Beberapa tahun terakhir ada fenomena menarik yang saya amati, yakni ketertarikan sebagian orang tua mewakafkan sebagian asetnya untuk dibangun lembaga pendidikan. Khusus yang saya tahu, cukup banyak yang ingin membangun sekolah agama, mulai dari rumah tahfizh sampai perguruan tinggi Islam.
Sebab ketertarikan pada wakaf pendidikan tersebut sangat mungkin didasari oleh beberapa pemikiran. Pertama, pahala wakafnya mengalir dalam jangka panjang. Orang Islam khususnya meyakini bahwa ketika hartanya disedekahkan atau diwakafkan kemudian harta itu dipergunakan untuk kebaikan, maka pahalanya akan mengalir juga kepada pewakaf tersebut.
Kedua, wakaf pendidikan berguna untuk membentuk manusia yang baik. Ada semacam kerinduan dalam hati untuk menciptakan banyak-banyak orang baik lewat lembaga pendidikan. Jika tidak bisa mendidik, setidaknya seseorang dapat berkontribusi dalam wakaf harta untuk itu. Artinya, semua yang terlihat di dalamnya adalah bagian dari pejuang-pejuang kemanusiaan untuk menciptakan manusia yang baik.
Beberapa tahun terakhir saya kerap mendengar soal tren orang tua yang mewakafkan sebagian hartanya untuk pendirian rumah tahfizh atau sekolah (dasar sampai tinggi). Seseorang bercerita di rumah saya, bahwa di Jakarta dan sekitarnya ada banyak tanah yang kabarnya mau diwakafkan untuk rumah tahfizh. Mereka orang kaya (aghniya') yang ingin lebih religius dan memilih untuk berkontribusi dalam pewakafan tersebut.
Seorang lainnya bercerita di rumah saya, bahwa kakeknya juga mewakafkan hartanya untuk pesantren. Sang kakek sudah lama ingin tanahnya itu dipergunakan untuk sekolah Islam. Logika sang kakek, jika ia telah tiada, maka harapannya amal baiknya itu dapat terus mengalir, dan kebaikan akan ia dapatkan.
Ketika berkunjung ke suatu daerah, saya bertemu beberapa pimpinan pesantren. Usianya masih muda, 30-an awal. Mereka bercerita bahwa saat ini banyak tanah yang mau diwakafkan, akan tetapi terkendala pada manajemen. Jadi, potensi tanah wakaf itu ada cuma yayasan atau manajemennya yang tidak tersedia. Berarti ada disparitas antara potensi wakaf dengan pengelola wakaf.
Pada kesempatan lainnya, di sebuah masjid pada Ramadhan yang mulia, saya dapat cerita bahwa beberapa profesor di universitas juga mulai tertarik membuat rumah tahfizh, pesantren, atau perguruan tinggi. Logikanya, setelah mereka pensiun dari universitas, mereka akan jadi orang biasa kembali, dan rasanya teramat sayang kalau hanya duduk-duduk menikmati masa pensiun tanpa ada legacy yang berjangka panjang.
Saat saya SD, saya juga dapat cerita, seorang nenek yang mewakafkan tanahnya untuk masjid. Di zaman itu, rumah-rumah masih jarang, rumput masih pada tinggi-tinggi. Sang nenek sudah terpikir untuk menjadikan tanahnya sebagai masjid. Kini, tanah itu sudah jadi masjid dipakai untuk kegiatan keagamaan masyarakat sekitar.
Fenomena orang tua yang ingin mewakafkan tanahnya untuk lembaga pendidikan itu menjelaskan betapa dermawannya orang Indonesia. Walau hidup mereka tidak kaya tapi mereka mau menyumbangkan asetnya untuk pendidikan jangka panjang. Mereka adalah pribadi-pribadi luar biasa yang mungkin walau tidak dikenal tapi berdampak bagi terciptanya manusia
terbaik
melalui wakaf tanah untuk kepentingan jangka panjang. Depok, 1 Desember 2021
* Foto bersama Ust Munawwar Khalil, Pimpinan Pesantren Madinah Qur'an, sebuah pesantren tahfizh berusia 5 tahun di Kab. Sidrap, Sulsel dgn sekitar 70 santri. Silaturahmi di rumah saya dan berlanjut di Masjid Al-Ikhlas dekat rumah.
No comments:
Post a Comment