Saat mengerjakan disertasi di Gedung Kristal Pengetahuan (Crystal of Knowledge) Perpustakaan UI, saya membuka email dan mendapatkan kiriman tulisan dari kawan advokat di Australia. Secara berkala, sang kawan mengirimkan analisisnya, yang terbaru terkait tuduhan bahwa PM. Scott Morrison anti-Muslim dalam statement dia terkait "kapitalisasi kekhawatiran dalam isu imigran Muslim."
Membaca analisis tersebut, selain jadi bisa menyambungkan keputusan Majelis Umum PBB untuk menetapkan 15 Maret sebagai "Hari Internasional Melawan Islamophobia", juga membawa pikiran saya pada satu jenis produktivitas yang dibutuhkan di zaman sekarang, yakni: berbagi tulisan.
Berbagi Tulisan
Selain rutin mendapatkan sharing tulisan dari Australia, saya juga beruntung rutin dapat tulisan dari Amerika, Spanyol dan Sri Lanka. Dari Amerika, saya dapat analisis terkait berbagai hal terkait dunia Islam dan dari Spanyol terkait aktivitas diplomatik sebagai "jembatan" bagi smart partnership antara Indonesia dan Spanyol. Dari Sri Lanka, saya rutin dapat sharing tulisan terkait interfaith-dialogue dan problematika internal, seperti yang terakhir soal krisis ekonomi terburuk sejak mereka merdeka dari Inggris pada 1948 yang berdampak pada pengunduran diri 26 menteri di bawah PM. Mahinda Rajapaksa dan Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Tulisan yang saya terima itu biasanya saya sempatkan baca dan renungkan. Saya berkeyakinan bahwa "sejarah itu berputar", apa yang terjadi satu kota bisa berpindah ke kota lain, bahkan apa yang terjadi pada satu peradaban bisa terjadi pula pada peradaban lainnya. Dalam kasus Sri Lanka misalnya, ketika Indonesia dilanda krisis 1998, ketika Suharto--atas desakan masyarakat--memintanya mundur, beliau kemudian membentuk Kabinet Reformasi, tapi 14 menterinya yang bergabung dalam Kabinet Pembangunan VII menolak bergabung. Apa yang terjadi di Sri Lanka sekarang (2022) dan Reformasi Indonesia (1998) tidak lepas dari "hukum alam", bahwa: krisis ekonomi berdampak signifikan pada krisis politik.
Terkadang, saat membaca satu tulisan, pikiran saya melayang pada potongan-potongan berita/tulisan yang pernah dibaca. Bahkan, tidak hanya itu, apa yang pernah dilihat dan dirasakan juga kadang muncul saat kita membaca satu tulisan. Saat mendengar kata "krisis", saya selalu ingat ketika di tahun terakhir jadi siswa di Jakarta, sedang naik Metromini yang mendekat ke Terminal Blok M dan membaca terjadinya konflik di satu tempat di Jakarta Timur yang tak lama setelah itu, butterfly effect-nya terjadi pula rusuh di tempat lain. Ada semacam relasi antarsatu peristiwa dan peristiwa lainnya, dan "relasi kausalitas" itu kerap muncul dalam konteks personal, komunal, dan "sivilisasional."
Berbagi tulisan itu membahagiakan. Lihatlah media baru seperti Twitter dan Facebook, orang tidak bosan-bosannya berbagi tulisan. Jika Twitter karakternya terbatas dan harus terpotong-potong, maka yang senang berbagi tulisan panjang bisa via Facebook. Atau, yang senang berbagi video juga membagikannya di Tiktok dan Youtube. Khusus Tiktok, berkembang sinergi antara konten dan tubuh. Artinya, orang tidak hanya berbagi pesan, tapi juga juga menghadirkan tubuh dengan gaya yang ekspresif-menarik.
Sejalan dengan budaya berbagi tulisan, saat ini kita betul-betul hidup di masa sharing pengetahuan yang massif. Saya rutin download buku dari salah satu website yang sangat menarik, mulai dari ensiklopedia sejarah, budaya, agama, konflik, perang, sampai pada buku how to dalam versi bahasa Inggris. Memang kadang "merasa berdosa" saat buku banyak tapi tidak dibaca. Untuk itu, saya kalau buka laptop selalu memikirkan juga--selain mengerjakan tugas wajib, disertasi--adalah membaca apa yang telah saya download. Setelah itu, saya catat poin pentingnya, saya renungkan, kemudian saya sinergi dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Berbagi Kristal Pengetahuan
Apa yang kita lihat, dengar, dan baca adalah pengetahuan. Tapi, pengetahuan itu hanya akan jadi batu biasa jika tidak diolah menjadi kristal-kristal yang indah. Pengolahan kristal pengetahuan itu membutuhkan waktu, renungan, dan "jam terbang." Anak SD, tentu akan kesulitan jika diminta menulis analisis tentang, misalnya "kenapa emak-emak harus mengular dalam antrian minyak goreng." Tapi, seorang sarjana--dengan "jam terbang"--dapat menganalisis itu menggunakan pisau analisis yang dia miliki, yang walau berbeda dengan ilmuwan lain, itu tetap akan memperkaya ranah tersebut.
Menjadikan pengetahuan biasa sebagai kristal pengetahuan membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan keberanian serta kemauan berbagi yang tinggi. Mengapa saat ini Google menjadi search engine paling diminati sejagad bumi? Adalah karena mereka berani berbagi. Kalau mereka mau menutupi pengetahuan--artinya hanya buat dia saja--maka itu tidak akan mendapatkan benefit buat mereka. Sebaliknya, ketika mereka berbagi pengetahuan, mereka mendapatkan benefit dalam produk lainnya; "rugi" di satu sisi tapi untung di sisi lainnya.
Saat berpuasa, kita pasti banyak pengalaman, mulai dari pengalaman sahur, baca Al Qur'an, sampai pada "jam-jam ngantuk" (biasanya pagi bakda subuh atau siang bakda zuhur). Waktu nyantri dulu, biasanya dari kamar saya mendengar pengajian siang ibu-ibu yang entah suaranya tembus dari Ciledug atau Cipulir yang tembus ke pekuburan di samping ma'had dan tiba di telinga saya. Saya senang mendengarnya, apalagi terkadang momen itu diselingi dengan suara seruling yang dimainkan kawan seperjuangan.
Pengalaman berpuasa itu sangat menarik. Ketika Coriza Irhamna, sarjana antropologi UGM berinisiatif membuat Obrolan Ramadan via Instagram @rumahproduktifindonesia, saya merasakan kebahagiaan saat bisa berbagi. Bahkan saat sedang bersama keluarga di Gandaria City Mall (Pakuwon Group), saya beruntung dapat menyempatkan hadir ngobrolin soal keutamaan makan sahur. Ringan tapi itu tidak sederhana. Artinya, pengalaman manusia serta aktivitas berbagi pengetahuan itu selalu kompleks, dan berbagi adalah cara untuk mengurai kompleksitas pengalaman manusia tersebut.
Akhirnya, semua kita yang memiliki pengetahuan, apalagi pengetahuan yang telah direnungkan dan diabstraksikan berbentuk "kristal pengetahuan" perlu berbagi kepada sesama. Berbagi adalah tradisi panjang umat manusia mulai dari umat pertama di Benua Afrika 200 ribu tahun lalu sampai pada imigrasi kawanan umat lainnya di berbagai tempat di planet bumi. Maka, soal "imigrasi"--seperti dalam konteks awal tulisan di atas--tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Mari tingkatkan produktivitas dalam berbagi kristal pengetahuan!
Depok, 5 April 2022