Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Elon Musk
(foto: Liputan6.com, dari Biro Pers Sekretariat Presiden)
Kunjungan Presiden Joko Widodo kepada CEO Tesla Inc. Elon Musk di SpaceX, Boca Chica, AS, Sabtu (14/5/2022) menjadi berita penting di Indonesia. Elon adalah inovator, pengusaha dan miliarder penting saat ini yang sangat menarik. Harapan paling dekat adalah Elon bisa berkunjung ke Indonesia dan mau berinvestasi di Indonesia. Harapan ini tentu saja sangat wajar, karena siapapun pejabat Indonesia yang bertugas di luar dia haruslah berdiplomasi membawa nama Indonesia sekaligus menjalin kemitraan dengan Indonesia, salah satunya adalah ajakan investasi.
Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa kunjungan ini adalah tindak lanjut dari perintah sebelumnya kepada Menkomarves Luhut B. Panjaitan untuk berbicara mengenai kerja sama terkait investasi, teknologi dan inovasi. Elon mengatakan bahwa dia sangat tertarik dengan masa depan Indonesia. Indonesia terlihat sangat optimistis terhadap masa depan dan memiliki energi positif. "Saya rasa Indonesia memiliki potensi yang besar, dan saya rasa kita--melalui Tesla dan SpaceX--akan mencoba beberapa kerja sama dengan Indonesia," ujar Elon.
Pembuka Transfer Kreativitas Berkelanjutan
Bagi saya, pertemuan Presiden Joko Widodo adalah pintu terbuka bagi pertemuan selanjutnya. Elon menyebut kata 'kolaborasi' saat diwawancarai bareng Presiden Jokowi. Kolaborasi harus dibuka lebih luas pasca kunjungan tersebut. Maksudnya, selain ajakan agar Elon Musk berinvestasi di Indonesia, sebaiknya ada pertukaran ilmuwan antara Indonesia dengan Amerika, atau magang dari sini ke sana, atau juga diskusi berkala terkait 'rahasia kesuksesan' Elon Musk secara personal dan institusional, serta inspirasi itu menjadi salah satu alas pijak dalam pengembangan kurikulum kita.
Siswa dan mahasiswa kita yang tertarik pada sains dapat difasilitasi, dibuka keran-nya untuk bisa bermitra dengan perusahaan Elon. Dalam konteks lebih luas, sebaiknya berbagai institusi yang telah atau pernah bermitra dengan Indonesia dibuka peluang kepada anak bangsa untuk bisa melanjutkannya dalam berbagai cara. Saya lihat, salah satu problem klasik di bangsa kita adalah keterputusan sejarah dan keterputusan kolaborasi. Sebuah kebijakan berhenti saat berganti pejabat, dan setelah itu praktik-baik dari yang-lama kemudian terlupakan begitu saja. Akhirnya, kita jadi kehilangan pintu terbuka tersebut.
Transfer kreativitas Elon juga terkait dengan transfer etos kerja. Apa etos kerja yang dimiliki Elon sampai dapat membangun perusahaan besar dalam empat bidang terpisah, yakni software, energi transportasi dan kedirgantaraan? Tidak hanya soal dia sebagai inovator dengan valuasi bisnis miliaran dolar, tapi terkait dengan etos kerjanya. Ini perlu kita pelajari. Elon dikenal sebagai pribadi beretos kerja heroik. Dia bekerja secara teratur selama 85 jam seminggu dan mampu menetapkan visi yang mengubah kenyataan untuk masa depan.
Kepribadian seperti ini disebut sebagai expert-generalist, yakni seorang pakar yang memiliki kapasitas sebagai berikut: (1) dapat mempelajari berbagai bidang secara luas, (2) dapat memahami prinsip-prinsip dasar secara mendalam dan (3) dapat menghubungkan bidang-bidang tersebut pada spesialisasi utama yang menjadi core-nya. Jika karakter generalis ini dikembangkan, maka spesialis akan tertinggal, atau konsep "spesialis" diubah konsepnya menjadi kemampuan memahami berbagai bidang luas sekaligus menghubungkan titik-titik pentingnya menjadi satu kesatuan spesialsiasi. Jadi, kekuatan dia ada pada kemampuan memahami dan menghubungkan. Kapasitas itu diperkuat dengan visi inovatif dan ketahanan personalnya menghadapi ancaman kegagalan.
Sejak muda, Elon baca dua buku per hari dalam berbagai disiplin ilmu. Dia termasuk 'pembaca yang rakus' dan selalu harus akan pengetahuan. Bacaannya terkait dengan fiksi sains, filsafat, agama, programming, biografi saintis, engineer dan entrepreneur. Kita umumnya hanya berhenti pada ranah "fiksi sains, filsafat, agama, biografi" (plus entreprenur) atau sebaliknya belajar "programming, biografi saintis, engineer" tapi lemah dalam entrepreneur dan agama. Kemampuan Elon berada pada sintesis kapasitas-kapasitas yang ada berkat semangat akademik yang dipadukan dengan teknologi dan jiwa kewirausahaan.
Mempelajari Elon, Melahirkan Kepakaran Jenis Baru
Indonesia butuh belajar dari Elon Musk. Kunjungan Presiden Joko Widodo dapat dimaknai sebagai 'undangan investasi' sebagaimana sebelumnya juga presiden biasa mengajak investor asing untuk tanam modal di sini. Pada bagian ini, semua orang saya kira setuju bahwa investasi sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Paling dekatnya yang dibutuhkan Indonesia adalah komitmen Elon untuk membangun pabrik mobil listrik di Indonesia.
Di Asia, Elon telah memperlihatkan kemungkinan membuka pabrik di Karnataka, India Selatan. Jika kesepakatan ini diteken, maka Tesla akan memiliki tiga basis produksi, yakni di Amerika Serikat (negara asalnya) serta dua di Asia (China dan India). Indonesia berpeluang untuk mendapatkan 'kemewahan' investasi Tesla, yakni dalam konteks investasi energy storage system (ESS) yakni produksi bahan baku utama bateri kendaraan listrik. Artinya, pabrik mobil listrik tersebut diproduksi di tiga tempat itu tapi semua itu tidak akan sempurna jika tidak pabrik bahan baku bateri listrik, dan Indonesia memiliki potensi sebagai produsen baterai lithium terbesar di dunia setelah China. Inilah yang menjadi 'nilai lebih' dan unsur kompetitif Indonesia untuk ditawarkan kepada Tesla.
Makna lain dari kunjungan tersebut adalah transfer teknologi. Soal transfer ini dibicarakan oleh, bahkan sebagian memaknai kunjungan tersebut sebagai 'undangan transfer teknologi' di Indonesia. Transfer dimaknai sebagai perpindahan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Saya transfer uang, berarti saya memindahkan uang saya dari satu tempat--umumnya bank--ke bank lainnya. Saya transfer ilmu kepada murid saya, berarti saya memindahkan ilmu dari otak saya kepada murid-murid saya. Di sini transfer berarti perpindahan.
Pertanyaannya, apakah Presiden Joko Widodo berfokus pada transfer teknologi sejauh ini? Banyak kalangan ragu, sebab sejauh ini pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, bukan ilmu dan teknologi. Itulah mengapa argumen transfer teknologi tidak dominan, ketimbang argumen investasi bisnis di negeri ini.
Soal prioritas investasi daripada ilmu pengetahuan menjadi problematika di Indonesia. Sejauh ini jarang kita dengar ada pernyataan presiden agar semua kebijakan--terutama yang penting--didasarkan pada hasil riset. Akhirnya, orang jadi ragu apakah presiden betul-betul mengambil kebijakan berbasis riset atau 'pesanan'? Misalnya, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang diambil bukan melalui riset serius yang melibatkan berbagai ahli. Keraguan itu sangat beralasan, sebab pada faktanya kebijakan kadang dimulai dari kesepakatan politik ketimbang riset akademis.
Secara pribadi saya merasa tidak ada yang salah dalam kunjungan Presiden Jokowi kepada Elon Musk. Semua presiden juga akan melakukan berbagai cara agar investasi bisa tumbuh, apalagi Indonesia dipercaya sebagai Presidensi G20 pasca Italia tahun lalu. Kepercayaan ini tentu haruslah dibarengi dengan berbagai 'endorsement' lainnya bahwa Indonesia adalah negara besar, menarik untuk investasi dan harapan bagi masa depan. Saat ini Indonesia butuh 'endorsement' itu dari berbagai tokoh dunia, termasuk Elon Musk.
Saya melihat, 'endorsement' Elon Musk dengan rencana kehadirannya pada bulan November 2022 adalah akan mengangkat kepercayaan bangsa-bangsa dunia terhadap Indonesia. Utang Indonesia di angka yang tinggi, Rp. 7000 Triliun, harus dicarikan solusinya dan di sisi lain kepercayaan publik di dalam dan luar negeri harus terus dirawat dan ditingkatkan. Sejenak jika kita berpikir dari perspektif sebagai pengelola bangsa ini, kita pasti juga akan disibukkan oleh kebutuhan 'endorsement' tokoh dunia agar menguatkan bahwa kita memang negara besar yang sejajar dengan negara-negara raksasa lainnya.
Soal kebutuhan duit, sudah tentu semua orang tahu bahwa Indonesia butuh uang. Sumber daya alam kita luas, potensi bahan baku baterai untuk mobil listrik sangat kaya di negeri ini. Itu bagian sedikit contoh dari kekayaan yang harusnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita sekaligus jangan lupa agar pertumbuhan itu juga menciptakan pemerataan kepada masyarakat. Jangan sampai negara menjadi makmur, levelnya terus meningkat tapi masyarakatnya tetap miskin. Contoh paling sederhana, adalah masyarakat lingkar tambang hari ini, apakah mereka makin sejahtera, teredukasi dan memiliki kapasitas memadai untuk masa depan mereka dan anak cucunya?
Pintu Terbuka bagi Kepentingan Nasional Kita
Saatnya pasca pintu-pintu kolaborasi dibuka kemudian dilanjutkan dengan kerja sama real dan bermakna yang melibatkan para pihak di Indonesia. Indonesia butuh sinergi lebih luas dan pintu kolaborasi yang telah diupayakan semua pejabat sepatutnya untuk dijaga, dirawat dan dikembangkan demi kepentingan nasional kita dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta akselerasi semua lini untuk betul-betul menjadi bangsa yang maju.
Secara singkat, kepentingan nasional kita terkait Elon ada pada ranah transfer kreativitas. Ranah ini sangat penting sebagai basis individual untuk melahirkan 'Elon-Elon' jenis baru yang sinergis-genuine dalam ranah-ranah lainnya. Kepakaran Elon dalam bidang yang digelutinya tentu menjadi inspirasi agar melahirkan kepakaran sinergis-kolaboratif pada berbagai titik-titik sambung lainnya dalam bidang yang luas dan beragam. Elon adalah satu contoh dari seorang manusia yang berhasil mengembangkan kapasitas naturalnya dan berdampak pada kemanusiaan.
Ranah lainnya, adalah pendirian pabrik Tesla yang perlu diikuti dengan penyerapan pengetahuan dan teknologi untuk melahirkan institusi kita yang lebih maju dan khas Indonesia. Pendirian perusahaan adalah sasaran sementara dari kebutuhan kita akan percepatan pembangunan nasional, namun dalam konteks masa depan kita haruslah menjadikan 'sasaran semantara' itu sebagai batu loncatan, stepping point, bagi lahirnya institusi ala Indonesia yang berdampak luas pula bagi dunia.
Pada dua ranah ini, individual dan institusional, kita berharap dapat berjalan sinergis. Sebab, penyerapan ilmu pengetahuan saja tanpa dibarengi dengan kerja-kerja institusional hanya melahirkan pribadi pemimpi tanpa realisasi, sebaliknya jika hanya berhenti pada eksistensi insititusional tanpa dibarengi dengan kreativitas maka kita hanya akan menjadi 'budak' bagi kepentingan tuan pemodal. *
No comments:
Post a Comment