Pertemuan Syekh Ahmad At-Thayyeb dengan Pope Francis
(Foto: https://en.unesco.org/interculturaldialogue/news/537)
Dialog antaraagama adalah dialog antara tokoh-tokoh agama terkait masalah hubungan antaragama dengan tujuan untuk mendapatkan saling pemahaman, saling pengertian dan saling kerja sama dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, damai, harmonis dan bahagia. Dialog ini pada perkembangannya tidak berhenti pada soal agama tapi juga meluas pada tema-tema kebangsaan dan tema-tema global, seperti dalam event G20 yang juga melibatkan para tokoh agama untuk membahas problematika global dari basis keagamaan.
Menurut saya, dialog antaragama akan sukses jika di dalamnya ada beberapa syarat. Syarat pertama dialog antaragama adalah adanya visi kebangsaan yang hendak menciptakan kerukunan antarpemeluk agama. Bangsa yang memiliki visi ini akan mengupayakan pertemuan-pertemuan antaragama agar terjadi kesalingpemahaman terkait posisi tiap agama dan bagaimana berinteraksi dalam perbedaan. Dialog tidak bermaksud untuk menyatukan pemahaman yang berbeda, tapi untuk mencari titik-temu relasi sosial yang harmonis berbasis pada agama.
Titik-temu tersebut dapat berupaya dialog berkelanjutan, solidaritas sosial dan pendidikan kepada masing-masing pemeluk agar tidak saling mengganggu. Jika ada gangguan--internal atau eksternal--maka tokoh agama diharapkan dapat menghadirkan solusi yang menguntungkan semua pihak sebagai warga bangsa. Visi ini tercermin dalam sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang bersifat transendental dan sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab" yang bersifat horizontal.
Jika relasi antaragama itu rukun, maka relasi kebangsaan juga akan rukun. Pernyataan Wapres KH. Ma'ruf Amin saat menyusuri Terowongan Silaturahmi antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral, Jakarta (27 Agustus 2021) menarik; ada relasi antara kerukunan antaragama dan kerukunan nasional. Bahwa "kerukunan harus kita bangun...kerukunan antar umat beragama merupakan unsur utama daripada kerukunan nasional." Beliau berpesan seperti amanat pendiri bangsa: "Persatuan Indonesia harus kita jaga dan pertahankan untuk Indonesia maju dan sejahtera." Perspektif kerukunan nasional berbasis kerukunan agama ini patut untuk jadi pegangan bahwa cara berpikir kita tidak semata-mata untuk kepentingan agama kita tapi juga untuk keutuhan bangsa, tanpa harus menyamakan keyakinan antaragama tentu saja.
Kehadiran tokoh agama yang mumpuni dan bijaksana juga bagian penting untuk terciptanya kerukunan. Tokoh agama berperan sangat penting dalam masyarakat Indonesia, mulai dari kelahiran sampai pada kematian. Tokoh agama dipercaya menjadi penguat masyarakat yang sedang sedih, berduka, atau agar kuat dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai keagamaan. Agama dipandang sebagai penguat jiwa manusia menghadapi berbagai malapetaka dan kesukaran hidup. Jika kita memiliki tokoh agama yang mumpuni dan bijaksana, itu menjadi modal besar bagi perdamaian. Program seperti Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) yang digagas Pemerintah Australia sejak 2002 adalah contoh baik dari kesadaran pentingnya peran tokoh agama dari kalangan muda untuk menciptakan masa depan antarnegara yang lebih baik.
Saat berdialog dengan tokoh agama Islam, Yahudi dan Kristen--dalam waktu berbeda (di rumah ibadah masing-masing) serta dalam waktu bersamaan (saat di salah satu gereja) di Pittsburgh (2019) saya mendapatkan semangat para tokoh agama untuk saling menjaga dan menghidupkan. Ketika sebuah masjid ditembak oleh neo-NAZI islamophobia Brenton Tarrant (lahir 1990 di Australia) di Christchurch, New Zealand yang menewaskan 51 Muslim (2019), masyarakat Yahudi dan Kristen Pittsburgh menjamin bahwa mereka akan menjaga masjid.
Pun demikian saat salah satu sinagog Pittsburgh ditembak nasionalis kulit putih, neo-NAZI Robert Gregory Bowers (lahir 1972, warga Baldwin, Pennsylvania, AS), kaum Muslim juga bersolidaritas dengan mengumpulkan donasi kepada masyarakat terdampak. Peran-peran ini tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya tokoh-tokoh agama yang mumpuni dan bijaksana. Kebencian Bowers kepada Yahudi terlihat dari bagaimana ia menulis (menggunakan akun 'onedingo') pandangannya terhadap Yahudi di sirkel-nya di salah satu website neo-NAZI, bahwa orang Yahudi darah dagingnya para roh jahat. Selain narasi kebencian kepada agama, Bowers juga tampaknya didasari oleh kebencian kepada orang asing.
Syarat lainnya, yakni kesamaan gagasan untuk meminimalisir potensi konflik antarpemeluk agama. Relasi antaragama di Indonesia fluktuatif, dan berpotensi untuk konflik dan integrasi. Potensi konflik ini sejak lama ada di sini, misalnya dari "politik misionaris" yang tidak hanya kepada masyarakat tidak beragama tapi kepada yang telah beragama (Islam).
Mengantisipasi potensi konflik, maka misionaris Portugis sekaligus co-founder Ordo Jesuit, Franciskus Xaverius (1506-1552), diberikan jalan oleh Sultan Khairun (w. 28 Feb 1570) dari Kesultanan Ternate untuk menjalankan misi kepada masyarakat yang belum beragama di daerah "moro"--umumnya di utara Pulau Halmahera, sekarang dilekatkan pada Kabupaten Morotai--dan tidak kepada masyarakat yang telah Islam--seperti di Ternate, Tidore, dan Bacan. Kebijakan tersebut didasari oleh pemahaman mendalam Khairun terhadap kemungkinan benturan jika terjadi kristenisasi di daerah yang telah Islam yang keislaman tersebut menyatu kuat dengan diri dan institusi Kesultanan Moloku Kie Raha.
Selanjutnya, perlu adanya suasana yang tepat untuk dialog. Suasana yang tepat sangat mendukung dalam kesuksesan dialog sebab masyarakat sangat dipengaruhi oleh suasana politik, tren dan relasi antaragama yang terbangun. Saat konflik, sangat sulit untuk melakukan dialog, kecuali setelah konflik mulai mereda atau sispair (gencatan senjata). Kasus kerusuhan di Maluku Utara misalnya--sebagai dampak dari kerusuhan Ambon, di awal-awal konflik sangat sulit mendamaikan dalam bentuk dialog antaragama.
Kendati sebab konfliknya tidak tunggal karena agama, tapi karena kesenjangan sosial (kaya-miskin), perebutan sumberdaya alam, pertikaian elite dan birokrasi yang dibungkus konflik agama, tapi masyarakat bawah melihatnya lebih pada agama. Artinya, pikiran mereka saat itu, adalah mereka diperangi karena agama atau permainan politik menggunakan agama. Tapi, orang sendiri tidak tahu siapa pemainnya, atau provokatornya, kecuali hanya merujuk pada Orde Baru.
Akibat dari konflik itu, orang berpikir untuk retaliasi (balas dendam). Retaliasi itu bertingkat-tingkat mulai dari: "balas yang setimpal" sampai pada "usir sampai habis". Tampaknya, ekspresi itu lebih didasarkan pada nafsu balas dendam ketimbang renungan terhadap kitab suci. Dalam Islam, seorang yang membunuh dapat di-qishash dengan dibunuh akan tetapi jika keluarganya memaafkan itu lebih baik. Artinya, memafkan dan menyakini bahwa takdir Allah pasti yang terbaik adalah lebih bijaksana dalam menyikapi konflik. Adapun para penyerang atau perusuh--dalam konteks apapun itu--perlu diajukan ke meja persidangan sebagai mekanisme pemutusan perkara yang kita sepakati dalam negara-bangsa.
Konflik Maluku Utara terjadi sekitar dua tahun (Agustus 1999-Juni 2001) dengan korban jiwa 2410 jiwa dan kerugian material yang cukup banyak di kalangan masyarakat biasa atau pasukan merah dan pasukan kuning dari kedua agama (saya memisahkan 'masyarakat biasa' dengan 'pasukan' sebab dalam faktanya tidak semua korban adalah pasukan, ada yang hanya orang biasa dengan tidak ada intensi menjadi pasukan atau bersenjata). Kehadiran negara (aparat keamanan) sebagai pihak ketiga cukup efektif untuk menurunkan eskalasi konflik. Pasca damai, memang masih ada riak kecil tapi tidak signifikan.
Satu hal yang jadi pertanyaan: adakah penyaluran motif balas dendam yang lebih positif daripada aksi untuk menghancurkan pihak lain? Maksudnya, adakah cara yang elegan untuk menyelesaikan amarah dengan tanpa amarah? Ini jadi pertanyaan yang penting, sebab ada kecenderungan orang untuk berpikir, harus sama-sama impas, ada korban dari kita tapi mereka juga harus ada. Pemikiran ini penting untuk ditelusuri, dan apakah masih ada dalam gagasan anak bangsa kita atau sudah tidak ada. Melihat konflik politik, saya cermati jiwa balas dendam itu muncul saat kritikan terhadap otak dilawan dengan pukulan menggunakan otot.
Kasus pemukulan Ade Armando di tengah massa aksi mahasiswa (dan umum) di depan Gedung DPR RPI (11 April 2022) tampaknya didasari oleh kemarahan dan balasan atas kritikan Armando terhadap agama, tokoh agama, atau terhadap kelompok oposisi pemerintah. Walaupun Armando mengatakan saat itu ia mendukung aspirasi mahasiswa, "tolak Jokowi 3 periode" tapi ia terlanjur dicap sebagai common enemy, oleh mereka yang berbeda. Pertanyaan pentingnya: apakah kultur masyarakat kita telah kondusif untuk menerima kritikan frontal apalagi kepada agama atau tokoh agama? Ataukah, kerukunan nasional kita lebih baik tidak masuk pada kritikan frontal terhadap agama dan tokoh agama?
Praktik baik
Saya cermati, praktik baik dialog antaragama terjadi pada masyarakat perkotaaan. Masyarakat perkotaan lebih siap dalam mendialogkan perbedaan antarkeyakinan. Syaratnya harus melibatnya tokoh agama yang memiliki pemahaman mendalam terhadap agamanya dan terhadap fakta diversitas bangsa. Pada masyarakat perdesaan, dialog terjadi dalam bentuk-bentuk praktis seperti saling membantu, namun tidak dalam bentuk membicarakan isu-isu besar nan berat seperti kerukunan dan integrasi, kerukunan dan produktivitas, kerukunan dan peningkatan kesejahteraan, atau kerukunan dan ketahanan nasional. Tema-tema besar umumnya beredar dalam masyarakat kota, sebaliknya masyarakat perdesaan lebih senang langkah praktis untuk saling membantu namun tidak saling senggol.
Pada masyarakat perdesaan atau kota kecil, kekerabatan memiliki peran signifikan bagi terjadinya kerukunan. Pela Gandong (pela artinya ikatan, gandong artinya bersaudara) di Ambon sejatinya adalah relasi berbasis kekerabatan dan kultur saling menghidupi dalam sebuah rumah besar. Di Halmahera Utara, konsep itu tercermin dalam rumah besar atau hibualamo (hibua artinya rumah dan lamo artinya besar). Maksudnya, masyarakat Halmahera Utara adalah masyarakat yang dibesarkan di bawah rumah yang sama, dan dalam konteks masyarakat majemuk sekarang ini juga tetap berada dalam rumah yang sama. Sebagai penghuni rumah yang sama maka mereka harus saling menghidupi satu sama lain; artinya, perbedaan keyakinan tidak menjadi halangan untuk saling menghidupkan.
Menarik untuk mencermati bagaimana konstruksi kultural bermain dalam kerukunan antaragama. Sejauh kultur bertahan dari serangan infiltrasi asing seperti provokasi, maka kerusuhan tidak akan terjadi. Di beberapa desa, dalam kasus kerusuhan Maluku atau Maluku Utara, saat konflik membesar di satu desa, desa lainnya memilih untuk tidak terpengaruh dan saling menjaga. Artinya, mereka memahami bahwa sejauh ini mereka hidup damai-damai saja, tidak ada konflik, dan jika ada godaan untuk berkonflik itu adalah godaan yang harus mereka lawan sama-sama. Perlawanan terhadap godaan eksternal itu didasari oleh kasih sayang, semangat saling menghidupkan dan saling percaya satu sama lain. Tanpa kepercayaan atau trust, kerukunan sangat sulit tercipta di masyarakat. *
YANUARDI SYUKUR, Pengajar Antropologi Universitas Khairun, Ternate; sementara menyelesaikan S3 di Dept Antropologi FISIP UI.
Catatan kecil ini dibuat dalam momen undangan diskusi Kedubes Australia terkait "perkembangan dialog antaragama di Indonesia", 17 Mei 2022. Selain terlibat dalam aktivitas AIMEP (sebagai peserta dan alumni), saya juga pernah diundang Kedubes Australia pada Interfaith Dialogue RI-Australia di Bandung (Maret 2019) serta Ministerial Meeting on Religious Freedom and Interfaith Dialogue di Washington, DC, Pittsburgh dan New York (Agustus 2019). Di level lokal, saya terlibat pada upaya pembangunan perdamaian antartokoh agama di kampung saya, Tobelo, yang menjadi titik-panas dalam kerusuhan 1999.