebaik-baiknya dan dapat bermanfaat untuk banyak orang. 

Malam ini saya ingin menguatkan kembali tekadku untuk menuntaskan disertasi dengan momentum mengenang masa lalu, mengenang keluargaku. Saya juga harus memperjuangkan keluarga kecilku. Sebagai ayah dari 5 anakku dan suami saya ingin sekali menjadi yang terbaik. Insya Allah saya akan berusaha untuk terus jadi yang terbaik..

Wednesday, December 1, 2021

Di Hari Tua, Orang Tertarik Wakaf Pendidikan

Beberapa tahun terakhir ada fenomena menarik yang saya amati, yakni ketertarikan sebagian orang tua mewakafkan sebagian asetnya untuk dibangun lembaga pendidikan. Khusus yang saya tahu, cukup banyak yang ingin membangun sekolah agama, mulai dari rumah tahfizh sampai perguruan tinggi Islam.

Sebab ketertarikan pada wakaf pendidikan tersebut sangat mungkin didasari oleh beberapa pemikiran. Pertama, pahala wakafnya mengalir dalam jangka panjang. Orang Islam khususnya meyakini bahwa ketika hartanya disedekahkan atau diwakafkan kemudian harta itu dipergunakan untuk kebaikan, maka pahalanya akan mengalir juga kepada pewakaf tersebut.
Kedua, wakaf pendidikan berguna untuk membentuk manusia yang baik. Ada semacam kerinduan dalam hati untuk menciptakan banyak-banyak orang baik lewat lembaga pendidikan. Jika tidak bisa mendidik, setidaknya seseorang dapat berkontribusi dalam wakaf harta untuk itu. Artinya, semua yang terlihat di dalamnya adalah bagian dari pejuang-pejuang kemanusiaan untuk menciptakan manusia yang baik.
Beberapa tahun terakhir saya kerap mendengar soal tren orang tua yang mewakafkan sebagian hartanya untuk pendirian rumah tahfizh atau sekolah (dasar sampai tinggi). Seseorang bercerita di rumah saya, bahwa di Jakarta dan sekitarnya ada banyak tanah yang kabarnya mau diwakafkan untuk rumah tahfizh. Mereka orang kaya (aghniya') yang ingin lebih religius dan memilih untuk berkontribusi dalam pewakafan tersebut.
Seorang lainnya bercerita di rumah saya, bahwa kakeknya juga mewakafkan hartanya untuk pesantren. Sang kakek sudah lama ingin tanahnya itu dipergunakan untuk sekolah Islam. Logika sang kakek, jika ia telah tiada, maka harapannya amal baiknya itu dapat terus mengalir, dan kebaikan akan ia dapatkan.
Ketika berkunjung ke suatu daerah, saya bertemu beberapa pimpinan pesantren. Usianya masih muda, 30-an awal. Mereka bercerita bahwa saat ini banyak tanah yang mau diwakafkan, akan tetapi terkendala pada manajemen. Jadi, potensi tanah wakaf itu ada cuma yayasan atau manajemennya yang tidak tersedia. Berarti ada disparitas antara potensi wakaf dengan pengelola wakaf.
Pada kesempatan lainnya, di sebuah masjid pada Ramadhan yang mulia, saya dapat cerita bahwa beberapa profesor di universitas juga mulai tertarik membuat rumah tahfizh, pesantren, atau perguruan tinggi. Logikanya, setelah mereka pensiun dari universitas, mereka akan jadi orang biasa kembali, dan rasanya teramat sayang kalau hanya duduk-duduk menikmati masa pensiun tanpa ada legacy yang berjangka panjang.
Saat saya SD, saya juga dapat cerita, seorang nenek yang mewakafkan tanahnya untuk masjid. Di zaman itu, rumah-rumah masih jarang, rumput masih pada tinggi-tinggi. Sang nenek sudah terpikir untuk menjadikan tanahnya sebagai masjid. Kini, tanah itu sudah jadi masjid dipakai untuk kegiatan keagamaan masyarakat sekitar.
Fenomena orang tua yang ingin mewakafkan tanahnya untuk lembaga pendidikan itu menjelaskan betapa dermawannya orang Indonesia. Walau hidup mereka tidak kaya tapi mereka mau menyumbangkan asetnya untuk pendidikan jangka panjang. Mereka adalah pribadi-pribadi luar biasa yang mungkin walau tidak dikenal tapi berdampak bagi terciptanya manusia
terbaik
melalui wakaf tanah untuk kepentingan jangka panjang.
Depok, 1 Desember 2021
* Foto bersama Ust Munawwar Khalil, Pimpinan Pesantren Madinah Qur'an, sebuah pesantren tahfizh berusia 5 tahun di Kab. Sidrap, Sulsel dgn sekitar 70 santri. Silaturahmi di rumah saya dan berlanjut di Masjid Al-Ikhlas dekat rumah.

Kazakhstan from the Eyes of Indonesia: Understanding and Enhancing Long-Term Partnerships

Kazakhstan is known as the ‘Heart of Asia’. A country that is locked by the largest land in the world located in Central Asia. Kazakhstan is...